Kini tubuh Soraya sudah bersimbah penuh keringat. Tidak hanya keringat dari dirinya saja, tetapi juga keringat yang Reyhan hasilkan, setelah selesai melakukan keinginannya pada wanita itu.
Reyhan segera pergi menuju kamar mandi, membersihkan dirinya sambil bersenandung ria. Dia senang akhirnya bisa menikmati tubuh mantan kekasihnya itu. Seutuhnya. Dia melakukan saran dari temannya dan hal itu sungguh membuatnya senang. Tidak ada lagi rasa kesal dalam dirinya, yang ada hanya kesenangan semata.
Berbeda dengan apa yang Soraya rasakan. Wanita itu tergolek lemah di atas ranjang. Sekujur tubuhnya hanya ditutupi oleh sehelai selimut putih yang lumayan tebal. Tubuhnya bergetar kelelahan. Dia masih terbaring menangis sambil memeluk kedua lututnya.
"Ini bukan kenikmatan, melainkan kesengsaraan," batinnya.
Tidak ada lagi air mata yang mengalir, yang ada hanya sisa-sisa air mata sebelumnya. Dia tersedu tanpa air mata. Sungguh sial nasibnya kali ini.
Ingatkah kalian jika Soraya memiliki penyakit?
Ya, penyakit hyper yang dia derita semestinya tidak berujung seperti ini. Dia memang menyukai kegiatan di atas ranjang, tetapi bukan seperti ini. Bukan dengan cara dipaksa seperti ini. Dan bukan dengan lelaki seperti Reyhan.
Mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali dia merutuki dirinya sendiri. Bahkan dalam benaknya, berkali-kali dia bertanya, 'Apa salahnya?'
Namun, dia tidak dapat menemukan jawabannya.
Semua ini sepenuhnya kesalahan Reyhan, lelaki biadap yang entah mengapa berlaku brutal padanya. Dan mungkin, sudah berkali-kali pula Soraya mengembuskan nafasnya, mencoba membuat dirinya tenang.
Dalam hati Soraya bertekad, dia akan membalas perlakuan Reyhan padanya. Dia akan membuat Reyhan menderita selama hidupnya, selama nafasnya masih berembus.
"Nih," Reyhan melemparkan sebuah amplop berwarna cokelat, tepat ke atas selimut yang menutupi tubuh Soraya. "Upah kamu! Sekarang terserah kamu, mau putus atau enggak, aku nggak peduli. Urus hidup kamu sendiri!" hardiknya.
Reyhan sudah rapi begitu keluar dari kamar mandi, kemudian ia langsung pergi meninggalkan Soraya di kamar itu, sendirian.
"Dasar bajingan!!" teriak Soraya dengan sisa tenaga yang dia miliki, menghantarkan kepergian Reyhan yang melangkah sambil tertawa.
Sebelum menutup pintu kamar, Reyhan sempat berkata, "Bukan aku yang bajingan, tapi laki-laki yang sudah ngambil keperawanan kamu! Atau mungkin om-om yang kemarin itu." Dia tertawa.
Kali ini Soraya menangis dan perlahan air matanya kembali mengalir. Dia tidak bisa bergerak karena sekujur tubuhnya terasa begitu sakit, terasa hingga ke dalam hatinya.
***
Setelah beberapa kali Ceril menelepon Liam, akhirnya kegigihan itu terbalaskan. Liam luluh dan segera menerima panggilan tersebut. Berat rasanya hati Liam begitu mendengar suara Ceril dari ujung telepon sana.
Belum lagi Liam menyapa, Ceril sudah lebih dulu berkata, "Kamu di mana sih? Kok susah banget dihubungin? Aku tuh khawa ...."
"Kamu nggak perlu khawatir, aku baik-baik aja. Kenapa kamu telepon?" sela Liam santai.
Di seberang telepon sana terdengar suara Ceril yang menghela nafasnya berat. "Memang aku nelepon nggak boleh?"
"Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya. Karena aku ada urusan yang lebih penting," jelas Liam berusaha sesopan mungkin.
"Ketus banget sih, memang kamu lagi sama siapa?" selidik Ceril.
Liam mulai jengah dan akhirnya menutup telepon itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kemudian ia juga mematikan fitur jaringan selulernya, menggantinya dengan mode terbang. Ide yang cemerlang, bukan?
Sofia yang sejak tadi memerhatikan temannya itu, merasa menemukan celah untuk masuk. Dia menyadari jika ternyata Liam memang sudah tidak memiliki rasa apa-apa lagi dengan Ceril, lagi pula hubungan Liam dengan Soraya juga bagaikan mengambang, tidak ada kejelasan.
'Jangan gila kamu, Sofia!' batinnya.
Sofia mengembuskan napas pelan, lalu membuang pandangannya ke arah pesisir pantai, ia mencoba mengatur nafasnya. Lagi-lagi pikiran bodoh itu datang menghantuinya.
Liam masih berkutat dengan ponselnya setelah berhasil mengubah mode terbang di sana. Moodnya seketika hancur. Dia memang seperti itu, mood swing!
