Salih, bisakah kau membahagiakanku untuk tiga hari ini saja?
"Ibu, aku serius," pinta Salih dengan suaranya yang manja. "Ini untuk ..., ah, ya! Ini untuk menghilangkan stres karena lelah mengerjakan tugas skripsiku, Bu."
"Dan aku di sini, Bi." Aku menambahkan, tersenyum ke arah telepon.
"Baik. Tapi jaga jarak, ya! Pulang cepat! Jika tidak, aku akan menghapus file riwayat skripsimu di laptop," ancam wanita itu dengan candanya di telepon. Ya, Süreyya memang senang menggodai putranya.
Kami berdua tentu terkejut. Menoleh, saling memandang dengan mata terbelalak. Kami harus waspada terhadap ancaman seram dari Süreyya. Menurut Salih, ini adalah ancaman yang mengerikan dari apa pun ancaman seram lainnya. Dia seorang mahasiswa. Jadi, tidak bisa bermacam-macam lagi dengan ibunya kalau ini seputar skripsi. Tak ada skripsi, maka tak lulus.
"Ah, ya, Bu, baiklah." Salih membulatkan mata, tersenyum miring, merasa tercengang.
"Jam berapa kau berangkat? Ke mana kalian akan pergi?" tanya Süreyya di telepon.
"Mungkin hari ini, sekarang juga kalau bisa, Bu. Aku akan pulang untuk berkemas-kemas. Sejujurnya ingin ke Berlin, tapi kurasa itu jauh."
"Jadi?"
Salih menjauhkan ponsel dari telinganya, kemudian menoleh, mendekati bibirnya ke telingaku. Duh, semakin membuatku berdegup saja!
"Jadi?" bisik Salih.
"Apa?" balasku berbisik bertanya balik, mengangkat kedua pundak.
"Ah, ya ampun! Kita mau ke mana?"
Aku terdiam sejenak sembari memikirkan ke mana kita akan berjalan-jalan, menikmati indahnya pemandangan bersama orang yang kucintai untuk terakhir kalinya, setelah itu menjauhinya selama-lamanya, tak ingin hati yang hancur ini berubah menjadi abu kala api cinta terus membakar. Seumur hidup, ingin mewujudkan beberapa impian bersamanya; menikmati lautan Bhosporus di atas kapal berlayar di perairan, pergi ke taman malam, dan berbelanja. Selain impian itu, ada impian terbesar yang ingin kuwujudkan selama hidupku; bisa mencium bibirnya di malam hari yang dihiasi lampu malam Jembatan Bhosporus. Ah, kurasa itu tidak mungkin bisa didapatkan, hanya bisa berhalusinasi. Maklum, aku seperti ini karena mencintai, memendam rasa selama 20 tahun terakhir, tapi memang semuanya tidak terbalas saat ada Kristen yang menghalangi cinta kami dan mampu membuatnya jatuh cinta padanya. Mungkin ini bukan takdirku, rasanya. Namun, tidak masalah jika menikmati hari-hari indah bersamanya untuk terakhir kalinya di kala dia mencintai orang lain.
"Ke ...." Aku bingung menjelaskannya.
Salih menggelengkan heran. Tampak dia mendekatkan kembali ponsel ke telinganya. "Kita ke mana saja, Ibu. Tujuanku untuk bersenang-senang tanpa arah."
"Baiklah, baik. Bersenang-senanglah. Ingat ancaman Ibu jika kau melanggar apa yang kuperintahkan. Paham?"
Kami mengangguk antusias. "Iya, Bu, paham."
"Bagus! Semoga hari kalian menyenangkan!"
_______________________________
Malam harinya, kami berpamitan untuk pergi jalan-jalan selama tiga hari pada Süreyya. Sebelum itu, kami bertiga sempat berfoto-foto ria, saling mengunggahnya ke Instagram stories.
