Deg..deg...deg...
Detak jantung Vian lebih cepat dari biasanya. Tampilan Putri dengan riasan dan gaun merah pilihannya benar-benar memukau. Dia sangat cantik, tepat seperti dugaannya, gadis desa itu berubah anggun dengan sedikit polesan. Kalau penampilan Putri selalu seperti ini, Ketiga pacarnya pun tidak ada apa-apanya.
"Ba-bagaimana? Apa tampilanku cukup baik untuk meyakinkan nenekmu?" Putri menatap Vian takut-takut. Ia merasa sedikit risih dengan pakaian yang lumayan terbuka seperti itu. Apalagi ukuran gaun pilihan Vian tampaknya kekecilan di badannya, sehingga tampak menonjol di beberapa bagian.
"Lumayan. Aku rasa nenekku akan yakin kalau kamu adalah tunanganku. Hei, kenapa kamu tidak memakai sepatu pilihanku?" Vian menatap ke arah kaki Putri yang masih memakai sandal butut miliknya.
"Terlalu tinggi. Aku tidak pernah memakai sepatu model seperti itu Vian, bisakah aku minta Kamu menggantinya dengan yang lain?" Putri memelas. Ia benar-benar tidak bisa. Bahkan, saat mencobanya saja, ia sudah gemeteran.
"Susah, kalau kenal perempuan udik. Pakai sepatu hak tinggi saja nggak bisa. Bikin malu! Sudahlah, nanti aku carikan yang baru! Bimo, bungkus sepatu itu dan kirim ke rumah Vannesa." Vian menyuruh supirnya untuk membungkus dan mengirim sepatu yang tidak jadi di pakai oleh Putri ke rumah Vannesa, salah satu pacarnya.
"Baik, Tuan." Bimo segera mengambil sepatu yang batal di kenakan Putri, lalu mengemasnya sedemikian rupa, sesuai dengam permintaan Bosnya, lalu dia pergi menggunakan mobil khusus pengawal untuk mengantar paket tersebut ke rumah Vanessa.
"Cepat naik!" Perintah Vian pada Putri yang masih diam terpaku. Ia tidak tahu harus apa. Sebenarnya ia sangat malu berpenampilan seperti itu, apalagi ada Vian yang melihatnya. Harga diri Putri terasa tercoreng karena penampilannya yang baru. Akankah dia selalu berpenampilan seperti itu saat sudah menjadi istri Vian? Batinnya. Ah, dia tidak perlu bangga. Hanya istri bohongan, apa yang bisa di banggakan? Begitulah kira-kira isi pikiran Putri.
Gadis itu menurut. Ia berjalan pelan dan masuk ke dalam mobil Vian. Dia memilih duduk di kursi belakang. Putri tidak punya muka untuk duduk berdampingan dengan Vian. Rasa malunya sangat besar
"Siapa yang mengizinkanmu duduk di belakang?! Kamu fikir aku supirmu? Begitu?!" Vian kesal.karena Putri bahkan tidak sudi duduk di sampingnya. Padahal dia sudah membayar mahal, agar gadis itu pantas berdampingan dengannya.
"Tapi.. aku.." ucap Putri ragu, ia bahkan tidak mampu memberitahukan pada Vian, kalau ia sangat malu untuk duduk berdampingan dengannya saat menggunakan gaun itu.
"Jangan protes. Cepat pindah, atau kamu ingin aku menyeretmu dengan paksa?!" Vian menghardik Putri. Membuat gadis itu sedikit takut. Ia justru berpikir, kelak setelah menikah, Vian akan memperlakukannya dengan kasar, atau justru bermain tangan. Membayangkan itu, bulu kuduk gadis itu meremang. Lagi-lagi ia menepis bayangan itu. Masa depan keluarga dan adik-adiknya membuatnya berani menghadapi apapun. Di aniaya oleh Vian, tidak akan jadi masalah besar, asalkan ia masih hidup dan bernyawa.
"Ba-baik," Perlahan, putri turun dari jok belakang lalu pindah ke samping Vian. Gadis itu tidak sadar, bahwa Vian menyunggingkan senyum sinis. Ia merasa senang karena Putri takluk di dalam genggamannya.
