Chereads / Granny’s House / Chapter 4 - Saat surat itu datang III

Chapter 4 - Saat surat itu datang III

Ed Farley, Jimmy Grissham

Seperti pada pagi di hari-hari sebelumnya, Ed sudah menyibukkan dirinya di dapur, membuat sarapan untuk kedua buah hatinya, kendati kegiatannya selalu luar biasa padat , setiap harinya Ed tidak akan membiarkan anak-anaknya melewatkan sarapan pagi. Namun pagi ini sedikit berbeda jika biasanya ia seorang diri, kini seseorang ikut membantunya membuat sarapan. Meskipun yang dilakukannya hanya berceloteh dan menyicipi semua masakan yang ia buat. Ia cukup terhibur karena kehadirannya.

"Terimakasih Jim, kau bersedia datang untuk membantu abang menjaga Gavin" Kata Ed kepada Jimmy adik sepupunya, tangannya sibuk mengaduk nasi goreng buatannya dengan spoon. Ed seorang koki di restauran terkenal miliknya, meskipun itu restauran kepunyaannya sendiri. Ed tetap turun tangan untuk memastikan kualitas rasa dan masakan di restaurannya. Sebab, pernah sekali ia memberikan kesempatan itu kepada kepala koki kepercayaannya dulu kala, tetapi ia lalai menjalankan tugasnya dengan baik, membuat kesalahan fatal hingga citra baik pada restaurannya tercemari.

Bagi Ed pada masa itu adalah masa paling berat dalam hidupnya, karena selain masalah pada restaurannya, ia harus merasakan hal pahit lainnya. Seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Istrinya yang tengah mengandung anak keduanya harus merenggang nyawa saat sedang berjuang melahirkan si buah hati. Ed hancur, rasanya waktu itu ia tidak bisa berpikir panjang untuk segera mengakhiri hidupnya, beruntung akal sehatnya kembali hadir saat ia mendengar suara tangisan bayinya. Disaat kondisinya yang masih terguncang Ed menghampiri Gavin yang menangis kencang, tangannya gemetar menggendong bayi kecilnya, ia menatap lamat-lamat puteranya, tangan kecilnya menyentuh pipi Ed yang basah, ia menangis tersedu-sedu sebab menyadari kebodohannya yang hampir saja ia lakukan.

Kemudian ia menyadari Gavin telah menyelamatkannya dari kehancuran yang sebenarnya, seharusnya ia sadar sejak awal masih ada dua nyawa yang berhak merasakan kehidupan, bagaimana mungkin kedua anaknya mampu bertahan di dunia yang kejam ini jika saja waktu itu ia nekat. Sungguh ia akan mati tersiksa karena rasa bersalah pada kedua anaknya. Semenjak itu ia tidak akan melakukan hal gila lagi. Ia berjanji pada dirinya untuk mengabdikan hidupnya untuk kedua puteranya.

"Ah tidak masalah, aku juga sedang libur kuliah kok. Wah Enak! resep baru bang?" katanya seraya menyendok nasi goreng yang masih dalam wajan, Ed sedang mengambil piring, lalu menuangkannya.

"Enggak, cuman nambah kornet aja."

"Ck sama aja bagiku tetap resep baru." Ia kembali menyuapkan nasi goreng yang telah dihidangkan untuknya, Jimmy merasa beruntung mempunyai kakak sepupu seorang koki, ia tidak perlu merogeh kocek banyak hanya untuk makan enak. Cukup datang saja, makanan enak semua tersedia. Saat ia sedang asik makan, seorang bocah cilik menghampiri keduanya, tangan mungilnya mengucak matanya yang masih mengantuk, beberapa kali menguap.

"Daddy~" panggilnya lirih, ia menghampiri Ed yang mulai mengalihkan atensinya kepada dirinya, dihadapan ayahnya ia mengangkat tangannya minta untuk di gendong. Ed yang mengerti segera mengangkat putra sulungnya, mencium pipinya yang gempal.

"It's too early to wake up sayang"

"Ken harus sekolah daddy...." ayahnya menatap bingung, jadwal sekolah Ken seharunya nanti siang, ini masih pukul 7 terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah.

"No!! Jadwal sekolah Ken jam 10 sayang, ini masih jam 7, masih teralu pagi untukmu berangkat."

"Jadi Ken salah Dad??" Ed dan Jimmy terkekeh melihat wajah kebingungan Ken, ah anak itu terlalu bersemangat ke sekolah sepertinya hingga ia tidak tahu jam berapa ia harus pergi.

"Tentu saja boy!! Kau terlalu bersemangat ternyata."

"Oh uncle!!!!!!!" Teriak Ken yang langsung minta diturunkan dari gendongan ayahnya. Ia berlari menuju Jimmy dan dengan sigap pria itu memangkunya diatas paha.

"Jadi sejak tadi tidak menyadari kedatanganku ya? Wah tega sekali Ken ini kepada Uncle." Yang dituduh hanya tertawa mendengar keluhan unclenya, memang sedari tadi tidak menyadari sama sekali kehadiran unclenya mungkin karena baru bangun tidur.

"Sorry uncle!!"

