Kamar tempat mereka berdua dirawat itu kini terlihat benar-benar sunyi, tak ada satupun pengunjung yang datang setelah kepergian Azka baru saja. Alice memalingkan wajahnya ke arah Elsa tanpa berniat turun dari tempat tidurnya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang Elsa?" Tanya Alice memecahkan kesunyian.
Elsa tersadar dari lamunannya setelah mendengar suara Alice memberikan pertanyaan padanya. Sejak kejadian kemarin mereka belum sempat bertegur sapa atau sekedar menanyakan keadaan masing-masing.
"Aku sudah lumayan lebih baik kak." Kata Elsa kemudian dengan senyum yang di kulum khas dirinya.
Sejak semalam Elsa memang sudah lebih baik, bahkan ia tak mengenakan infus pada tangannya dan tak mendapatkan terapi apapun. Dokter hanya memberikannya vitamin dan obat penenang ketika sewaktu-waktu ia membutuhkannya, namun untuk mencegah trauma yang mendalam mereka sengaja meminta Elsa untuk tetap di Rumah Sakit untuk menjalani perawatan.
"Kak Alice bagaimana? Apa sudah lebih baik?" Elsa balik memberikan pertanyaan.
"Aku sudah lebih baik sekarang." Jawab Alice. "Elsa... Aku sungguh memohon maaf kau pasti mengalami hal yang sulit kemarin. Semua itu karena jacket yang aku pakaikan padamu. Maafkan aku Elsa." Lanjut Alice kemudian.
"Tidak apa kak, sekarang kita semua telah selamat. Itu lebih penting dari apapun."
Alice merasa lega mendengar jawaban Elsa, awalnya ia berpikir wanita itu akan sangat marah padanya karena mendapatkan perlakuan yang tak baik dari para penjahat tersebut karena dirinya, kejadian yang menimpa Elsa tak akan terjadi jika Alice tak memberikannya jacket itu.
"Boleh kau ceritakan padaku apa yang kau dan Ronald alami selama hari kemarin? Pasti mereka menyiksa kalian dengan luar biasa kan?" Tanya Alice seketika.
Elsa tak tahu harus memulai ceritanya dari mana, apakah ia akan menceritakan semua kejadian di sana, ataukah harus ada bagian yang akan ia tutupi selamanya, ia bahkan tak tahu apakah yang ia lakukan bersama Ronald kemarin secara nyata hanya dianggap Ronald sebagai khayalannya. Ia sedang mengatur kata untuk memulai ceritanya disaat seseorang masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa.
"Alice...." Ujar wanita itu ketika mendapati orang yang dicarinya tersebut sedang duduk manis di atas tempat tidurnya.
"Apa yang terjadi denganmu?" Tanya wanita itu lagi, ketika telah sampai dekat Alice, ia kemudian berusaha memeriksa bagian tubuh sahabatnya itu, ia begitu khawatir ketika mendapati tangan kiri sang sahabat sedang terpasang infus.
"Kau sakit?" Tanyanya lagi dengan iba dan penasaran.
"Aku baik-baik saja bebh." Jawab Alicekemudian.
Dan wanita yang panik itu sekali lagi memeriksa temannya itu, ketika ia memegang wajah Alice tepatnya pipi kirinya, wanita itu terkejut karena Alice tampak meringis kesakitan.
"Awwhhh...." Teriak Alice seketika.
"Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu? Ronald berani menamparmu, Alice?" Serentetan pertanyaan mulai keluar dari bibir seksi Viona yang mengenakan lipstik berwarna purple itu.
"Bebh... Kamu bicara apa sih? Ronald mana mungkin melakukan ini padaku?!" Kilah Alice seketika.
"Lalu siapa?"