"Hati-hati di jalan, ya!" katanya, kemudian menoleh pada putra kesayangannya itu, lalu mencubit gemes kedua pipinya. Aku hanya bisa menahan tawa akan aksi mereka. Mereka gemas dan kompak. "Untukmu, Salih, jangan apa-apai gadis itu. Jika kau melakukannya, ibu akan membakar laptopmu!"
Salih tampak semakin gemas jika dia berekspresi manyun melas. "Baiklah, Bu, tapi jangan mengecamku sampai segitunya."
"Ha-ha-ha, ini hanya kecaman supaya kauingat, kaupikir sebelum kauperbuat." Kemudian wanita itu menoleh ke arahku. "Deniz, jika dia bermacam-macam, kau bisa menghajarnya."
Aku menaikkan sebelah alis. "Serius?"
Süreyya tersenyum sumringah. "Karena aku percaya padamu."
Salih pun menghampiriku, berdiri di sebelah sambil merangkul lengan ini. Mataku mengerling padanya yang hanya memandang ibunya itu sambil tersenyum. "Baiklah, Bu, kita permisi sekarang."
Wanita itu mengangguk. Kami tersenyum sembari berbalik badan meninggalkan rumah ini menuju mobil terparkir di halaman rumah. Masuk ke dalam mobil, memakai sabuk pengaman. Usai itu, aku menoleh pada Salih yang mulai menyalakan mesin mobil.
"Salih," sahutku melirih.
"Hm?" balasnya berdehem, menoleh sejenak sambil mengendarai mobil.
"Terima kasih."
_______________________________
Di perjalanan, di dalam mobil, kita saling menoleh, saling menunjukkan senyum kita yang manis. Salih tampak bahagia saat aku kini ada di sisinya, sedangkan aku lebih dari sekadar kebahagiaan. Ah, apalagi saat bersama orang yang kucintai, rasanya seperti memenangkan berbagai undian, dan merasa dunia ini hanya milik kami berdua saja.
"Deniz, kita mau ke mana?" tanya, menunjukkan senyumnya yang indah itu.
"Kauingat saat kita masih kecil, kita pernah bermain bajak laut bersama Baysal—adikku. Kau ingat itu, Cinta?" Aku tersenyum sipu, memberi kode.
"Kau mau ke sana?" Dia bertanya balik.
Antusias aku mengangguk cepat. "Yah, kalau Cinta mau, sih."
"Oke." Ya! Dia memenuhi keinginanku di hari pertama. Dan ... BOOM! bahagianya minta ampun kala dia peka di hari pertama. Hati ini berbunga-bunga, merasa terbang ke langit malam bersama kunang-kunang. Karena itu, sampai-sampai aku tidak bisa mengendalikan kebahagiaan ini! Oh, Salih! Betapa bahagianya aku jika kau menjadi suamiku!
_______________________________
Hampir setengah jam dalam perjalanan, akhirnya sampai juga di sebuah jalan berhadapan dengan laut Bhosporus. Banyak kapal laut ada tepi laut, juga yang berlayar di tengah lautan. kami melangkah menuju kapal milik Salih, menghentikan langkahnya di depan kapal ketika sampai.
Dia menaiki kapal terlebih dahulu, kemudian mengulurkan tangan, membantuku naik di atas kapal dengan mengangkat tubuhku ini setelah kubalas uluran tangannya. Aku merasa nyaman, menyandarkan kepala tepat di dada bidangnya sambil tersenyum dengan mata yang terpejam. Kemudian, dia menyandarkan tubuh ini di lingkaran kayu di tengah kapal. Kami bertatapan. Tatapannya indah itu mengisi suasana romantis di malam ini.
"Kau senang, Deniz?" lirihnya lembut di bibirku.
Kupejamkan mata saat Salih berdemikian, tersenyum. "Bahkan tanpa bertanya pun senang dari awal, Salih, Cinta-ku."
"Aku mau bertanya padamu, boleh?"
