"Sekarang kau harus menghabiskan bubur ini terlebih dahulu, setelah itu kau harus langsung menuju kasur. Kamu harus beristirahat total." Ujar Viona kemudian pada sahabatnya itu.
Setelah tadi melalui beberapa pemeriksaan, Alice sudah diperbolehkan untuk pulang dan melakukan perawatan mandiri di rumah, begitupun juga dengan Elsa. Keduanya mendapatkan libur sepekan dari rumah sakit. Namun, Ronald belum mendapatkan ijin untuk bisa pulang, ia harus melalui beberapa pemeriksaan dan juga terapi obat yang diberikan khususnya antibiotik belum tuntas, jadi malam ini Ronald harus bermalam lagi di Rumah Sakit.
"Viona, aku sungguh baik-baik saja. Setelah memakan bubur ini ijinkan aku untuk kembali ke rumah sakit menemani Ronald. Please!!" Pinta Alice pada sahabatnya itu.
"Tidak bisa Alice, kau harus tetap berada di apartemen sampai sepekan. Aku tidak ingin kau mencelakai dirimu sendiri, aku yakin Ronald juga menginginkan hal yang sama." Viona tetap kekeh pada pendiriannya.
"Kau tidak sayang padaku ya? Aku sungguh ingin bertemu dengan Ronald."
"Alice, kau yang tidak sayang pada dirimu sendiri. Jika kau sayang pada dirimu sendiri, pada Ronald dan juga padaku, maka dengarlah permintaanku, 'istirahatlah di sini selama sepekan!" Ujar Viona tegas.
"Aku tak bisa mengubah pendirianmu, bebh.. Baiklah aku menyerah!" Ujar Alice akhirnya sambil menyendokan bubur ke mulutnya.
Viona hanya tersenyum tulus.
Setelah menyelesaikan makan malam mereka, kedua sahabat itu lalu bergegas menuju pembaringan.
"Apa kau yakin akan tidur secepat ini?" Tanya Alice pada Viona yang kini telah mengenakan selimut sampai menutupi dadanya.
"Hmp... Sepertinya iya aku sedikit lelah, bebh." Jawab Viona.
"Vio, apakah kau yakin kali ini aku akan berjodoh dengan Ronald?" Tanya Alice seketika tanpa memandang ke arah sahabatnya, matanya memandang langit-langit kamar mereka.
"Apa yang membuatmu bertanya seperti itu? Apa kau tak yakin dengan hubunganmu dengan Ronald?" Viona malah balik bertanya.
"Ntahlah bebh, dia lelaki pertama yang berani menemui orang tuaku. Ia juga telah tahu akan semua masa laluku dan mau menerima Angel. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal hatiku, aku tidak yakin hubungan kami akan bertahan lama." Keluh Alice.
"Ada apa denganmu bebh, mengapa kepercayaan dirimu menjadi luntur seperti itu? Cobalah untuk percaya dengan hubungan yang kalian bina, kecuali jika kau tidak nyaman dengannya, kau boleh mengakhiri semua."
"Ronald itu seperti angin yang bertiup sepoi-sepoi, sejuk dan membuatku nyaman. Tapi entah mengapa kenyamanan saat bersama dengannya, kadang membuatku takut untuk melangkah lebih jauh. Aku takut kembali kehilangan kenyamanan itu."
"Kau takut itu akan berakhir seperti hubunganmu dengan Edward?" Tanya Viona seketika.
"Iya" Jawab Alice datar. "Aku tak tahu apa kabar pria bajingan itu, mungkinkah ia telah menikahi wanitanya itu?"
"Semoga Ronaldmu tak sama dengan pria bajingan itu. Aku berharap bumi telah menelan tubuhnya!" Ujar Viona kemudian dengan sarkasme pada akhir kalimatnya.
"Aku berharap Ronald adalah pria terakhir dalam hidupku, aku sungguh-sungguh mencintai dirinya, Vio." Alice kembali dengan curahan hatinya.
