Tidak seperti namanya, Padang Hitam yang terlihat di depan mata Viance adalah hamparan rumput yang luas tanpa ada material lainya, Rumput yang hijau tampak subur bergerak mengikuti kemanapun angin menuipnya. Melangkahkan kakinya, Rumput setinggi mata kaki seketika menggelitik pergelangan kaki Viance. Pemandangan indah yang belum pernah Viance lihat seumur hidupnya, tidak dapat dipungkiri. Inilah pertama kalinya Viance melihat Padang Hitam secara langsung melalui matanya!.
Selama ini, Padang Hitam merupakan definisi buruk dalam pikiran Viance, dari cerita yang di bawakan ibu. Viance selalu berpikir bahwa Padang Hitam merupakan tempat tandus dengan tanah berwarna hitam, tempat yang suram, bahkan tidak akan pernah ada kehidupan disana.
Tapi, semua spekulasi Viance hancur seketika dihadapkan oleh pemandangan di depannya. Angin sejuk musim semi menggoyangkan para rumput, menambah kesegaran pada mata dan tubuh para remaja saat ini. Seakan perjalanan jauh dan melelahkan terbayar dengan sempurna oleh pemandangan di sekitar mereka.
Tanpa sadar, Viance melepas alas kakinya. Rumput yang lembut langsung menggelitik telapak kakinya. senyum mengembang di wajah Viance. Edna disebelah Viance bahkan takjub sesaat melihat teman baiknya menunjukan senyum yang sangat jarang. Tapi rasa takjub hilang seketika tergantikan rasa heran.
Mengapa Viance harus melepas sandalnya? Mereka memang anak desa, tapi kenapa tingkah Viance menunjukan hal yang berlebihan? Bukankah setiap hari mereka sering bermain di Padang rumput? Jika bukan sikap berlebihan, lalu dinamakan apa ini?.
Tidak peduli akan sikap heran Edna, Viance bahkan berlari-lari kecil di sekitar Padang, tidak peduli tatapan jijik dan menghina yang ditujukan kepadanya. Hanya Viance yang tau apa yang dirasakannya saat ini.
Bagaimana dia tidak senang hingga berlebihan? Padang Hitam yang dia bayangkan sejak kecil, tempat yang paling tidak ingin dia kunjungi. Merupakan tempat paling indah yang pernah dia datangi. Bahkan jika dikatakan berlebihan, Viance akan mengatakan tempat ini adalah surga!.
Jika Viance tidak bisa menahan harga dirinya, mungkin dia akan berguling-guling di atas rumput, sambil tertawa seperti, ehm.. Baiklah, mari kita lupakan pikiran yang mengerikan ini.
Untungnya, hal yang kita bayangkan tidak akan pernah terjadi. Berhasil mempertahankan kewarasanya. Viance mencoba kembali membangun imagenya dengan memasang wajah datarnya saat sadar semua mata memandang nya.
Ehemm... Viance bukanya kau bilang bahwa kau memiiki kemampuan super 'kepekaan Berlebihan'? Lalu kemana perginya kemampuanmu!? Mereka sudah memperhatikanmu bahkan sebelum kau berhasil mempertahankan kewarasanmu!.
Baiklah, mari kita lupakan ini. saat ini, Viance yang kembali cekikikan seperti orang gila. Sepertinya kewarasan Viance sudah lenyap seluruhnya. Bahkan Edna menjaga jarak setengah meter dari Viance.
Mengabaikan Viance, kepala desa melangkah kakinya cepat kearah sebuah batu yang tepat berada di tengah-tengah hamparan rumput ini. Mungkin karena terlalu senang, Viance sampai melewatkan batu besar yang hampir tiga orang bisa berdiri diatasnya tepat di depan matanya saat ini.
Kepala desa menyapukan pandangannya ke seluruh area Padang, Pandangannya jatuh kearah Viance sesaat, menatapnya bingung sekaligus ngeri pada Viance yang tertawa sendirian di tengah kerumunan.
'Mungkin anak ini mengalami depresi akibat Seleksi Akbar?'
Hanya satu pikiran yang terlintas di benak kepala desa saat memperhatikan Viance, menghela napas perlahan sambil menggelengkan kepalanya. Kepala desa kembali fokus pada kerumunan remaja didepannya.
"Kalian akan memulai Seleksi Akbar disini, Jadi saya harap—"
"Kapan Seleksi Akbar-nya dimulai, pak?"
Sebelum menyelesaikan ucapanya, sebuah suara dengan santai memotong kalimat kepala desa. Semua perhatian tertuju pada pemilik suara. Viance menghentikan tawa kegembiraanya dan memperhatikan pemilik suara yang tidak sopan itu. Dari pakaiannya Viance tau, dia merupakan salah satu anak bangsawan yang berasal dari kota Hamparan Hitam. Viance dapat melihat dengan jelas ekspresi yang acuh terhadap tatapan sekitar di tujukan pada itu seakan hal yang dia lakukan tidak ada salahnya.
