Saat akhir pekan tiba, perasaan Shinji masih tidak membaik. Dia sehat tidak flu atau demam. Tapi rasanya tidak nyaman. Terutama perutnya yang kadang sakit, kadang mual, kadang dingin. Rasanya sangat membuat frustasi.
Li Zheng memerhatikan anaknya yang tampak aneh itu. Yui juga memperhatikannya. Mereka kini hanya sarapan bertiga setelah Yuuji menikah dan Hana tinggal di Apartemen.
"Kenapa, Shinji?" tanya Yui.
"Hah?" Shinji memandang Ibunya bingung. "Memang aku kenapa?"
"Aneh." jawab Ayahnya. "Kau sakit?"
"Tidak." jawabnya cepat.
"Lalu kenapa?" tanya ayahnya.
"Kau terlihat.. sedikit frustasi?" ucap Ibunya kemudian. Memang terlihat kalau dia sedang banyak berpikir dan frustasi?
"Betsuni.. mungkin aku hanya kelelahan saja."
"Ara! Kenapa tidak mengajak Hana bermain? Kau bisa mengajaknya berbelanja atau pergi ke taman bermain. Mungkin kau akan merasa lebih baik." Ibunya memberi saran. Dia hanya tersenyum kecut. Gadis itu sedang mempersiakan kencannya. Kenapa juga harus pergi bersama dirinya?
"Tidak perlu. Aku akan melanjutkan pekerjaan saja."
"Biar mami hubungi Hana!"
"Tidak!" jawab Shinji dengan sedikit berteriak. "Maksudku.. biar aku sendiri yang menghubunginya." ralatnya dengan senyum setengah hati. Shinji segera kembali ke kamarnya setelah makan. Menimbang nimbang apa yang akan dia katakan saat menghubungi gadis itu.
Dengan penuh keberanian, akhirnya dia menelpon Hana.
Hana sedang mematut diri di cermin saat ponselnya berbunyi. Dia tersentak dan nyaris melempar ponselnya karena Shinji menelponnya. Dia mengatur nafas dan menenangkan diri. Dia mungkin ingin menanyakan sesuatu tentang Yuuji. Pikirnya menenangkan diri.
"Moshi moshi.."
"Hana?" Hana mendengarnya dengan jantung berdebar. Berharap harap cemas apa yang dia katakan.
"Hai?"
"Apa aku mengganggumu?" tanya Shinji terdengar berhati-hati. Dia yang mendengar jadi berdebar-debar.
"Tidak! Tidak sama sekali. Kenapa Shinji-nii?"
"Aku ingin tau.." Hana mendengarnya penuh harap. "Apakah Yuuji mengabarimu!" lanjut Shinji cepat. Hana mengerjap kaget kemudian duduk di ranjangnya lemas. Sudah kuduga!
"Ya.. dia selalu sehat." jawab Hana dengan enggan.
"Sou ka!" mereka diam. Tidak ada yang melanjutkan percakapan. Tapi tidak juga mematikan panggilan.
"A! ada telepon masuk. Aku harus menjawabnya." ucap Hana saat mendengar nada beep di ponselnya. Shinji tidak menjawabnya, dia juga tidak mematikan panggilannya.
"Kalau aku mengajakmu pergi apakah kau akan membatalkan acaramu hari ini?" ucap Shinji pelan begitu tiba-tiba. Jantung Hana berdebar. Apa yang Yuuji dan dirinya bicarakan kemarin terjadi hari ini. Dia ingin menjawab iya tapi dia sudah terlanjur janji.
"Maaf, aku sudah berjanji. Mungkin lain hari?" jawabnya. Kalau ada lain hari, pikirnya sedih.
"Baiklah. Hati-hati di jalan."
Panggilan itu mati, Hana beralih menjawab panggilan Matsunaga dengan perasaan kacau. Antara tidak tega menolak Shinji tapi di sisi lain dia ingin Shinji mengerti jika dia tidak selalu bersamanya jika Shinji tidak mengikatnya.
"Akabane-san, aku sudah berada di basement apartementmu."
"Baik. Aku segera turun." jawabnya. Kemudian dia mematikan panggilan sepihak. Hana kembali menatap pada cermin. Menepuk pipinya dan kembali tersenyum ceria.
"Aku tidak memiliki masalah dengan Matsunaga-san! Jadi tersenyum!!" ucapnya menyemangati diri sendiri.
***
Hana menoleh ke kanan kiri mencari mobil Matsunaga. Dari belakang ada lampu sorot yang berkedip. Dia berbalik dan melihat Matsunaga sudah berada di samping mobilnya melambaikan tangan dan tersenyum.
