Chereads / Granny’s House / Chapter 3 - Saat surat itu datang II..

Chapter 3 - Saat surat itu datang II..

Darren Carlson-Katharine Helena-Daniel Carlson

"Hah??? Dua Tahun? Gila!!" Teriak seseorang diruang tamu beberapa menit yang lalu.

Sedari tadi Darren menutup telinganya, kepalanya pening bahkan hampir pecah mendengar rengekan yang tiada hentinya dimulai semenjak ia menerima dan membaca surat dari nenek. Rasanya Darren ingin menyumbat mulutnya dengan kain agar ia tak lagi mendengar rengekan, Kenapa juga sih dia harus merengek seperti bayi hanya karena surat? Darren tahu isi surat dari nenek memang menyeramkan khususnya bagi anak itu, tapi sikapnya sangat berlebihan terlebih mengingat umurnya yang sudah tujuh belas tahun.

Darren mendengus kesal, kemudian ia merasakan usapan halus di pundak yang diberikan istrinya Helena, wanita itu menatap prihatin dirinya yang kepusingan melihat tingkah laku adik kandungnya, tatapannya juga seolah memberi isyarat untuk Darren agar ia bersabar. Mungkin kalau disampaikan Helena akan mengatakan sabar biar kelakuannya mirip belut begitu dia itu adikmu.

Darren mengangguk mengerti akan sarat dari tatapan Helena, lalu kembali mengalihkan atensinya kepada makhluk dihadapannya. Ya Tuhan memangnya dia tidak malu ya berguling-guling di karpet begitu, belum lagi disaksikan seluruh keluarganya! Catat! Seluruh keluarganya, tiga anaknya yang berusia 10, 8 tahun, dan 3 tahun serta istrinya.

"Sayang.. ayo ikut ibu ke kamar ini sudah malam, waktunya Arkha dan Arya tidur. Lea juga ya sayang" Helena membuka suara, menggiring anaknya masuk kedalam kamar, dengan Lea putri bungsunya dalam gendongan. Bagaimanapun ia harus menjaga putra-putrinya, kelakuan Daniel bisa-bisa mempengaruhi ketiga anaknya berkelakuan buruk.

"Sayang aku ke kamar dulu ya" ucap Helena kepada Darren yang kemudian mendapatkan anggukan. Arya menggandeng tangan Helena sedangkan Arkha disamping adiknya. Masih dapat didengar percakapan ibu dan anak saat meninggalkan kakak beradik itu

"Bu, kenapa brother uncle menangis?" Tanya Arya.

"Arya sudah berapa kali ibu katakan, panggil Uncle saja tidak perlu ada brothernya sayang."

"Brother uncle yang suruh kok bu. Brother uncle menangis kenapa? Tidak dapat permen ya? Atau pipis dicelana? Oh atau pup dicelana ya bu? Tapi kok arya gak cium bau busuk ya"

Daniel sebenarnya mendengar pertanyaan mengesalkan dari arya keponakannya. Ia mendengus tapi tidak mau peduli soalnya hatinya sedang gundah.

"Uncle sedang acting, sudah jangan tanya-tanya lagi."

Meski berkata begitu, Arya masih tetap bertanya pada ibunya, dan pertanyaannya semakin ngawur, Helena hanya bisa tabah menjawab semua pertanyaan Arya, mungkin memang umur segitu anak sedang ingin tahu banyak hal kali ya. Keempatnya kemudian menghilang tinggalah Darren dan Daniel yang masih saja merengek bahkan bukannya mengecilkan suaranya, pria itu semakin tidak tahu diri membuka mulutnya.

Darren memijit pangkal hidungnya. Kekesalannya memuncak, ia melempar bantal sofa ke arah Daniel dengan kencang.

"Diamlah bodoh!!! Astaga bisa pecah kepalaku mendengar suaramu!" Daniel merangkak menuju kaki Darren lalu memeluknya, yang lebih tua merasa risih dan berusaha untuk melepaskannya.

"Bang Darren, gimana nih.. huhuhu tolong adikmu. Aku tidak mau tinggal dirumah nenek!"

"Astaga Daniel kau yang bertingkah, aku yang malu. Lepaskan!! kau pikir aku yang memutuskan. Aku juga tidak mau tinggal dirumah nenek tapi mau bagaimana lagi itu surat wasiat. Kualat nanti kalau tidak di turuti."

"Memangnya iya?"

"Tidak tahu juga sih" Daniel mendengus, ia mulai membangkitkan dirinya, percuma merengek dengan Darren, kakaknya tidak akan bisa membantunya. Lagipula Daniel juga sudah lelah, laper, haus, jomblo eh... pokoknya ia harus memikirkan cara bagaimana agar tak ikut kerumah nenek.

"Kabur aja apa ya bang?" Nenek juga tidak akan tahu!"

"Silahkan saja, kalau kau mau..."

"Tidak jadi deh!! Sampai titik darah penghabisan aku akan tetap di negara ini, aku tahu abang mau ngomong apa! pokoknya sampai medusa itu pergi dari kehidupan kita, aku akan terus disini buat mengganggu hidupnya." Potong Daniel tahu apa yang akan dikatakan kakaknya. Alasan ia tetap disini adalah karena ingin mencegah ayahnya yang akan menikah lagi, bukannya Daniel ingin melarang, ia hanya tidak suka dengan perempuan itu.