Viance hanya menggelengkan kepala, Apa ini sikap yang ditunjukkan anak kota? Walaupun dia anak kota, tapi dia mengikuti Seleksi Akbar di desa Padang Hitam. Jadi apa-apaan sikapnya itu!?.
Ekspresi kepala desa tidak jauh berbeda dengan Viance. Tidak ingin memperpanjang masalah kesopanan seseorang, kepala desa segera melanjutkan kalimatnya.
"Seleksi akan diadakan setelah kedatangan penguji. Saya sendiri tidak tahu kapan penguji itu datang. Jadi sebelum itu saya harap kalian akan menjaga sikap kalian nantinya!"
Kepala desa mempertegas kalimat terakhir nya. Matanya tidak lupa menuju kearah pemuda kota yang dengan berani memotong ucapanya.
'huh!, kita lihat nanti bagaimana nasib pemuda sombong ini'
Viance dengan jelas menangkap ekspresi yang tergambar di wajah kepala desa. Tapi, apa hubungannya dengan Viance?. Hal sepele ini bukanlah urusan yang cocok untuk menarik perhatiannya.
"Jika kalian sudah mengerti, Saya akan meninggalkan kalian disini!" Kepala desa dengan cepat menjelaskan setiap kalimatnya.
Viance menatap bingung kearah kepala desa, ekspresi penuh tanda tanya terlihat jelas di wajah nya. apakah kepala desa takut kalimatnya terpotong lagi hingga berbicara secepat itu?.
"Semoga keberuntungan selalu di pihak kalian!" Selesai mengucapakan itu, kepala desa dengan cepat turun dari podium batu. bahkan Viance bisa melihat kepala desa hampir saja terjatuh dari batu. Setelah menyeimbangkan tubuhnya sesaat, dengan langkah tergesa-gesa kepala desa pergi meninggalkan Padang Hitam.
'Apa ini? Apa kepala desa melupakan sesuatu dirumah nya?'
Viance melihat kepala desa yang pergi menjauh. tapi, tidak ada alasan yang tepat terlintas dibenaknya atas kepergian tergesa-gesa pria paruh baya itu.
"Ada apa dengan kepala desa? Penjelasan macam apa itu?" Sebuah suara menarik perhatian Viance, tidak hanya dirinya, bahkan Remaja di sekitar Viance pun turut andil dan sebuah diskusi kelompok pun pecah di sekitar Viance
"Kepala desa menyuruh kita menunggu tanpa kepastian!" Salah satu pemuda di dekat Viance berseru.
"Benar! Apa ini tugas seorang kepala desa?! Sungguh tidak kompeten!"
"Benar, Benar"
Diskusi kelompok yang tadinya hanya di sekitar Viance, melebar hingga mencakup seluruh Padang Hitam. Viance tidak tertarik untuk menjadi salah satu anggota diskusi itu dan lebih Memilih menjadi pendengar yang baik.
"Hei Viance, bagaimana menurutmu?" Edna yang tadinya menjaga jarak setengah meter dari Viance, tiba-tiba berada tepat di sisinya. Wajah Edna jelas menggambarkan keingintahuan yang mendalam.
"Apa?" Viance jelas ingin menjadi pendengar yang baik, jadi dia sangat terganggu dengan seseorang yang menanyakan pendapatnya.
"Tentang kepala desa tadi" Edna jelas tidak memperhatikan raut tidak suka dari Viance dan terus memprovokasi Teman baiknya agar menjawab pertanyaan darinya.
"Hmm, bagaimana ya?" Viance mengetuk dagunya berusaha berpikir dengan keras, "bisa di katakan bahwa... Aku tidak peduli" Setelah mengatakan itu, raut wajah Viance berubah menjadi datar.
Edna memiringkan kepalanya bingung, "Maksudmu?"
"Tidak peduli, aku benar-benar tidak peduli apapun yang dilakukan kepala desa."
"Eh?"
Viance nampak sebal dengan Tanggapan Edna, jelas sekali bahwa Edna tidak memahami perkataan Viance yang begitu mudah. Dengan napas yang memburu akibat rasa kesalnya, Viance tidak sadar bahwa dirinya berteriak pada Edna.
"Aku tidak peduli! Kau tahu!, Bahkan aku tidak peduli dengan Seleksi Bodoh ini! Yang kuinginkan hanya menyelesaikan Seleksi Terkutuk ini dan pulang!"
Seluruh Padang Hitam seketika Hening.