Kemarin saat terdengar sirene mobil patroli dibunyikan sontak Tn. Alexander yang sedang menikmati makanannya menjadi terkejut dan dengan kesal ia melampiaskan amarahnya kepada Alice, karena ia merasa telah dipermainkan oleh wanita itu, ia berpikir Alice lah yang telah menjebaknya dan menyebabkan semua ini. Dalam sekali labrak semua makanan di atas meja makan berserakan di lantai, ia kemudian menghampiri Alice yang masih terkejut dengan tindakan Tn. Alexander tanpa berupaya bangkit dari duduknya dan "Plakkk...." Tamparan itu bersarang pada pipi kirinya yang membuat wanita itu terjatuh dari kursinya ke lantai, tak sampai disitu Tn. Alexander lalu menarik rambut Alice dan meletakan pistol tepat di tengah kepala Alice.
"Kau sudah bosan hidup rupanya dokter Alice Valencia? Kau ingin bermain-main denganku?" Bentak Lelaki itu yang akhirnya membuat Alice yang tadinya begitu berani menjadi ciut luar biasa. Dia memikirkan bagaimana kematian menghampirinya hari ini.
"Alice!!" Teriakan Viona kemudian menyadarkan Alice dari lamunannya akan kejadian tadi malam.
"Ada apa denganmu? Siapa yang melakukan ini padamu?" Viona kembali mengulangi pertanyaannya.
Pertanyaan Viona sekali lagi hanya tersisa tanda tanya karena saat Alice akan menjawabnya, serombongan orang masuk ke dalam ruangan tersebut dengan gaduhnya.
"Dokter Alice Valencia... " Sapa suara yang terdengar berat namun bijak itu.
"Bapak direktur" Alice membalas sapaan sang lelaki yang kini telah berdiri tepat di depan tempat tidurnya bersama dengan rombongan dokter yang lainnya.
"Suster Elsa..." Sang direktur kini memanggil nama Elsa pula, bak mengabsen para pegawainya yang kini tengah dirawat di ruangan tersebut. Elsa kemudian membungkukan tubuhnya yang masih terduduk di atas tempat tidurnya itu untuk membalas salam sang direktur.
"Bagaimana keadaan kalian? Saya turut prihatin dan berduka untuk apa yang telah kalian berdua alami kemarin." Ujar sang direktur kemudian.
"Kami sudah jauh lebih baik, Pak. Terimakasih karena berkenan mengunjungi kami." Jawab Alice.
"Kalian berdua sungguh hebat. Penangkapan penjahat semalam menjadi topik utama di kota Grazia, dan Rumah Sakit kita kini mendapat sorotan publik karena dua jagoan itu dari rumah sakit ini." Ujar dokter Reza kemudian, sambil berjalan ke tengah antara tempat tidur Elsa dan Alice.
"Saya pribadi turut prihatin, saya berharap kalian berdua bisa segera pulih baik fisik maupun mental." Dokter Reza menyampaikan kalimat itu di akhir ucapannya.
"Penangkapan penjahat? Maksudnya apa?" Tanya Viona kemudian yang sejak tadi hanya bisa berdiam diri di sisi kiri tempat tidur Alice. Ia bagaikan orang bodoh yang tak tahu jalan cerita seperti apa yang telah dilalui sahabatnya itu.
Semua mata kini tertuju pada Viona, Alice sendiri menatap sahabatnya tersebut malah dengan tatapan sendu penuh permohonan maaf. "Vio.... Maafkan aku, aku belum sempat menceritakannya." Ujar Alice kemudian.
"Okey aku maafkan. Sekarang ceritakan apa yang terjadi!!" Tuntun Viona kemudian.
Alice akan menjawab, namun tak disangka suara dari depan pintu ruangan itu datang bak tamu tak diundang. "Saya akan menjelaskan semuanya nanti pada anda." Suara itu terdengar tak asing di telinga Viona dan Alice, kini semua pandangan tertuju ke arah pintu menyaksikan sosok tampan yang berjalan masuk menuju tempat tidur Alice.
"Azka..." Desis Viona tertahan.
"Nanti saya akan menceritakan semuanya pada anda nona Rahaya, sekarang ijinkan Alice untuk bertemu dulu dengan Ronald." Ujar Azka kepada Viona sambil menatap dalam bola mata Viona yang berwarna coklat itu.
"Bagaimana keadaan Ronald? Apa dia sudah sadar?" Terdengar suara dari seberang tempat tidur, Elsa mulai memperdengarkan suaranya lagi, ia tak bisa membendung rasa penasarannya kini akan kondisi Ronald.
