Chereads / Inggrid Shit List / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

Sebelum hari itu, Inggrid sering bertanya-tanya apakah orang yang kurang tidur benar-benar terlihat mengerikan seperti zombie?

Sepertinya itu tidak mungkin karena bagaimana bisa orang terlihat menyeramkan hanya karena kekurangan waktu tidurnya, ya kan?

Tapi 3 tahun lalu ... untuk menatap cermin di dalam kamarnya saja Inggrid tidak berani, ia pernah melakukannya sekali dan alhasil dia menjerit lantas lari tunggang langgang.

"Kau benar-benar mengerikan, Grid!" teman karibnya baru saja mengingatkan betapa buruknya dia sejak putus cinta.

Inggrid menoleh lantas memberikan tatapan menyipit yang memiliki makna 'Aku benci mulutmu, Anggi!' setelah itu ia kembali melengos dan memfokuskan konsentrasinya pada layar komputer, melihat kembali hasil desain cover yang ia buat sebelum ia setorkan ke penulis dan ketua redaksi.

"Apa sih bagusnya si Putra itu? Tampan? Kaya? Menurutku laki-laki sepertinya itu sangat standar, banyak kutemui di jalanan setiap hari." Anggi kembali mengoceh.

God, mulut temannya itu entah masuk dalam kategori level berapa pedasnya. Tapi yang Inggrid rasakan saat ini terlalu pedas sampai rasanya ia ingin menangis lagi seperti hari pertama ia mendapatkan kabar buruk dari si brengsek itu.

Nyatanya, dalam konteks real life, modal tampang yang tampan, dompet tebal dan juga jabatan tinggi saja bukanlah sebuah jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sebuah rasa tanggung jawab yang tinggi.

"Lagipula kenapa kau masih mengharapkan si brengsek itu kalau di depan matamu ada yang jauh lebih baik?!"

Inggrid mengernyitkan keningnya. Otaknya sedang memproses ucapan Anggi barusan.

"Maksudmu apa?" ia akhirnya menyerah untuk berpikir karena saat ini otaknya sedang tidak bersahabat.

Anggi memberi kode dengan dagunya. Inggrid semakin tidak mengerti namun saat kepalanya mengikuti petunjuk Anggi, saat itu ia sangat menyesal. Mika sedang berdiri di depan ruangan suci miliknya, tengah berbincang dengan salah satu staff produksi.

"Kau gila!" desis Inggrid pada temannya tersebut.

Dan Inggrid merasa dirinya benar-benar sudah gila sejak pertama kali memutuskan untuk berhenti bekerja dari publishing yang lama hanya karena alasan tidak ingin satu kantor dengan Putra, kemudian mengajukan lamaran ke Orange Publishing yang jelas-jelas Inggrid tahu siapa pemiliknya. Itu adalah keputusan paling gila yang pernah ia ambil!

Mika Dewangga, sosok pria yang sudah sangat lama ia kenal. Pria itu adalah tetangga dan sekarang merangkap menjadi atasannya juga. Inggrid tidak mengerti alasan kenapa pria itu bersikap brengsek sejak dulu —maksudnya ... Mika terlihat tidak suka padanya. Seolah-olah Inggrid pernah melakukan sebuah kesalahan fatal hingga ia berhak menerima sikap menyebalkannya itu.

"Apa aku salah? Kurasa tuan Mika orang yang keren. Dia mapan, tampan, dan kalian sudah saling mengenal sejak lama. Lagipula sejak bulan lalu tuan Mika selalu memerhatikanmu, tahu!"

Oh, jelas. Anggi tidak tahu saja kalau Mika sebenarnya sedang mengawasi dan memastikan bahwa aku tidak akan membuat onar atau menyulitkan perusahaannya!

"Dia selalu memperhatikan pegawainya, Anggi. Dan kalau kau tidak tahu, sejak 5 menit lalu matanya sedang memerhatikanmu. Kembalilah ke kubikelmu kalau kau tidak mau mendapat teguran pedas dari mulutnya." timpal Hellen dari kubikelnya.