"Aku tahu, Alice. Aku tahu hanya dengan melihat tatapan matamu padanya."
"Uhmm.... Sepertinya curhatan malam ini cukup. Aku akan menghubungi Ronald sebentar saja, setelah itu aku akan tidur. Kau tidurlah lebih dulu, bebh..." Ujar Alice seketika sambil beranjak dari tempat tidur dengan membawa ponselnya, ia berjalan ke arah balkon kamarnya.
"Jangan lama-lama bebh, ingat kau harus segera beristirahat!" Teriak Viona kemudian sebelum akhirnya ia menarik selimut menutupi wajahnya dan segera tidur.
...
Malam itu Ronald di temani oleh Achmed, salah satu temannya dari Divisi Cyber Police. Azka meminta Achmed yang tadi berdinas pagi di kantor, untuk malam ini menjaga Ronald karena keluarga Ronald tak berada di kota itu untuk menemaninya.
Waktu menunjukan pukul 20.20, Achmed sedang keluar sebentar untuk menghirup udara segar saat seorang wanita memasuki ruangan perawatan Bangsal Pria tempat Ronald di rawat.
"Kau sudah tidur?" Sapa wanita itu pada Ronald yang tengah berbaring menyamping, membelakangi wanita itu.
Ronald terhenyak mendengar sapaan itu, ia kemudian membalikan tubuhnya pada suara itu, wanita yang kemarin terlihat lusuh kini tampak cantik dengan senyum dikulum dari bibir berlipstik pink itu. "Elsa... Kenapa kau kemari?" Tanya Ronald pada wanita itu.
"Aku hanya ingin melihat keadaanmu sebentar. Jam besuk sudah habis, aku mendapat kesempatan sebentar hanya untuk melihatmu saja. Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanya wanita itu yang adalah orang yang kemarin sempat melalui perjuangan yang berat bersamanya.
"Aku sudah lebih baik, mungkin besok aku sudah bisa pulang juga." Jawab Ronald sambil berusaha mendudukkan tubuhnya yang tadi dalam posisi tidur.
"Dokter Alice tidak menemanimu disini?" Tanya Elsa pula.
"Dia tadi bersikeras untuk menemaniku di sini, tapi aku melarangnya. Aku menyuruhnya beristirahat, dengan begitu kami akan segera pulih bersama."
"Iya kau benar. Dia harus menggunakan waktu seminggu ini untuk beristirahat dengan baik." Elsa membenarkan tindakan Ronald.
"Hmp... Apa kau sunguh-sungguh mencintainya?" Tanya Elsa seketika pada lelaki itu.
Ronald menatap dalam ke mata Elsa. "Alice membuatku lebih hidup dan nyaman, tak pernah dalam sehari aku tak memikirkannya, aku bahkan tanpa sadar memukul komandanku demi nyawa Alice. Jika itu adalah definisi cinta, maka aku sungguh-sungguh mencintai wanita itu." Jawab Ronald tegas.
Elsa menganggukan kepalanya dalam senyum yang kelam. Ronald lalu meraih tangan wanita itu kemudian berujar. "Kita pernah menjadi sepasang kekasih, dan waktu itu aku tulus mencintaimu. Masing-masing kita punya cita-cita yang harus diraih, aku mohon maaf karena pergi tanpa memberi kabar padamu dan menghilang tanpa kepastian untuk masa depan. Maaf karena mengakhiri hubungan kita dengan cara yang buruk. Tapi kini, aku mohon padamu Elsa, hiduplah dengan baik dan carilah lelaki yang akan membuatmu bahagia. Aku bahagia bersama Alice, dia adalah hidupku sekarang. Aku harap kau bisa mengerti akan hal itu."
Elsa mendengarkan kata-kata yang diucapkan Ronald sambil terus menganggukkan kepalanya bersamaan dengan air mata yang mengaliri pipinya itu.
"Aku mengerti Ronald, aku sangat mengerti jika aku tak pernah lagi ada di hatimu semenjak kau mengenal Alice. Tapi, untuk apa yang kita lakukan kemarin, apakah aku harus melupakannya juga? Hiks...Hiks..." Elsa berbicara dalam tangisnya.