Hatinya mendadak lega. Dia tersenyum pada pria itu. Setidaknya dia bisa menyembunyikan rasa frustasi tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Rasa frustasinya pada pria yang hanya menganggapnya adik. Sepertinya memang tidak mungkin ada romansa pria - wanita di antara mereka. Haruskah aku mencoba menggapai sesuatu yang jelas? Seperti hubungan dia dan Matsunaga yang masih hitam - putih. Setidaknya tidak abu-abu seperti hubungannya dengan Shinji.
Jika hubungannya dengan Matsunaga menjadi hitam dia bisa segera lepas. Jika terlihat positif bisa berlanjut. Jika abu-abu, kemana arah mana dia harus menuju? Dia tidak bisa lepas dan juga lanjut. Hanya menghindar dan menghindar. Lalu akan sampai kapan? Sampai kapan dia menghindar? Sampai jelas? Sampai Shinji menikah dengan orang lain? Dia tidak memiliki hati sebesar itu.
Matsunaga melihat jamnya begitu Hana mendekat. "Mungkin kita bukan remaja lagi, tapi.. mau pergi ke taman bermain?" tawarnya.
Hana mengangguk. "Oke!"
Matsunaga membukakan pintu untuknya. Melihat itu Hana tertawa pelan.
"Kenapa?" tanya Matsunaga.
"Tidak. Aku hanya tidak menduganya. Kau memiliki sisi seperti ini. Kupikir kau tidak akan berfikir untuk membuka pintu seperti ini." Matsunaga tersenyum masih bersandar pada ujung pintu yang belum tertutup. Sedangkan Hana sudah duduk di dalam.
"Aku bertanya pada komandanku. Walau aku tidak mempercayainya, tapi aku tetap mengikutinya.." jawabnya. Hana tertawa lagi.
"Baiklah. Petugas yang baik memang harus mengikuti komandannya. Bisa kita pergi sekarang?" Matsunaga mengangguk dan menutup pintu.
Sepanjang jalan, mereka mengobrol. Entah apa yang mereka obrolkan pasti menyenangkan. Matsunaga pembicara yang baik, apa yang dia katakan kaku tapi entah kenapa itu lucu. Setidaknya tidak ada 'Yuuji' di orolan mereka.
Kadang tiba-tiba Hana termenung, itu tidak luput dari pandangan Matsunaga. Namun kemudian Matsunaga mengajak bicara lagi dan suasana menjadi riang lagi.
Ketika ketiga kalinya Hana termenung, Matsunaga berkata padanya. "Apakah tidak apa-apa mengajakmu pergi?" tanyanya.
"Tentu saja! Kenapa?"
"Bagaimana dengan dia?"
"Dia?" Hana membeo. Dia tidak ada ide siapa yang Matsunaga sebut 'Dia'.
"Ya, Presdir Huang Enterprise. Kau sangat mengkhawatirkannya. Kau.. menyukainya kan?" Hana menoleh, menatap Matsunaga kaget tapi kemudian matanya menyendu. Orang yang belum lama dia temui saja tau jika dia menyukai Shinji. Tapi kenapa pria itu tidak juga menyadarinya. Atau mungkin dia menyadarinya tapi mengabaikannya?
"Kau mengetahuinya, ya?" ucapnya pahit. Justru orang lain yang menyadarinya! Lalu dia harus bagaimana lagi sampai Shinji mengetahuinya. Apa dia harus mengatakannya dengan tidak tau malu di depan Shinji?
"Ya, terlihat jelas." gumam Matsunaga, kemudian mereka diam hingga mereka sampai pada tujuan. Mereka masih diam walau sudah sampai di parkiran.
"Kita sudah sampai." itu yang diucapkan Matsunaga. Hana mengangguk lalu membuka pintu. Matsunaga menahannya dan sedikit menarik gadis itu supaya memandangnya. "Maaf, aku membuatmu tidak nyaman karena pembicaraan itu."
Hana menggeleng. "Tidak. Itu memang benar. Aku memalukan ya? Tidak menutupi rasa suka ku padanya, bahkan sampai orang lain mengetahuinya. Dia bahkan tidak menyadarinya, tapi-" Matsunaga tidak tahan mendengar suara Hana yang makin parau dan hendak menangis. Dia memeluknya.
"Kau hebat." pujinya dengan gumaman pelan di dekat telinganya. Hana menitikkan air mata saat mendengar itu. Tangisnya mulai tidak terkendari saat Matsunaga mengusap puncak kepalanya. Menggumamkan kalimat menenangkan.
Hana tidak peduli. Dia masih terus menangis. Dia sedih dan juga lega saat ada yang memuji keberaniannya tentang menunjukan perasaan yang begitu jelas. Dia bahkan tidak menduga pujian itu datang dari orang yang baru empat kali dia temui.
"Terimakasih.." gumam Hana. Dia mengeratkan tangannya pada kemeja Matsunaga. "Terimakasih." gumamnya lagi.