"Akkhhh."
Lagi tubuhku dihempaskan begitu saja. Kepalaku pusing sekali. Aku dipanggulnya sepanjang perjalanan ke sini. Dari restoran, resepsionis, lift, sampai sekarang aku sampai di kamar ini.
Rasanya aku ingin muntah. Perutku terasa diaduk-aduk. "Apa yang kau lakukan? Aku ingin pulang!"
"Pulang kemana? Aku rumahmu!"
"Bukan. Kau hanya laki-laki yang tukang selingkuh!"
"Kapan aku selingkuh?"
"Kapan?" Waah... Aku semakin emosi mendengar pertanyaan polosnya itu. "Jelas jelas kau membawa selingkuhanmu tadi? Apa? Mau minta surat izin dariku? Tidak perlu! Aku rela kau menikahinya, tapi ceraikan aku! Bebaskan aku!"
"Ya Tuhan! Dia itu sepupuku!"
"Lelucon macam apa yang kau mainkan? Hahahha sepupu? Well, kau masih bisa menikah dengan sepupumu."
"Kau sudah gila, Hannah!"
"Ya. Aku gila punya suami tukang selingkuh sepertimu! Jangan mendekat!" selaku, saat dia melangkah maju. "Lima tahun aku menjaga diri dan hatiku hanya untuk suami absurd tidak jelas sepertimu. Dan sekarang, dengan mudahnya kau selingkuh! Hahahaha... Aku merasa sangat bodoh sekarang. Harusnya aku tidak menganggap pernikahan ini sungguhan. Untuk apa? Kau menikahiku, lalu meninggal-kanku begitu saja. Lalu kembali tiba-tiba, dan sekarang ketahuan selingkuh! Aku menyesal! Menyesal pernah nempercayaimu!"
"Astaga! Percayalah padaku! Nigel itu benar-benar sepupuku. Dan Salsa keponakanku."
"Aku tidak bercaya!"
"Kau bisa tanya ke Kakakku. Baru dua Minggu ini aku menjadikannya sekretarisku."
"Oh ya? Kenapa tidak dari dulu saja? Sayang kan selama ini kalau dianggurkan. Sepupu? Lima tahun lebih aku tinggal di rumah kakakmu, dan tak sekali pun dia muncul di rumah atau acara keluarga. Itu yang kau sebut sepupu? Well, bisa jadi baru hari ini dia berubah status menjadi sepupumu."
Entah kenapa emosiku benar-benar memuncak. Persetan dengan sopan santun. Aku tidak perduli kalau dia suamiku. Tukang selingkuh tidak pantas untuk diperlakukan sopan.
"Kau benar-benar keras kepala rupanya."
"Mau apa? Jangan mendekat!" Aku panik. Semakin memundurkan tubuhku ke sudut tempat tidur, saat dia mendekatiku. Aku tidak mau ada kasus KDRT dalam pernikahanku yang tidak jelas ini.
"Diam di situ!" katanya dan berhenti di samping tempat tidur. Aku sedikit bernafas lega. Aku tidak mau mati muda dengan judul, dibunuh oleh suami sendiri.
Kulihat dia merogoh saku celananya, lalu menge-luar-kan sebuah benda persegi yang biasa orang sebut smartphone.
"Halo, Nigel." Oh bagus, sekarang dia malah menelpon selingkuhannya? Mau memberi berita gembira, huh? "Kau masih di sana? Ya. Aku butuh bantuanmu sekarang. Hmm.. Kesini. Kamar no 562. Ya, aku tunggu. Hmm. Thanks."
Dia mematikan ponselnya, lalu meletakkannya di nakas sebelah ranjang. Kemudian menaiki ranjang dan mendekatiku. Membuatku lebih merapatkan diri ke kepala ranjang. "Apa lagi? Jangan mendekat!"
"Sebentar lagi, Nigel akan ke sini. Dia akan menje-laskan semuanya." katanya lebih lembut, berusaha menarik tanganku yang langsung saja aku tepis.
"Mungkin saja kan, kalian bersekongkol. Siapa yang tahu!"