Perlahan, mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat make-up profesional itu dan mengarah pasti ke rumah nenek Vian. Sebagai cucu satu-satunya, Vian sangat paham, gadis seperti apa yang di sukai oleh neneknya. Wanita tua itu menyukai gadis lugu dan apa adanya. Berkali-kali Vian membawa pacarnya ke hadapan Sang Nenek, tapi belum ada satupun yang berkenan di hatinya, bahkan ia harus mengakhiri hubungannya dengan para gadis yang tidak di setujui neneknya pada hari yang sama. Itu yang menyebabkan Vian belum juga menikah, meskipun usianya sudah menginjak 29 tahun.
"Kau sudah pernah berciuman?" Pertanyaan Vian yang sangat sensitif bagi Putri ini, sukses membuat gadis itu membulatkan matanya dan menatap tajam ke arah Vian. Ia berpikir, Vian adalah lelaki mesum. Buktinya, dia mengatakan sendiri, kalau pacarnya banyak, bahkan lebih dari satu.
"Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak akan menjawab." Sungut Putri, ia kesal mendapat pertanyaan seperti itu dari Vian.
"Kamu tidak perlu takut. Aku hanya bertanya. Kau pikir, aku mau mencium bibirmu yang tidak menarik itu?! Pemikiranmu terlalu jauh!" Cibir Vian, pria itu membuang pandangannya jauh kedepan sambil tertawa mengejek.Bagi Vian, ciuman bukanlah hal tabu untuk di perbincangkan. Telah banyak bibir yang ia nikmati, tentu saja baginya ciuman adalah hal biasa.
"Aku belum pernah ciuman. Sudah ku jawab. Apa kau puas?" Sentak Putri. Ia berharap, Vian tidak menanyakan hal yang aneh lagi padanya.Pertanyaan mesum seperti itu membuat Putri semakin beranggapan buruk pada Vian. Gadis itu yakin, Vian mungkin sudah bukan pria suci lagi. Dia bisa saja telah menghabiskan banyak malam panjang bersama gadis-gadisnya.
"Ternyata masih polos. Pantas saja, siapa lelaki yang mau mendekati perempuan udik sepertimu. Sayang sekali, wajahmu yang cantik itu sepertinya tidak memberimu keberuntungan," ucap Vian tanpa sadar memuji kecantikan Putri. Sedikitpun Putri tidak merasa senang dengan pujian dari lelaki yang ada di sampingnya itu. Justru ia merasa jengah.
"Kau bilang aku cantik? Ku kira kamu baru saja mabuk, Vian. Perempuan udik sepertiku, siapa yang akan memandangku cantik. Kalau kamu, aku percaya. Sapi berbedak pun akan kau bilang cantik. Dasar mata keranjang!" umpat Putri kesal. Kalau saja ia tidak sedang berhutang dan butuh uang, ia tidak sudi harus berdekatan dengan lelaki seperti Vian.
Mendengar umpatan Putri, Vian justru tertawa kecil. Baru dia, wanita yang berani menyebut dirinya mata keranjang. Kebanyakan para gadis memujanya, mengharapkan cintanya dan memimpikannya.
"Kamu cukup berani, Gadis Udik. Sepertinya sangat rugi memiliki pasangan sepertimu. Sudah udik, matanya juga rabun.Tidak dapat membedakan yang mana pria mempesona dan yang mana pria playboy. Lain kali, aku akan membelikanmu kacamata, agar kamu bisa melihatku dengan baik." ungkapnya sinis. Putri memilih diam. Sepertinya pria di sampingnya itu sedikit tidak waras, begitah kira-kira penilaian Putri terhadap Vian. Dia bertanya-tanya, mengapa ia harus di takdirkan bertemu dan berurusan dengan pria seaneh Vian.
Kalau saja Putri boleh memilih, ia ingin Raihan yang ada di sampingnya. Tapi memang, sebagai pria dari pondok, tidak pernah sekalipun Raihan mengajaknya bertemu berdua, makan atau kemanapun, mereka selalu ramai-ramai. Raihan sering berkata pada Putri.
"Kita tidak bisa berduaan, Put. Karena saat kita berduaan, yang ketiganya adalah setan. Aku takut khilaf," Begitulah ucapan Raihan yang ia selalu ingat.