Mendengarkan itu Ronald lalu tersadar dengan kejadian kemarin di sebuah kamar dalam rumah tua itu, ia lalu melepaskan tangan Elsa yang dipegangnya tadi lalu dengan frustasi ia memegang kepalanya dan menarik rambutnya sendiri dengan kasar.
"Alice... Aku kira kau Aliceku..." Teriaknya kemudian. "Yang ada dalam pikiranku waktu itu adalah Alice, kau pun tahu akan hal itu kan, Elsa?"
"Iya aku tahu itu... Hiks... Hiks..." Jawabnya masih dalam tangis.
"Bisakah kau melupakan hal itu? Aku khilaf Elsa..." Sesal Ronald.
"Aku kemarin melakukan itu karena tak ada cara lain untuk menghangatkan tubuhmu yang kedinginan, dan ternyata cara itu salah, aku membuat kita terjebak dalam hal yang seharusnya tidak terjadi. Aku menyesal Ronald, aku sangat menyesalinya. Aku akan melupakan hal itu!" Elsa mengatakan itu masih dengan menundukan kepalanya.
Bersamaan dengan itu, ponsel Ronald bergetar, telepon dari seseorang yang membuat Ronald tersenyum dan frustasi di saat yang bersamaan 'My Doctor' tampil di layar ponselnya.
"Angkatlah teleponnya! Aku akan pergi sekarang." Kata Elsa, kemudian ia membalikan tubuhnya dan bergegas pergi dari ruangan itu.
Ronald menarik kembali tangan Elsa, "aku mohon maafkan aku, Elsa dan terimakasih untuk segalanya!" Ujar Ronald pada wanita itu.
Elsa sekali lagi hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya, lalu kemudian pergi meninggalkan Ronald yang masih menatapnya dalam kehampaan.
...
Elsa berlari keluar dari rumah sakit itu, ia kemudian memberhentikan sebuah taksi dan meminta sopir tersebut untuk mengantarkannya pada alamat yang dia sebutkan sebagai alamat rumahnya.
Setelah menyebutkan alamat tujuannya, wanita itu kemudian menangis tanpa mempedulikan sopir yang berada di kemudi. Ia mengingat kembali setiap perkataan Ronald tadi, ia sadar betapa lelaki itu sudah tak menatapnya seperti dulu lagi. Ia tak mendapati adanya cinta atau bahkan rasa simpati padanya, ia sadar bahwa sepenuhnya hati Ronald kini telah milik wanita yang adalah seorang dokter baru di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Hiks...hiks... Aku harus bagaimana sekarang?" Elsa kemudian bertanya sendiri pada dirinya dalam tangisan yang tak kunjung henti.
"Nona, apa anda baik-baik saja?" Tanya sang sopir kemudian.
"Hiks...hiks... Aku pasti bisa melupakannya kan, pak?" Elsa malah balik bertanya kepada sang sopir yang tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
"Nona, tenangkan diri anda terlebih dahulu." Pinta sang sopir.
"Iya pak, hiks....hiks" iya masih saja menangis.
Elsa tak tahu apakah sebenarnya ia menyesali apa yang telah ia lakukan bersama Ronald kemarin. Ia sadar jika Ronald dan Alice saling mencintai, tapi apa daya dirinya yang tak punya pilihan lain semalam, selain memberikan tubuhnya untuk menjadi penghangat tubuh Ronald. Jika tadi saat berbicara dengan Ronald, Elsa mengatakan menyesali perbuatannya semalam, namun pada kenyataannya ia merasa bahwa ia tak perlu menyesal dengan apa yang telah terjadi semalam, jika ia membiarkan Ronald semalam dalam kedinginan yang seperti itu, ia yakin kondisi Ronald tidak akan sebaik sekarang. Meskipun itu adalah hal bodoh, Elsa yakin itu pilihan paling tepat dalam hidupnya.