"Iya, dia sudah sadar." Jawab Azka sambil menghadapkan tubuhnya pada Elsa lalu kemudian berbalik lagi menatap Alice "Dia sudah menjalani beberapa pemeriksaan tadi, dan sekarang dia sedang mencari anda sekarang, dokter!"
Alice begitu bahagia mendengar kabar bahwa Ronald telah siuman, ia seketika beranjak dari tempat tidurnya dan akan meninggalkan ruangan itu.
"Bapak direktur, dokter Reza, dan semua yang telah mengunjungi saya, Terimakasih banyak. Saya mohon maaf saya harus pergi dulu untuk menemui seseorang. Sekali lagi terimakasih!!" Ujar Alice ketika ia telah berdiri dengan sempurna sambil memegang sendiri tiang infusnya.
Ia kemudian berjalan meninggalkan ruangan itu bersama Azka, diikuti dengan Viona dibelakangnya.
...
...
"Bodoh!!!" Marah Alice kemudian setelah berada disisi tempat tidur Ronald.
Yang dimarahi hanya tersenyum, sambil mengulurkan tangannya hendak menggapai Alice.
"Kau sudah lebih baik sekarang sayang? Maaf tidak menemanimu." Ronald malah mengatakan hal sebodoh itu pada Alice, yang menambah kemarahan Alice seketika.
"Kau pikir kau itu robot? Kau itu terbuat dari besi baja yang kuat yang tak dapat sakit? Kenapa ada lelaki sebodoh dirimu?" Geram Alice pada Ronald dan tetap pada posisi seperti tadi, ia tak memberikan tangannya pada Ronald.
"Sayang, kamu kenapa marah-marah begitu, tidak baik untuk kesehatan kamu. Ayo sini, aku peluk." Rayu Ronald kemudian pada sang kekasih sambil merentangkan kedua tangannya, ia kini sedang berada pada posisi setengah duduk bersandar pada tempat tidurnya.
Alice yang tak bisa menguasai dirinya, antara marah, rindu dan sedih yang kini bercampur di dalam batinnya akhirnya seketika langsung menghambur masuk ke dalam pelukan sang Ronald. Ia kemudian menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan kekasihnya itu.
"Kenapa menangis sayang? Tenanglah, aku sekarang baik-baik saja!!" Ronald menenangkan Alice yang masih saja menangis.
"Kenapa kau sejahat itu? Kenapa kau sebodoh itu? Kenapa kau tidak pergi saja menjalani pemeriksaan lebih dulu sebelum akhirnya menemaniku semalam, kalau saja kau mendapatkan perawatan untuk lukamu kau tidak akan seperti ini. Kau pikir jika terjadi sesuatu padamu aku bisa hidup dengan tenang. Bagaimana jika kau mati?" Kekesalan Alice keluar bersamaan dengan air mata kesedihannya. Ronald mendekap erat tubuh Alice, sambil berulang kali mencium puncak kepala sang kekasih.
"Tolong, jangan seperti itu lagi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku tindak ingin kehilangan dirimu." Ungkap Alice seketika sambil menengadahkan wajahnya menghadap ke arah Ronald yang masih saja memeluk erat tubuhnya.
Ronald menganggukan kepalanya.
"Berjanjilah padaku, Ronald!!"
"Aku berjanji dokter Alice Valencia, aku tidak akan sakit, apalagi mati. Aku akan hidup dengan sehat dan berbahagia!!" Ujar Ronald sambil menatap mata Alice yang masih saja mengaliri larva beningnya. Ronald sekali lagi mengecup puncak kepala Alice.
"Berjanjilah juga padaku, jika Aliceku akan hidup sehat dan berbahagia dalam keadaan apapun!" Pinta Ronald pada sang kekasih.
Alice menganggukan kepalanya "Iya, aku berjanji!!"
Azka dan Viona yang melihat pemandangan itu tersenyum bahagia. Senyum dan kebahagiaan yang tulus, satu hal yang pasti Azka sepertinya telah ikhlas untuk kebahagiaan kedua insan itu.
...