Inggrid tersenyum, ia sangat mencintai Hellen. Temannya yang satu itu sangat berbeda dengan Anggi. Hellen tipe orang yang tidak suka bergosip.

*

*

Mendongak ke atas dan mendapati jarum jam sudah mendekati pukul 6 sore, Inggrid langsung mendesah lega. Akhirnya matanya bisa beristirahat juga.

"Kalian ada acara malam ini?" Anggi datang menghampirinya, tas sudah bergelayut manja di bahunya yang terbuka.

"Tidak, kenapa?" jawab Inggrid tek begitu peduli.

"Bagus!" sahut Anggi bersemangat, ia kemudian merangkul bahu Hellen dan Inggrid. "Kalian tahu Dimas? Dia mengadakan acara ulang tahun di salah satu kelab."

Hellen terlihat enggan, ia melepaskan diri dari rangkulan Anggi. "Maaf, aku tidak ikut teman-teman."

"Kau gila? Ini acara yang spektakuler, Dimas akan menyewa kelab hingga pagi! Kita bisa berpesta tanpa harus mengeluarkan uang dan ... siapa tahu kalian berdua mendapatkan jodoh di sana."

Dimas Hanggono, anak konglomerat yang entah kenapa bisa nyasar di penerbitan padahal ia memiliki peluang besar untuk menjadi CEO di perusahaan keluarganya yang selama ini bergerak di dunia perhotelan dan konstruksi.

Mungkin dalam kamus Dimas, menghamburkan uang jutaan rupiah dalam satu malam seperti bukan masalah besar karena dia anak konglomerat, yang memiliki pundi-pundi uang di bank yang sialnya tidak habis untuk 7 turunan.

Anggi jelas tidak akan melewatkan kesempatan itu begitu saja. Kapan lagi dia bisa bersenang-senang tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

"Ayolah, Hellen... hanya malam ini. Lagipula hidupmu jangan lurus-lurus saja. Sesekali harus ada sesikit belokan agar tidak terlalu membosankan." Dia masih berusaha membujuk.

Inggrid dan Hellen saling berpandangan sebelum tawa mereka meledak. Anggi memang memiliki segudang kata bijak, tapi cara penyampaiannya terlalu sulit dipahami.

*

*

Suara dentuman musik tidak sehingar-bingar satu jam lalu. Anggi sudah terkapar di atas meja dan Hellen sudah dibawa oleh pria tampan entah siapa namanya. Inggrid berjalan terhuyung, ia butuh kamar kecil untuk menumpahkan isi perutnya.

"Inggrid?"

Samar-sama ia mendengar seseorang baru saja menyebut namanya. Inggrid berjalan mendekat untuk memastikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik.

Di sana, di depan meja bar tender, dua orang pria terlihat sedang berbincang-bincang. Inggrid menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia juga menggosok kedua matanya namun pria itu benar-benar nyata.

Sedang apa bajingan itu ada di sini? Pikir Inggrid tak percaya.

Pasalnya, sejak putusnya mereka waktu itu, Inggrid tak pernah mendengar kabar tentangnya lagi dan ini kali pertamanya bertemu setelah sekian lama.

Pria itu banyak berubah, dia semakin tinggi, tubuhnya semakin tegap, wajahnya semakin tampan dengan rahang yang terlihat semakin tegas, hanya satu yang tidak berubah yaitu mulutnya yang berkata penuh omong kosong.

"Jadi dia bekerja di penerbitan keluargamu?" suara pria itu terdengar berbeda dari 2 tahun lalu, suaranya lebih dalam.

Inggrid bersembunyi di balik tembok, kepalanya melongok sedikit hanya untuk melihat siapa teman bicara mantan kekasihnya itu.

"Oh, sial!!" pekik Inggrid, matanya hampir copot setelah menyadari siapa teman bicara mantannya.

Mika? Apa yang sedang dia lakukan di bar seperti ini?

