Aku tahu dia datang. Terdengar suara langkah kaki Salih-ku yang cepat menuju rumah kosong yang biasa kukunjungi di saat sedih. Entah dari mana dia tahu aku di sini, tapi yang jelas itu semua demi aku.
Aku menangis sesenggukan di dalam, dan berdekam untuk menutupi semua itu. Rasanya dalam hati ini seperti tali yang mengikat kuat dan membuatku tercekik. Sungguh, lebih baik mati saja daripada hidup yang penuh sesak dan tidak adil.
"Deniz, Deniz, apa yang terjadi?" Aku menyadari dia yang tiba-tiba memegang pipiku. Di situ aku langsung mendongak.
"Cinta ...." Aku menatap mata orang yang kucintai dengan mata berkaca-kaca. Senang karena dia datang demi aku. Tersenyum, menangis tersedu-sedu sembari memeluknya dengan eratnya seakan tak ingin lepas. "Kau tadi bersama Kristen, kan? Kau bersamanya, kan?"
Salih diam. Aku tahu dia pasti tersinggung dengan apa yang kutanyakan padanya. Aku selalu mencintainya, hidupku untuknya. Aku selalu memberi kode semenjak remaja, cemburu saat Salih-ku bersama Kristen, menangis kalau dia dekati Kristen, kadang suka mengeluh mengapa bukan aku, tapi selalu memakluminya karena dia mencintai Kristen. Jika aku mengungkapkan ini sekarang, apa dia masih bersamaku lagi atau tidak?
"Benar, tadi aku bersamanya," jawab Salih. Pelukanku itu semakin erat saja, tangisan semakin menjadi, dan itu membuat Salih terdiam. Pria itu akhirnya membalas pelukan ini dengan perlahan. Aku tahu dia terpaksa.
Kita berpelukan. Kulakukan ini agar bisa meluapkan kecemburuan dengan cara memeluknya. Tentu marah pastinya, bahkan sampai berkali-kali memukuli dadanya, sedangkan dia hanya bisa menenangkanku.
"Dia ditampar Uğur, Deniz. Kebetulan aku ada di sana, jadi aku menolongnya dari pria sampah itu." Dia menambahkan.
"Kau memang pahlawannya, tapi aku merasa kau tidak pahlawanku, Cinta," ujarku dalam isak tangis. Ini adalah kode kecemburuanku pada Salih. Semoga dia peka dengan apa yang kurasakan untuknya.
"Aku bukan pahlawan siapa-siapa, Deniz, aku hanyalah orang biasa yang ingin bersikap baik pada semua orang. Kau kenapa, Deniz?"
Kulepaskan pelukannya, kembali memandang lurus pria itu, menggeleng antusias. "Tidak ada, Cinta-ku."
"Benarkah?" Dia menaiki sebelah alisnya.
Deniz mengangguk antusias. "Oh ... ya, bolehkah kuminta sesuatu padamu, Cinta?"
"Apa pun." Dia tersenyum. Sebuah senyuman yang membuatku damai. Hanya senyumannyalah yang mampu meredakan amarahku. Salih, tolong jangan buat aku semakin mencintaimu!
"Aku ingin kita ambil libur kuliah untuk beberapa hari saja, kemudian kita bersenang-senang, bermalam bersama. Hanya berdua. Bisa?" pintaku, berharap sekali lagi dia mau menuruti keinginanku yang mungkin untuk terakhir kalinya sebelum
dia semakin mencintai Kristen.
"Hah?" Lagi-lagi Salih dibuat bingung sama Deniz sendiri. Bergumam dalam pekikannya sembari menaiki sebelah alisnya.
"Demi aku, Salih." Kupegang lengangnya, memohon dengan melas dan mata yang bergenangan.
Dia awalnya diam sambil berpikir, tapi akhirnya tersenyum padaku sembari mengangguk. Aku senang ternyata Salih masih orang yang mengerti perasaan ini. Namun, bagiku, dia hanya menghiburku, bukan bersamaku. Dia merogohi ponsel di sakunya, kemudian menghubungi Süreyya—Ibu Salih.
Telepon tersambung. Aku dan Salih memandang, tersenyum.
"Salih, kau di mana? Hah! Dari tadi kau belum pulang juga!" gerutu wanita itu di telepon.
Salih dan aku pun bercekikik.
"Ibu ..., aku ... aku ... meminta izin padamu kalau aku—" Belum sempat Salih-ku melanjutkan kata-katanya, tapi Süreyya sudah keburu berteriak.
"Apa?!"
"Ingin berlibur dengan Deniz. Tiga hari saja, Bu," pinta Salih.
"Hah?! Apa?!"
"Ayolah, Bu, tiga hari saja. Boleh, ya?"
"Dengan Deniz, ya? Kau ini berlibur atau ada alasan lain? Jangan-jangan kau mau berbulan madu dengannya? Hah!" protesnya di telepon.
Ah, apa?! Kami berdua terkejut akan dugaan sang Süreyya yang mengada-ada. Kita bahkan menikah saja belum, apalagi berpacaran! Ah, dia memang ada-ada saja!