"Hannah. Cobalah sedikit saja untuk berpikiran positif. Nigel itu benar-benar sepupuku. Selama ini dia tinggal di Palembang bersama mertuanya. Baru dua bulan ini dia kembali, karena Salsa sudah sekolah dan bisa ditinggal sedikit-sedikit. Dan dia juga ingin memulai hidup barunya. Berusaha meredam kenangan bersama mendiang suami-nya." kali ini dia berkata lebih lembut. Membuatku sedikit tenang. Setidaknya, besok pagi tidak akan ditemukan mayat perawan di kamar hotel ini.
Haruskah aku mempercayainya? Dia masih orang asing buatku. Bahkan, kami tidak pernah serius membicarakan pernikahan ini. Mau di bawa kemana pernikahan ini, dan dimana ujungnya. Lama-lama aku lelah juga. Lima tahun tanpa kepastian. Hanya diikat oleh tali yang kasat mata, dan dibiarkan begitu saja.
"Kemarilah." dia beringsut mendekat.
"Tidak mau!"
"Kau ingin datang sendiri, atau aku paksa?"
"Tidak mau!" teriakku.
"Baiklah," dengan gerakan tiba-tiba, dia menarikku. Dan entah bagaimana caranya, aku sudah berada di pangkuannya sekarang. Sekuat tenaga aku meronta. Dan, hasilnya sia-sia saja. Dia malah erat membawaku ke dada-nya. "Nigel benar-benar sepupuku." ulangnya lagi, seolah meyakinkanku yang terus saja menolak penjelasannya.
"Suaminya adalah anak tunggal. Jadi, saat suaminya meninggal, mertuanya tidak punya siapapun. Nigel jadi tidak tega meninggalkannya, mereka begitu menyayangi-nya dan juga Salsa." kurasakan tangannya bergerak pelan di kepala dan punggungku. Membuat tubuhku sedikit lebih rileks, dan berhenti meronta.
"Salsa yang masih kecil, tidak memungkinkannya untuk bepergian jauh. Itulah sebabnya, kenapa kamu tidak pernah melihatnya. Semua orang iba padanya, suaminya meninggal tepat seminggu setelah Salsa lahir. Kanker getah bening. Bahkan, suaminya belum sempat menggendong anaknya. Kamu tahu Tante Mila dan Om Rudi? Mereka orang tua Nigel. Dan kamu pasti mengenal Naya, dia adiknya." tangannya yang terus bergerak halus di punggungku, membuatku semakin rileks. Membuat telingaku lebih mudah diajak untuk berkomunikasi. Aku mendengarkannya dengan baik.
Apa benar seperti itu?
"Keluarga mereka sangat terpukul. Semua orang tahu itu. Oleh sebabnya, tidak ada yang berani menyebut nama Nigel dalam acara keluarga, atau apapun. Karena semua orang juga akan sedih mengingat kisahnya. Semua orang menyayangi Nigel. Dari kecil, dia adalah gadis yang sangat baik. Tapi Tuhan harus mengujinya seperti itu. Bahkan dia masih sangat muda."
Kalau itu benar, aku turut sedih mendengarnya. Kisah hidupnya juga tidak lebih baik dariku.
"Setelah hampir empat tahun, barulah Nigel berani meninggalkan mertuanya. Dia juga harus meneruskan hidupnya kan? Maka dari itu, dia memutuskan pindah ke sini. Dia ingin mulai hidup mandiri. Karena dia belum pernah bekerja, maka dengan senang hati aku menjadikannya sebagai sekretarisku. Aku juga kasihan melihatnya, terlebih Salsa terlihat sangat menyukaiku. Dia kekurangan figur seorang Ayah. Dan sebagai Paman yang baik, aku menyayanginya seperti anakku sendiri."
Ya, aku membenarkan kalimat terakhirnya. Bukan hanya menyukai, Salsa terlihat jatuh cinta dengan Elang. Dia menjadi gadis cilik yang sangat manis dan penurut saat bersama Elang. "Meskipun kamu masih belum mau memili-ki anak denganku." lanjutnya. Kata-kata terakhirnya mem-buatku semakin terdiam dan menelan ludah dengan payah. Apa dia serius menginginkan anak dariku?
Aku diam, tidak menanggapi penjelasannya. Apakah aku harus percaya dengannya? Yang aku tahu, aku tidak mendengar nada kebohongan dari suaranya. Dia menjelas-kan dengan tulus dan seperti apa adanya.