"Apa pun, Cinta."
"Mengapa mengajakku kemari? Kita bisa ke tempat lain, kan? Menonton bioskop dan masih banyak lagi." Dia langsung menjaga jarak karena mungkin teringat kecaman ibunya, kemudian berbalik badan menghadap lautan untuk melihat indahnya pemandangan malam.
Kudekati dia perlahan, berdiri di sampingnya. "Aku merindukan seorang ayah."
Dia pun langsung menoleh, memandangku yang sedang memandangi lautan. "Ayahmu memang orang yang baik, dan kau memang pantas merindukannya."
"Saat aku sedih, beliau mengajakku kemari."
"Dan malam inilah kau mengajakku kemari. Iya, kan?"
"Benar. Maafkan aku. Ibuku sering sakit-sakitan sekarang, Cinta. Ayah tiada, aku takut bila ibuku tiada juga." Tanpa kusadari air mata ini bergenangan. "Adikku belum siap menerima kenyataan ini, bahkan dia pun hampir bunuh diri saat menerima kenyataan bahwa ayah meninggal."
"Aku ingat itu, Deniz."
"Saat ini aku membutuhkan seseorang yang membantuku untuk berdiri; menjadi pendukung, dan siap menjadi sandaran. Ah, apa pun itu."
Salih berbalik badan, begitu pun juga aku. Pria itu memegang, membelai lembut pipi ini. Aku mengerling ke tangannya yang ada di pipi, kemudian ke arahnya yang menatapku.
"Aku siap untuk menjadi pendukung dan menjadi sandaranmu. Jika mereka pergi, kau masih punya aku di sini. Kau milikku, aku milikmu. Persahabatan memang saling memiliki. Benar, bukan?"
"Kristen?" Aku mengerutkan dahi.
"Dilema," jawabnya datar, menghentikan belai pipi gadis itu, dan hanya memegangnya. Tatapan kami lurus saling mengunci satu sama lain. "Aku bingung harus tunjukkan apa padanya, Deniz." Tengah menatap, dia mendekatkan kepalanya ke kepalaku, saling menempelkan kening sambil memejamkan mata.
"Cintamu," jawabku berbisik di bibirnya.
"Dia sahabatku, tapi aku mencintainya."
Entah dari dorongan mana bibir ini mendekati bibirnya dan menciumi bibirnya. Hal itu membuatnya terkejut, memaku, diam, terbelalak saat kunikmati ciuman itu. Kedua tangannya tampak memegang pinggang, berusaha mendorong pelan tubuh ini karena mungkin tak bisa melakukannya. Mencubit pelan pinggangku itu supaya sadar.
Aku langsung tersadar, turut terbelalak, dan langsung melepaskan ciuman itu. Terengah-engah. Tak menyangka bisa melakukan ini tanpa sadar akibat terlalu mencintainya dalam diam selama 20 tahun lamanya.
Dialah ciuman pertamaku; Salih. Akulah yang berhasil mendapatkannya.
"Maafkan aku!" Aku menyeru, terengah-engah menahan tangis.
"Kenapa kaulakukan itu, Deniz? Maksudmu apa ini?" gertaknya sembari menyipitkan kedua mata.
"Maafkan aku!" Tak ingin menjadi keributan besar, aku berlari meninggalkannya ke dalam kapal.
"Deniz!" serunya tapi aku tidak mendengarkan.
_______________________________
Aku berlari ke dalam kamar berukuran kecil yang disediakan di dalam kapal. Menumpahkan tangisan lantaran menyesal atas apa yang kulakukan tadi tanpa sadar. Salih pasti akan menjauhiku setelah ini, pikirku saat itu.
"Cinta, maafkan aku akan hal ini.Aku tidak sengaja melakukannya. Jauhilah aku, memang ini yang kuinginkan. Kebahagiaanku bersamamu menjadi terakhir kalinya kebersamaan kita."