Chereads / Aku dan Suamiku / Chapter 19 - Part 12. 1 Dia Pulang

Chapter 19 - Part 12. 1 Dia Pulang

Hampir saja aku terkena jebakan batman. Terlena oleh alam mimpi yang menyajikan toilet kelas VVIP. Membuat-ku yang memang sangat membutuhkan kloset, hampir saja membuang urineku di sana.

 

Untung saja, otak divergent-ku sedang bekerja dengan baik. Hingga aku tersadar dan segera melarikan diri ke toilet yang sesungguhnya. Rasanya lega seketika, setelah kantung kemihku kosong. Kurapikan sedikit tampilanku, dan bergegas keluar kamar. Melihat apakah suami tertampanku itu pulang atau tidak.

 

Dan, dia di sana. Terlihat nyenyak tidur di atas sofa. Walaupun sebelah kakinya menjuntai ke lantai, dan sebelah-nya lagi tertekuk sembarangan. Tubuh tingginya, membuat sofa itu terlihat kecil.

Bagaimana bisa dia tertidur di sana? Sebegitu bencinya-kah dia padaku, hingga membiarkan tubuhnya tertidur di sofa? Sedang ranjang masih sangat luas untuk ditiduri ber-dua.

 

Jam dinding telah menunjukkan pukul 03.41 WIB. Mungkin sebentar lagi waktunya dia bangun. Mengingat setiap aku bangun pagi, dia selalu raib entah ditelan siapa.

 

Jadi, tidak masalahkan kalau aku mengganggunya sekarang?

 

Perlahan, kudekati sofa yang ditidurinya. Kuamati wajah suamiku yang 96% telah selingkuh di belakangku ini. Ternyata, wajahnya tampan sekali. Sangat terlihat dewasa. Entah sudah berapa usianya saat ini. Ah, memprediksi usianya membuatku sedikit mengurungkan aksi jahannam-ku. Aku sedikit sungkan dengannya.

 

Bagaimanapun, dia suamiku. Lebih tua. Dan aku harus menghormatinya. Mau tak mau, aku sedikit mengakui juga kesalahanku. Kalau dia selingkuh, sedikit banyak aku juga bersalah. Aku tak pernah perduli dengannya. Mengabaikan-nya, menolaknya, dan aku tidak tahu apapun tentangnya. Berapa usianya, di mana dia bekerja, kemana saja dia selama lima tahun ini. Aku tidak tahu.

 

Aku jadi bimbang sendiri. Haruskah aku menghukum-nya? Ataukah benar yang dikatankan Sha, jika mungkin saja ini adalah sebuah kesalahpahaman. Ya, Papa tak mungkin rela menikahkanku pada pria brengsek. Papa pasti memberi-kanku yang terbaik. Ayah Bunda juga terlihat begitu baik. Menyayangiku, dan saling menyayangi.

 

Kalau seperti itu, mungkinkah adiknya akan berkelaku-an bejat?

 

Akkkh! Aku pusing sendiri! Biarlah! Yang terpenting, aku harus meminta penjelasannya terlebih dahulu. Baru aku akan memikirkan apa yang aku lakukan selanjutnya.

 

Sedikit kugoncangkan pundaknya. Lagi, aku bingung. Aku belum pernah memanggilnya. Sebutan apa yang kira-nya pantas untuknya.

 

"Mm... Ma-mas, Bangun." ucapku pelan. Tapi tak ada respon darinya.

 

"Maas." Lebih keras, kugoncangkan lengannya. Dia hanya bergumam kecil tidak jelas. Lalu, membalikkan ba-dannya menghadap sandaran sofa.

 

Aku kesal! Akhirnya, kucubit kecil pinggangnya. "Mass! Banguun!" tapi tetap tak ada reaksi. Hanya tangannya mengusap-usap pinggang yang telah aku cubit.

 

Susah pAyah, kubalikkan badannya. Lalu, kutepuk-tepuk pipinya dengan sedikit keras agar dia bangun. "Maas... Bangun!"

 

"Hmm... Apa?" jawabnya tidak jelas dengan mata yang masih tertutup.

"Bangun Mas, bangun!"

 

"Iya, kenapa?" tanyanya, lalu membalikkan badannya lagi.

 

"Pindah ke kasur sana!" kataku kesal. Dan tak digubris sama sekali olehnya.

Lagi kugoncang-goncangkan badannya. "Mas, bangun Mas!"

 

"Astaga Hannah! Aku baru sampai jam 2 tadi. Jangan menggangguku!" katanya marah, mengambil bantal sofa dan menutupkan ke telinganya.

 

"Makanya bangun!" kutarik bantalnya. "Atau aku akan terus mengganggumu." Lagi, kutarik bantal di bawah kepa-lanya.

 

"Ya Allah! Iya. Iya!"

 

Tidak kusangka, dia langsung bangun dari tidurnya dan menaiki kasur. Mengabaikanku begitu saja. Aku kan ingin bicara!

 

Kuhampiri suamiku itu yang sudah tengkurap di bawah selimut.

 

"Mas!" panggilku.

 

"Hmm."

 

"Mas banguun!" rengekku lagi.

 

"Apa lagi Hannah? Aku mau tidur!"

 

"Bangun, Mas! Aku mau bicara."

 

"Mmmhh... Mmmm... Lepas! Aku tidak bisa bernapas!" Tiba-tiba saja dia menarikku dan mengurungku dalam pelukannya. Wajahku sepenuhnya tenggelam dalam dada-nya, hingga membuatku kesulitan bernapas. Sedang tangan dan kakinya yang besar, membelitku dengan rapat.

 

"Diam!" tegasnya. Dan mengeratkan dekapannya.

 

"Mmmmph... Mmmmh." aku masih berusaha meronta untuk dibebaskan. Namun, semakin aku meronta, semakin kuat pula lilitannya di tubuhku.

 

"Diam. Atau aku tak akan melepaskanmu!"

 

Akhirnya aku pasrah lagi. Merelakan tubuhku dibelit oleh tubuhnya. Lama kelamaan, belitannya mulai me-ngendur dan nafasnya terdengar mulai teratur.

 

"Mas?" panggilku lembut.

 

"Hmm." jawabnya seadanya.

 

"Aku mau bicara."

 

"Hmm."

 

"Aku serius, mas!" kataku mulai kesal lagi.

 

"Aku mau tidur, Hannah! Bicaranya besok saja."

 

"Tapi aku mau sekarang!"

 

"Tidur, atau aku akan menidurimu!" ancamnya dan mulai kembali mengeratkan dekapannya.

Sadar akan bahaya, akhirnya aku mengalah lagi. "Tidur. Tapi awas kalo nanti pagi pergi kerja! Aku minta cerai!" ancamku balik. Awas saja kalau dia berani pergi lagi. Akan aku ikat kakinya dengan kaki meja.

 

"Hmm."

 

"Ini hari Minggu, jadi tidak ada alasan pergi kerja. Kalau sam—"

 

"Iya. Iya. Diamlah! Please! Aku lelah sekali hari ini. Nanti kita bicara lagi oke?"

 

Dia langsung membungkam bibirku dengan tangannya. Lalu mendongakkan wajahku, dan...

 

Cup.

 

Bibirnya mampir kilat di bibirku. Membuatku sedikit kaget. "Bicaralah, kalau kau ingin lebih dari itu." katanya lagi. Kemudian dibawanya kepalaku menghadap dadanya.

 

Aku menghela napas, lalu mengikutinya menjelajah alam mimpi.

 

----------

-tbc