Suasana didalam mobil begitu canggung, Zila dan Fadil sama-sama tidak ada yang membuka obrolan terlebih dahulu, Zila sibuk dengan Handphone nya, membalas pesan dari teman-temannya.
Gadis itu nampak sibuk dengan dunianya sendiri, begitu banyak pesan masuk ke handphone nya membuat ia tidak mengalihkan pandangan. Fadil melirik sekilas, lalu berdehem. "Papa kamu, kayaknya restuin kita deh sayang. Ya, tapi aku gak yakin 100% juga sih, cuman dari gerak-gerik nya sih' iya."
Obrolan pembuka itu membuat sedikit atensi Zila teralihkan, ia berhenti mengetik pesan, lalu menoleh menatap Fadil, "semoga aja, cuman kan aku masih sekolah, Ayah kayaknya gak bakal kasih izin anaknya nikah muda, Om."
"Aku bakal yakinin Ayah kamu. Toh, kamu masih bisa kuliah, dan soal anak bisa nanti ssshh.." Fadil berdecak lalu menggaruk pelan kepalanya, "gak bisa lama-lama kalo soal anak sih, hehe" Ringisnya. Ia lelaki yang sudah matang sekali, dan tentu saja menginginkan kehadiran buah hati saat mereka menikah nanti, dan Fadil berharap hal itu tidak membuatnya menunggu.
"Aku baru mau 19 tahun, sebenarnya gak apa-apa sih kalo nanti nikah, langsung punya anak, tapi aku masih gak yakin Om sama diri aku sendiri."
"Kenapa? Kita belajar bareng soal parenting, kamu gak perlu khawatir, kita jalanin semuanya berdua."
"Iyalah anjir! Bikinnya aja berdua, masa ngurusnya gue doang Om! Jan ngadi-ngadi ye!" Seketika itu juga Fadil tertawa keras, ia mengusak rambut Zila gemas, dan gadis itu hanya cemberut saja.
"Aku suka kamu yang Bar-bar."
Saat mendengar itu Zila tidak bisa menahan senyumnya, menatap sang kekasih yang curi-curi pandang sambil menyetir, ia juga tersenyum. "Maaf kalo aku gak kayak cewek lain, aku kasar, bar-bar, dan kadang kayak cowok. Gak bisa lembut seperti perempuan diluar sana"
"Gak apa, aku mau menikahi dia yang merasa tidak sempurna, padahal ia sangat sempurna, dia yang enggak sadar dirinya sempurna jauh lebih baik. Kamu dengan kelebihan kamu sendiri, aku tau kamu gak sekasar yang orang liat." Kata-kata yang terucap dari mulut Fadil membuat gadis di sebelahnya, berkaca-kaca.
Rasanya ia sangat bersyukur bertemu laki-laki seperti ini. Dan Zila berjanji akan membuat laki-laki di sebelahnya selalu bahagia.
...
Fadil dan Zila sampai di Plaza Mall Jakarta, mereka berkeliling mall, mencari toko baju yang cocok untuk Fadil. Terkadang orang-orang di mall curi-curi panjang ke arah dua sejoli ini.
"Aku gak nyaman, tatapannya kayak seakan-akan aku lagi di gandeng sugar daddy." Ujar Zila yang berjalan menunduk di samping Fadil.
Lelaki itu mengedarkan pandangan nya, lalu menoleh kesamping, melihat sang kekasih yang terus berjalan sambil melihat ujung sepatunya.
"Gak perlu di perduliin, kayak mereka bener aja. Aku yakin mereka cuman iri, gak bisa jalan di gandeng Pangeran berkuda putih kayak aku." Zila yang mendengar itu langsung menoleh, dan mencubit sisi perut Fadil.
"Awwwh.. Sakit sayang" Lelaki itu mengaduh kesakitan, tapi bibirnya tertarik keatas melihat sang kekasih sudah tersenyum lagi.
"Jangan kepedean Om, lo bukan kuda putih tapi kuda poni noh yang ada."
"Gak apa deh kuda poni, kan lucu disukain anak-anak. Aku juga lucu, nanti sukain anak-anak kita.."
"Yailah, ini buaya rawa beraksi lagi. Ampun gua mah"
"Hahahaha"
Tanpa sepengetahuan mereka berdua, sepupu Fadil, Devan. Melewati mereka dengan tatapan sinis, ia berhenti dan menoleh ke belakang, menatap punggung dua sejoli itu penuh amarah.
"Ketemu lo!" Bisiknya penuh tekanan.
..
"Makan yang banyak, kalo kamu sakit aku gak ada yang semangatin pake bahasa bar-bar, hehe" Mereka berdua sedang mengisi perut yang terus berbunyi sedari tadi, di Restoran makanan Jepang, Yosinoha.
Zila nampak lahap, sedangkan Fadil hanya memperhatikan pujaan hatinya itu.
"Sayang, akutuh kadang kepikiran bagaimana cara membahagikan perempuan, terlebih orang yang paling di cintai, tapi sekarang aku sadar, membuat seorang perempuan bahagia itu sederhana, cukup turutin semua omongannya dan jadi pasangan selalu ada aja, pasti bahagia." Fadil sudah berbicara panjang, ngalor-ngidul Zila hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan makannya.
Gadis itu nampak menyeruput minumannya, sebelum bersandar pada kursi dan mengelus perutnya yang sudah penuh.