"That's oke. Tapi ada syaratnya sih kalau mau di maafkan. Gimana kalau kita nanti makan es krim bersama?" Tanyanya membuat wajah Ken cerah sumringah karena tawaran yang menggiurkan. Tapi sepertinya itu hanya akan jadi khayalannya saja karena tiba-tiba ayahnya menginterupsi mereka dan mengatakan tidak akan ada es krim untuk hari ini karena kemarin sudah makan makanan tak bergizi itu cukup banyak. Sontak saja wajah cerianya berubah sendu, lalu mengulum bibir bawahnya.

"Aish Bang galak sekali sih sama anak." Kemudian Jimmy membisikkan sesuatu kepada Ken, pastinya sesuatu yang membuatnya senang karena tiba-tiba saja ia mencium unclenya lalu berterima kasih.

"Thank you uncle!!!"

"Apa yang kalian rencanakan? Ingat Ken daddy tidak mau kau membohongi daddy. Kalau sampai hari ini kamu makan es krim daddy akan marah padamu!"

Ken mengangguk pasti, senyumnya tampak lebar memperlihatkan deretan giginya yang kecil. Melihat anaknya yang menurut membuat Ed senang, lalu ia memberikan sepiring nasi goreng yang dimasaknya terpisah dengan miliknya juga Jimmy karena Ken tidak bisa makan makanan pedas. Ken makan dengan tenang di pangkuan Jimmy.

"Kau bisa duduk di kursi mu Ken"

"Tidak apa-apa bang, jarang-jarang juga aku kesini. Oiyah abang sudah baca surat undangan dari nenek?"

"Oh benar juga, aku ingin membicarakannya padamu. Kau juga dapatkan? Aku sudah membacanya, kita harus tinggal disana selama dua tahun. Aku heran apa yang ada dipikiran kakek? Sampai membuat surat wasiat seperti itu."

Tiba-tiba Ken yang sedang asik makan tersedak karena makan terlalu terburu-buru, alhasil mereka berdua disibukan memberi air minum kepada Ken dan mengusap punggung kecilnya.

"Hati-hati Ken" ucap Ed dan mendapatkan anggukan patuh puteranya.

"Entahlah, aku cuma tahu satu hal, jika menolak, nenek akan mencabut semua fasilitas yang telah diberikan, aku sih tidak masalah tapi pasti sekarang Daniel sedang merengek." Katanya mengingat Daniel yang menjadi musuh bebuyutan nenenknya itu. Sebab selalu saja, jika bertemu pasti mereka bertengkar. Ed yang mendengar ejekan dari Jimmy terkekeh dibuatnya. Ia jadi ikut membayangkan kelakuan adik sepupunya yang aneh itu.

"Tapi Bang Ed , apa mungkin semua harus tinggal? Memang sih rumah nenek luas tapi tetap saja rasanya akan ramai sekali. Oh tunggu Bang Al kan tinggal di norwegia, dia harus kembali dong?"

"Hmmm, Al sudah memberi tahuku dia akan pulang minggu ini. Beruntung katanya sih sedang ada project juga disini."

"Kalau Bang Al tinggal dirumah nenek berarti..... Kak Ji.... eh" Jimmy menghentikan ucapannya, ia baru menyadari kebodohannya yang hampir kelepasan bicara.

"Tentu saja Jihan akan tinggal disana juga"

"Y-ya tentu saja, Kak Jihankan memang istri Bang Al, dia pasti mengikuti kemanapun suaminya pergi."

"Jangan mengharapkannya lagi Jim... Al tidak akan suka" Jimmy terlonjak kaget mendengar peringatan yang diberikan kakaknya, seluruh pikirannya tersendat untuk menyadari situasi saat ini. Sejak kapan Ed mengetahui perasaannya. Selama ini ia berhasil menyimpannya sendiri, dan ia pastikan tidak akan ada yang tahu, karena ia menjaganya dengan baik, menurutnya. Ed menghela nafasnya, memandangi Jimmy yang terdiam.

"Aku sudah tahu lama Jim, terlalu transparant untukku, tapi tenang saja sepertinya Aldrian tidak tahu, pria dingin itu tidak terlalu peka untuk mengetahui keadaan sekitarnya." Ucapnya lagi membuat Jimmy semakin menundukkan kepalanya, ia malu kepada Ed, sebab tidak tahu diri menyukai istri kakak sepupunya sendiri. Kendati ia tidak merasa bersalah karena baginya ia tidak melakukan kesalahan apapun, ia hanya jatuh cinta pada Jihan. Sejak pertama kali Aldrian memperkenalkannya, Jimmy telah jatuh pada pesona Jihan. Dan memang benar hingga kini ia tidak bisa melupakannya, baginya tidak ada yang bisa menandingi Jihan, sekuat apapun ia mencari, sosok Jihan yang selalu ada dalam benaknya, wanita itu telah mengunci hatinya dan sialnya membuang jauh-jauh2 kunci pembuka hatinya.

"Bang...." Jimmy tidak tahu harus berkata apa, lidahnya kelu tak mampu berucap. Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari kamar milik Gavin anak kedua Ed. Lalu pria itu segera mengangkat dirinya dari kursi, meminta Jimmy menunggunya karena ia ingin menghampiri anaknya.

"Bang Ed..." Ed memutar tubuhnya

"Ya?"

"Ja-jangan beri tahu siapapun tentang hal ini. Aku... aku.. sedang berusaha melupakannya" kata Jimmy akhirnya, Ed tersenyum mengusak rambut adiknya.

"Tentu..." lalu benar-benar meninggalkan Jimmy dan Ken di ruang makan menuju kamar Gavin.