Tidak, pertanyaan yang masuk akal adalah — bagaimana mereka bisa saling kenal satu sama lain? Ada hubungan apa antara Mika dan juga mantan kekasihnya itu?

"Apa dia sudah memiliki kekasih?" suara Putra kembali terdengar.

Inggrid menelan ludah di tempatnya. Untuk apa Putra menanyakan statusnya? Apa dia ingin kembali padanya?

"Kurasa tidak ada." Mika kembali menjawab, dia mengangkat gelas di depannya kemudian dengan sekali tenggak gelas itu sudah kosong.

"Kau serius?" sebuah kekehan selanjutnya terdengar, begitu sombong. "Hmmm, mungkin karena dia belum bisa move on dariku, maklum saja karena aku cinta pertamanya dan hanya aku yang bisa membuatnya jatuh cinta saat itu." ujar Putra dengan bangga.

Mika menoleh, ada sorot tak suka saat menatap mantan kekasih Inggrid di sebelahnya. "Apa kau akan kembali padanya?"

"Pada Inggrid?" Putra terlihat mengerutkan keningnya namun detik kemudian ledakan tawa keluar dari mulutnya. "Hahaha ... aku? Kembali pada gadis membosankan sepertinya? Yang benar saja!"

Gadis membosankan?

Inggrid mengepalkan tangannya erat. Sial, itukah yang selama ini ada di dalam otak Putra tentang dirinya? kali ini Inggrid menggeretakkan giginya geram.

"Gadis membosankan? Lalu kenapa dulu kau memacarinya?" Mata Mika menyipit, ekspresi wajahnya tak terbaca.

"Dengar, kalau saja bukan karena taruhan dengan Ando, mana mau aku berpacaran dengan gadis yang tingkahnya seperti preman itu. Bahkan dia tidak tahu caranya berdandan, sangat membosankan sekali, kan?"

Inggrid terpaku di tempatnya.

Ando? Taruhan? Apa maksudnya itu?

"Taruhan? Kau berpacaran dengan Inggrid karena taruhan?" Mika bertanya pada Putra seolah pria itu baru saja membaca pikirannya.

Dan entah mengapa Inggrid melihat obsidian milik Mika berkilat kesal saat menatap Putra di sampingnya yang masih terpingkal.

"Saat di universitas dulu aku memiliki hutang yang cukup besar pada Ando. Aku tidak punya uang untuk membayar hutangku dan dia bilang kalau aku bisa memacari sahabatnya, membuatnya sedikit menjinak dan bertingkah selayaknya gadis-gadis seusianya maka hutang-hutangku akan dianggap lunas."

Ando!!!

Inggrid menggeram, tangannya terkepal kuat. Ini bukanlah kali pertama Inggrid mendapat perlakuan bajingan dari sahabat-sahabatnya, bahkan Deval pernah mendaftarkannya di ajang pencarian jodoh.

Juga Deval pernah menempelkan fotonya di mading dengan beberapa kriteria pria idaman yang dicantumkan dibawah foto, jangan lupakan caption memalukan yang ia tulis 'SELAMATKAN ANAK KAMI DARI KUTUKAN JOMBLONYA!'.

Astaga, Inggrid hanya tidak percaya kalau Ando juga ikut-ikutan berlaku bajingan seperti Deval. Oke, setidaknya usaha Ando waktu itu cukup berhasil, karena baru hari ini Inggrid mengetahui kebenaran kejam itu.

Putra datang padanya secara perlahan, membuatnya nyaman, membuatnya merasa diinginkan, bahkan Inggrid sampai rela memakai rok, memakai bedak, lipglos, juga memakai penjepit rambut lucu di rambutnya hanya untuk membuat pemuda itu menyukainya.

Namun ... setelah mengetahui alasan kenapa Putra dekat dengannya dan menjadi kekasihnya hanya karena sebuah taruhan untuk melunasi sebuah hutang, Inggrid merasa menjadi gadis paling menggelikan.

Ingatkan Inggrid untuk menuliskan nama Ando di buku shit list'nya setelah pulang dari tempat ini.