"Bentar Om." Zila memberi isyarat dengan mengacungkan telapak tangannya di depan wajah Fadil beberapa detik.
"Jangan gombal mulu, gak kenyang gue nikah ama orang dengan sejuta gombalan."
"Bukan gombal sayang, aku cuman baru sadar, membahagiakan kamu itu mudah dan wajib hukumnya"
"Deuh ilah, pacaran aja lu bilang gini ye. Udah nikah lewat 3 taon, gue minta angkat jemuran paling gak mau heleh!"
Fadil tertawa mendengar gerutuan Zila, "hahaha, mana mungkin. Aku mau kok bantu istri, masa gak mau. Namanya nikah, harus saling bantu kan"
Badan gadis itu langsung duduk dengan tegak, dan wajahnya sedikit maju menatap lekat sang pacar. "Sekarang gue tanya, kalo suatu saat nanti gue males masak, bebersih rumah, dan capek ngurus anak lo bakal marah atau kasih solusi buat masalah itu Om?" Yang ditatap mulai membuat gesture sedang berfikir.
"Mungkin aku bakal sedikit kesel, dan tanya kenapa? Tapi sebenernya solusi yang dibutuhin daripada marah-marah ya kan? Dari awal nikah aku harus sediain ART untuk urus rumah, Baby Sitter ketika kita punya anak, karena kan aku nikahin kamu untuk jadi pendamping aku, ibu dari anak-anak ku."
"Kalo tiba-tiba ekonomi kita jatuh? Bangkrut misal?"
"Kita itu nikah atas kemauan berdua, kita udah janji apapun harus diselesaikan berdua. Kalo belum bisa sewa jasa ART ya gak apa, kamu nyuci aku jemur baju, kamu ngepel aku nyapu atau sebaliknya. Tapi aku gak suka saat ekonomi kita di bawah kamu ikut nyari uang, gak apa deh aku kerja banyak daripada bikin istri susah kayak gitu"
"Manis ya bund, Kata-kata nya kalo masih pacaran." Sindir Zila melengoskan wajahnya sambil tersenyum tipis.
"Ini janji aku, pegang erat-erat sama kamu. Kalo aku ingkar, aku bersumpah terserah kamu mau apain aku, dan semua aset yang aku punya aku ikhlas diambil sama kamu."
"Semoga aja ya. Gue catet ya omongan lo itu, sekarang Jam 17:26 di Yosinoha 19 Febuari."
...
Gue gak terlalu ngerti yang melatarbelakangi kenapa, dan apa sebabnya sampai detik ini masalah Om Fadil belum selesai juga, yang pastinya gue pengen banget ini cepet selesai.
Ada senyuman tipis di wajahnya, saat kita jalan berdua gandengan tangan di jalan deket gedung-gedung pencakar langit yang indah, tertegun melihat indahnya kota Jakarta saat malam hari.
Semua ini masih membingungkan bagi gue, dan masih belum bisa membedakan, mana masa sekarang, masa lalu, dan masa depan. Sesuatu yang sudah dimulai memang harus diakhiri, dan gue benci ketika gue terkadang berfikir untuk berhenti di tengah jalan.
"Kamu tau, berat rasanya jadi anak satu-satunya. Terlebih, orangtua yang gak utuh dan hartanya di jadiin rebutan orang-orang serakah keluarga kandung sendiri." Dia mengadah, melihat malam tanpa bintang. Dimana-mana hanya terlihat City light Jakarta.
"Permasalahan yang umum terjadi di kalangan orang kaya kan? Miskin susah, kaya juga susah."
"Aku gak pengen harta Papa, aku punya bisnis sendiri. Terserah Papa jika nanti akhirnya ngasih aset dia ke orang lain, asal jangan ke sodaranya yang tamak aku ikhlas. Aku cuman pengen Mama bahagia di alam sana, sampai meninggal pun, dia belum dapet keadilan yang seharusnya."
"Maksudnya?" Dia mengajak gue duduk di salah satu bangku yang persis menghadap gedung apartemen mewah yang menjulang tinggi.
Sedikit mendengus, si Om menyisir rambutnya kasar ke belakang. "Papa pecandu, entah alkohol atau wanita. Mama sakit dari dulu karena mikirin sikap suaminya yang kayak gitu, papa tau mama sakit, tapi cuman nganter mama ke rumah sakit yang menurut dia terbaik, dan serahin semua ke suster buat urus mama disana"
Dia tertunduk, lalu menatap kedepan dengan tatapan kosong. "Aku sangat kurang kasih sayang Mama apalagi Papa. Jujur, itu nyiksa banget. Masuk ke dunia hitam dari SMP, hampir di penjara tapi akhirnya bisa bebas karena bantuan Papa yang punya koneksi banyak. Punya sepupu juga gila Harta kayak Papanya." Lanjut nya lagi.
"Lagian, sepupu lo itu tamak banget dah, orangtuanya miskin banget gitu ampe harta punya Om sendiri pengen direbut."
"Ya gitulah, masalah harta keluarga bisa jadi musuh paling mematikan kan?"
..
"Fatih enda au minum cucu mah, au nenen ali cumbelnya"
"Minum dari nenen papah noh, sedot aja"
"Pait mah, laca liptik mamah yang walna melah"
"Anjir! Lipen gua yang baru dibeli dari Korea jir. FATIH!"