"Kita pulang aja, yuk! Kepalaku sedikit pusing." Liam beralasan. Dia segera berdiri lalu mengajak Sofia pergi meninggalkan deburan ombak yang masih terlihat begitu indah.
***
Reyhan pulang ke rumahnya dengan perasaan yang teramat bahagia. Sepanjang perjalanan ia hanya bersenandung ria, bersiul mengikuti lagu yang mengalun indah dari audio mobilnya.
'Beginikah rasanya menikmati tubuh wanita?' pikirnya.
Fast play tetapi memuaskan dan cukup membuatnya senang. Berbeda rasanya dengan kesenangan lain yang pernah ia rasakan. "Benar apa kata Haris, otak terasa lebih enteng," ucapnya lalu tertawa.
Sesampainya di rumah, ia segera menghempaskan tubuhnya ke tengah kasur, dan pikirannya pun melayang. Membayangkan kejadian yang baru saja ia alami, sampai akhirnya ia tertidur lelap.
Baru saja beberapa jam Reyhan terlelap, tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan berat hati ia segera bangun dari tempat tidurnya, lalu mengambil ponsel yang sebelumnya ia letakkan di atas meja televisi kamarnya. Kedua matanya pun masih sedikit terbuka, langkahnya sempoyongan.
Tanpa memerhatikan nama yang tertera di layar kaca, Reyhan langsung menerima panggilan telepon itu. "Hallo?"
"Kamu di mana?" tanya seseorang dari ujung telepon sana.
"Di rumah," jawab Reyhan dengan suara yang khas baru bangun tidur.
"Tidur mulu sih! Nggak ada kerjaan apa?" protes suara wanita dari telepon itu. Ya, seorang wanitalah yang menghubungi Reyhan. Teman lamanya.
"Ngerjain anak orang!" Reyhan menjawab sembari melangkah kembali menuju tempat tidur.
"Dih! Kek udah ahli aja ngerjain anak orang."
"Kenapa? Tumben nelepon." Reyhan tercengang, ia mengenali suara wanita itu. Sambil menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan mata yang memejam, Reyhan menghela nafasnya.
"Aku ada di Jakarta nih! Nggak mau ketemuan apa?" pinta wanita itu.
Seketika kedua mata Reyhan terbelalak. "Seriusan?"
"Ya iyalah. Masa bohong."
"Sekarang kamu di mana?" Reyhan antusias.
"Baru aja masuk kamar. Malam ini kamu ada acara nggak?"
"Malam?" Reyhan berpikir sambil menatap langit-langit kamarnya. "Nggak ada deh!"
"Ya udah, ketemuan di lounge kayak dulu aja, gimana?" tawar sang wanita.
"Boleh-boleh." Reyhan bangkit dari leyeh-leyehnya, duduk.
"Ada hal penting yang mau aku tanyakan."
"Apa?" Reyhan menjadi penasaran. Sebab tidak biasanya wanita itu mengajak bertemu untuk membahas hal penting.
Seperti satu tahun yang lalu, wanita itu mengajak Reyhan bertemu hanya untuk bersenang-senang. Menghabiskan malam dengan bercanda di bar atau sekedar menari-nari mengikuti irama musik di sebuah club malam.
Itu pun tidak mereka lakukan hanya berdua, tetapi beramai-ramai dengan teman-teman yang lainnya. Teman satu sekolah dasar dahulu. Bahkan ada pula beberapa teman baru yang masing-masing mereka bawa dan sengaja mereka kenalkan satu sama lain. Wajar.
Ya, Reyhan dan wanita itu adalah teman saat mereka mengenyam pendidikan sekolah dasar. Teman masa kecil yang masih terlalu polos. Tetapi hubungan mereka cukup dekat dan akrab, ditambah lagi dengan adanya Grup Whatsapp yang membuat hubungan pertemanan mereka tetap terjalin hingga saat ini.
"Kalau bisa aku bicarain di telepon, ngapain aku ngajak ketemuan? Dasar aneh!" sewot wanita itu lagi.
"Ya, kasih clue dikit dong, tentang apaan gitu? Biar makin semangat," canda Reyhan lalu tertawa.
"Semangat semangat, kamu kira lagi ujian mesti semangat!" Wanita itu semakin sewot, membuat Reyhan semakin tertawa terbahak-bahak.
"Ya udah kalau gitu, aku mau lanjut tidur. Nanti malam kita ketemu."
"Eh, jangan tidur lagi! Udah sore ini! Entar kebablasan!" pekik wanita itu dari seberang sana.
Mendengar semua itu, sontak membuat Reyhan kembali terbelalak. "Hah? Emang ini udah jam berapa?" tanya Reyhan pada wanita di teleponnya.
"Udah jam lima ini! Kalau kamu tidur lagi, yang ada kita bukan ketemu di lounge, tapi di club!"
Reyhan hanya terdiam, kemudian menganggukkan kepalanya. Tidak berapa lama setelahnya, mereka mengakhiri obrolan teleponnya. Saling bersiap-siap untuk bertemu di tempat yang telah mereka sepakati. Hanya berdua saja, tidak ada yang lainnya.