Sebagai petarung sejati dia tidak akan membiarkan dirinya kalah, ayahnya tidak boleh menikah dengan medusa. Titik tidak pakai koma. Darren yang memperhatikan Daniel dari atas sofa tersenyum kecil.

"Lagaknya saja yang seperti petarung, tinggal dirumah nenek menangis seperti bayi." Seolah diingatkan kembali pada kenyataan, Daniel terlonjak. Ia menatap Darren horror.

"Bang tinggal di rumah nenek tuh kaya tinggal di kemiliteran bang. Keras boy!! Apalagi dua tahun berasa ikut wamil."

"Yasudah ikut wamil saja."

"Sama aja bohong. Arghhhh... gimana nih?!!" Daniel mengusak rambutnya frustasi, ia tidak bisa meninggalkan negara ini tapi tidak juga mau tinggal dirumah nenek. Lama berfikir akhirnya ia menghembuskan nafasnya, baiklah Daniel sudah memutuskan.

"Aku mau kudeta saja bang, tidak mau kerumah nenek."

Darren bangkit dari duduknya, ia sudah lelah dengan konversasi ini ia ingin segera beristirahat karena besok ada operasi penting, ia tidak mau karena mengantuk ia jadi melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya. Darren mengusak rambut adik bontotnya.

"Terserah, kalau sudah siap jadi gembel." Kata Darren, buru-buru Daniel mencegah abangnya yang hendak pergi.

"Kok gembel bang?"

"Nenek mau menarik semua fasilitas yang diberikan, kalau kamu gak menjalankan wasiat."

"Oh tidak masalah... kan masih ada abang, memangnya abang gak mau biayain adiknya sendiri? Ganteng loh bang ini, aset perusahaan. Kalau jadi youtubers duitnya banyak. Abang bisa kecipratan"

Darren mendengus mendengar perkataan adiknya, ia jadi berpikir ini orang mengambil jatah percaya diri banyak ya?

"Kamu pikir abang dapat uang darimana? Rumah sakit tempat abang bekerja saja punya nenek.. abang bisa ditendang kapan aja. Sudah ah, abang capek mau tidur, mau kelonan sama istri."

"Yee sombong amat!"

Daniel mendelik kesal sedangkan Darren masa bodo, ia ingin segera meninggalkan Daniel yang kembali uring-uringan di karpet menuju kamarnya.

🍀🍀🍀

Darren masuk ke dalam kamarnya dan langsung menuju toilet, awalnya berniat untuk mandi, tetapi tidak jadi karena malas dan sudah mengantuk juga, jadi ia hanya mencuci wajahnya, sikat gigi lalu mengganti bajunya dengan piyama tidur. Setelah selesai melakukan kegiatannya, Darren keluar kamar mandi, matanya menangkap pemandangan istrinya yang tengah mengoleskan krim wajah. Merasa diperhatikan Helena menolehkan wajahnya, menatap Darren yang nampak kelelahan. Ia tersenyum manis, menghampiri suaminya yang sedang membaringkan tubuhnya di atas ranjang

"Sudah selesai?" Tanyanya lalu ikut naik ke ranjang dan duduk menghadap suaminya. Tangan Helena membuka penutup pelembab wajah miliknya dan mulai mengusapkan pada wajah Darren.

"Kalau tidak ditinggal tidak akan selesai. Kapasitas bicaranya melebihi manusia normal" Helena terkekeh, kemudian menyelesaikan kegiatannya, meletakan pelembab wajahnya di atas nakas, lalu membaringkan tubuhnya. Darren dengan cepat memeluk tubuh Helena dan menjadikannya sebagai guling. Ia mengecup pucak kepala Helena yang beraroma manis.

"Jadi gimana? Masih maksa?"

"Hmm.. katanya mau kudeta." Lagi Helena terkekeh, adik iparnya memang ajaib.

"Terus kita juga?"

"Hmm.. maaf ya. Tidak apa-apakan?" Helena mengangguk, sebagai istri ia tahu ia harus mengikuti suaminya, Suara Darren melemah, karena kantuknya semakin terasa, apalagi elusan tangan Helena dipunggungnya semakain membuatnya terbuai.

"Memangnya kenapa sih Ren dia takut sekali tinggal dirumah nenek?" Tanya Helena, lama menunggu Darren tak juga menjawab, sesaat terdengar suara dengkuran halus. Helena mendongakan wajahnya dan mendapati suaminya yang sudah terlelap. Ia tersenyum menatap suaminya yang sedang tidur, wajahnya benar-benar tampan, pantas saja ibu-ibu komplek sering menggoda suaminya.

"Ah jangan tampan-tampan dong. Jadi susah nih bertahan hidupnya. Selamat tidur sayang" ucapnya sebelum mencium bibir Darren singkat. Helena menyamankan posisinya setelah itu menyusul suaminya mengarungi dunia mimpi.