Hari ini merupakan hari yang di tunggu seluruh warga Desa Padang hitam. Seluruh remaja di desa maupun di sekitar desa akan berkumpul bersama dan mengikuti seleksi Akbar yang hanya di adakan setiap sepuluh tahun sekali.
Viance menatap keluar melalui jendela gubuknya. Banyak lalu lalang penduduk yang sibuk menyiapkan perayaan akan datangnya Seleksi Akbar.
Sialnya, saat ini usia Viance cukup untuk mengikuti Seleksi Akbar yang sangat...sangat...sangat tidak ingin dia ikuti.
Para Remaja yang berusia tepat Lima belas tahun pada tahun ini, sangat di wajibkan untuk mengikuti Seleksi Akbar. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Itulah peraturan yang tidak tertulis tetapi selalu ditaati oleh penduduk desa.
Andai saja Viance terlahir satu tahun lebih muda, atau satu tahun lebih tua. Mungkin dia tidak akan pernah mengikuti Seleksi yang Terkutuk ini.
Bagaimana hal ini tidak begitu terkutuk?
Setiap remaja yang mengikuti Seleksi tidak akan pernah kembali dan anehnya, para penduduk bahkan tidak bertanya kemana para remaja desa mereka 'menghilang'
Yang membuat para penduduk tetap bersemangat dalam mengikuti Seleksi Akbar ini adalah setiap keluarga yang 'kehilangan' anak remajanya akan mendapat jaminan hidup selama sepuluh tahun kedepan, lebih tepatnya sampai seleksi Akbar berikutnya kembali diadakan.
Bukankah itu sama saja menjual anak mereka demi hidup mewah selama sepuluh tahun kedepan?.
Viance menghela napas berat saat memikirkan hal itu. Dan sekarang, dia harus menjadi Salah satu remaja Malang yang harus mengikuti Seleksi Akbar ini.
'Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi padaku nanti'
Sibuk dengan pikiranya, Viance tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Sosok paruh baya yang memancarkan aura kehangatan dan menjadi salah satu alasan Viance tidak ingin mengikuti Seleksi Akbar.
"Apa yang kau pikirkan Viance?"
Suara itu jelas membuat Viance terkejut. Dia yang sangat yakin dengan kepekaan indranya. Selalu saja tidak bisa mengetahui keberadaan orang ini.
"Ibu! Ibu selalu saja mengagetkan ku!"
Viance cemberut, ibunya selalu saja berhasil menghindari deteksi kepekaan Viance dan hal ini yang membuat rasa percaya diri bahwa dia memiliki kemampuan super lenyap dengan seketika.
Mendengar jawaban dan ekspresi cemberut dari putrinya. Ibu Viance hanya tertawa sambil mengelus kepala putrinya dengan sayang.
"Apa yang kau pikirkan? Apa kau memikirkan tentang Seleksi Akbar?"
Mendengar pertanyaan ibunya, Viance mau tak mau memajukan bibirnya kembali. Ibunya selalu saja bisa menebak jalan pikirannya.
"Jangan beri ibu ekspresi mengerikan seperti itu, ibu hanya menebak, tidak tahu itu benar"
'lihat, bahkan ibu bisa menebak lagi' pikir Viance
"Ayolah Viance, menebak dua kali bukankah termasuk suatu kebetulan?"
Viance menatap datar kearah ibunya. Baiklah, Jika Viance bisa menerka, Mungkin ibunya memiliki kekuatan super yang di sebut 'Membaca pikiran', sama seperti miliknya yang dia beri nama sendiri 'Kepekaan berlebihan'.
Hmm.., Sepertinya chip pikiran Viance telah memanas akibat terlalu memikirkan soal Seleksi Akbar dan pemikiran yang kacau selalu terlintas di pikiran nya.
'Demi bubur tiga harinya pak jenskins! Kenapa Aku memikirkan soal hal yang tidak masuk akal ini!? kemampuan super? Ayolah! apa aku terlalu sering baca komik!?"
Mencoba mengatur keresahan dalam dirinya, Viance mencoba membulatkan tekadnya dan berkata, "Aku tidak ingin mengikuti Seleksi ini" ketegasan terlukis jelas pada setiap kalimatnya menatap ibunya dengan tekad yang bulat.