Kurasakan pelukannya mengetat di punggungku. Lalu, dilepasnya pelukan itu. "Bagaimana? Kamu percayakan, padaku?" tanyanya. Kata 'kamu' yang ditujukannya padaku, terasa lain di telingaku. Terdengar lebih lembut dan penuh kasih sayang. Membuat hatiku, sedikit banyak luluh hanya karena itu.
Aku masih diam saja. Menunduk, tidak berani menatapnya. Daguku terangkat, dan mempertemukan kedua pasang mata kami. "Tanya saja pada Kakak, kalau kamu tidak percaya." katanya, menatap tepat di manik mataku. "Sebentar lagi Nigel pasti datang. Dan, dia akan menjelaskan semuanya." lanjutnya.
Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya, aku meng-angguk. Entah untuk apa. Mendengarkan penjelasan Nigel, bertanya pada Bunda, atau cukup mempercayainya. "Per-cayalah, meskipun kita tidak pernah bersama, tapi aku tidak pernah selingkuh. Aku benci perselingkuhan. Banyak hal yang harus aku selesaikan sehingga aku harus meninggal-kamu."
Dengan pelan, aku mengangguk. Lagi-lagi menun-dukkan kepalaku. Otakku mempercayainya, tapi hatiku masih mengganjal. Sisi buruk dalam diriku belum mau menerimanya begitu saja.
"Jadi, semua sudah jelas kan?" tanyanya. Kembali menegakkan kepalaku. Aku diam saja. "Maafkan aku yang meninggalkanmu selama ini." hatiku kembali bergetar mendengar maaf darinya.
Sebenarnya, apa yang aku inginkan?
"Dimaafkan?"
Aku masih diam. Rasanya masih sulit. Dan rasanya ini terlalu cepat. "Hannah? Apa kamu memaafkan suamimu ini?" ulangnya.
"Aku anggap diammu sebagai jawaban iya." Aku masih diam saja, tidak mengiyakan atau menyangkal kesim-pulannya itu. "Jadi, sekarang kita suami istri betulan kan?"
Akhirnya aku kalah dengan egoku. Aku mengangguk. Mengingat kembali nasihat dari Sha. Kalau aku mau baha-gia, maka aku harus mempercayainya, memaafkannya, dan berdamai dengan diriku sendiri. "Tapi kau masih punya hutang penjelasan. Kemana saja selama ini?"
"Kau?" Matanya memicing menatapku. "Kamu tidak sopan ya?"
Ah, aku baru menyadarinya. Tapi kan aku masih dalam mode marah?!
"Kamu harus dihukum untuk semua perilaku burukmu hari ini!" katanya sambil menyeringai. Dan aku tahu apa arti seringaiannya itu.
"Aku tidak berperilaku buruk!" sanggahku. Mencoba turun dari pangkuannya.
"Hmm.. Coba aku hitung. Satu, Kamu tidak sopan pada suamimu. Dua, menyiram suamimu dengan air di depan semua orang. Tiga, menuduh suamimu selingkuh. Empat, meneriaki suamimu. Lima, mengumpati suamimu. Dan Enam, tidak menurut pada suami."
"Tapi kan semua juga gara-gara kamu!"
"Baiklah, kesalahanku cuma satu. Yaitu, belum menjelaskannya padamu. Dan kamu sudah melakukan enam kesalahan padaku. Jadi, kamu tetap mendapat lima hukuman."
"Mana bisa begitu?"
"Tentu saja bisa!"
"Tidak mau!"
"Kamu tidak bisa menolaknya, Sayang." Mataku mem-belalak seketika. Dalam sepersekian detik, tubuhku sudah berada di bawah tindihannya. "Hukuman pertama, aku meminta hakku, malam ini."
Aku menelan ludahku kasar. Apa aku akan selamat malam ini? Apa ini waktu yang tepat? Apa aku bisa melaku-kannya dengannya? Apa ak—"
Pikiranku terhenti saat kurasakan bibir kenyalnya mengecup bibirku. Satu detik dia mengangkatnya, lalu kecupan itu berganti dengan kuluman. Membuatku sesak napas, dan akhirnya tersadar akan sesuatu.
"Hhh... Ada tamu." ucapku mendorong dadanya. Masih dengan napas yang tersengal, saat aku mendengar bunyi bel terus menerus.
Dia mengecupku sekali lagi, lalu menegakkan tubuhnya dan beranjak untuk membuka pintu.
"Masih butuh bantuan, Paman?"