"Kau harus nak, ini tradisi desa kita", memaklumi putrinya, ibu Viance bahkan tidak merasa terkejut dengan keputusan putrinya itu.
"Tapi ibu...Aku tidak ingin meninggalkan ibu" Viance memeluk ibunya dengan erat mengakibatkan suaranya hampir tidak terdengar. "tidak untuk selamanya.."
"Kau tidak pernah meninggalkan ibu, ibu juga tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan ada yang meninggalkan siapapun"
Kata-kata ibu Viance begitu hangat, bahkan keraguan di hati Viance beberapa saat lalu terangkat. Mungkinkah ibunya memiliki kemampuan super yang bernama 'Hipnotis'?
'Astaga, Demi apapun! Biasakan aku tidak memikirkan mengenai kemampuan super sekali saja?!'
Mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, Viance melepaskan pelukan pada ibunya, dan kembali bertanya.
"Tapi bagaimana jika aku mengikuti Seleksi Akbar... aku..aku tidak akan pernah..." Semakin lama suara Viance tidak terdengar bahkan napasnya pun semakin berat, kata terakhir tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu dia ucapkan.
"Tidak akan pernah kembali?" Mendengar ibunya melengkapi kalimat yang hilang, Viance hanya mengganguk mendengar perkataan itu.
Bagaimana jika dia tidak kembali sama seperti para remaja sebelumnya. Dia tidak akan bisa bertemu dengan teman-teman lainnya, yang terburuk dia bahkan tidak bisa bertemu dengan ibunya lagi.
Memahami kecemasan anaknya, ibu Viance hanya tersenyum. Kemudian mengucapkan kalimat yang membuat diri Viance semakin dilema.
"Kau pasti kembali, Ibu percaya padamu Viance. Ibu akan selalu menunggumu"
**********************************
Keesokan harinya, dengan segala bujuk rayu ibunya, Viance akhirnya memutuskan untuk ikut Seleksi Akbar dan pada detik ini pula, Viance yakin bahwa ibunya memiliki kemampuan super yang bernama 'Rayuan'. Jika tidak, kenapa tekad Viance yang sudah bulat untuk tidak pergi langsung luluh dengan bujuk rayu ibunya?.
Baiklah, bisakah Viance untuk berhenti memikirkan tentang kemampuan super ini? Sudah berapa banyak kemampuan yang Viance temukan dalam diri ibunya?
Pukul lima pagi, terompet di alun-alun desa di tiup dengan kencang. Para Remaja yang siap mengikuti Seleksi berbondong-bondong menuju alun-alun yang nantinya akan pergi bersama menuju Padang hitam.
Viance masih berdiri di depan gubuknya tanpa ada niatan beranjak dari sana, kakinya terasa berat untuk meninggalkan rumah masa kecilnya.
Melihat Viance yang tak kunjung berangkat. Ibunya hanya tersenyum. merapikan kembali baju yang di gunakan Viance sambil berkata "kamu ingat yang di katakan ibu semalam kan"
Viance menggangguku sebagai jawaban. Dia jelas mengingat apa yang di katakan ibunya dan tidak akan pernah dia lupakan, Ibunya berharap dia kembali.
"Kalau begitu pergilah, ibu selalu menunggumu disini" Ibu Viance menepuk pundak Viance dengan lembut, seakan menyingkirkan debu yang tidak pernah ada disana.
Viance mengangguk dengan lemas, melangkahkan kakinya dengan dengan malas menuju alun-alun desa.
"Ah Viance!" Belum genap langkah kelima, ibu Viance kembali memanggilnya.
'Mungkinkah ibu berubah pikirannya?'
Sebuah ide muncul di kepalanya, Viance menoleh dengan cepat kearah ibunya rasa senang jelas tergambar di wajahnya. Seperti tau pikiran anaknya, ibu Viance hanya menggeleng dengan senyuman menandakan pikiran anaknya salah.
Melihat itu, Viance hanya mendesah dengan kecewa, kemudian menatap ibunya dengan penuh tanda tanya. Jika bukan ingin mencegahnya untuk pergi, kenapa ibu harus memanggilnya kembali?
Melihat ekspresi putrinya yang penuh tanda tanya, ibu Viance melangkah maju kearahnya, menundukan kepalanya dan berbisik lembut kepada Viance.
"Viance, Apapun yang terjadi. Apapun itu, jangan mengeluarkan suara maupun bergerak"