Setelah gue di hukum kemarin, gue memutuskan untuk libur sehari, dengan dalih izin sakit. Sebenernya, gak sakit sih, cuman mau nge-dinginin kuping yang panas aja setiap hari denger gosip yang buat gue muak.
Hari ini gue lagi diem di kamar, gak ngapa-ngapain. Melamun aja, enak sih, siang ini juga udaranya cerah gak mendung. Mama sama Papa jarang ada di rumah, gue udah terbiasa dengan ketidakhadiran mereka. Anak tunggal bisa relate.
Suara denting notifikasi tanda pesan masuk di Handphone gue berbunyi. Saat gue lihat, dari nomor tidak di kenal, gue yang lagi gabut langsung buka pesan nya.
Whatsapp.
0857-65XXX
Jauhin Fadil!! Dasar lo cemen, gak masuk karena mental lo gk kuat kan! Cihh.
Masuk 1 pesan lagi.
0812-65XXX
Ayok ketemu, lo udah permaluin gue dan sekolah gara2 skandal busuk lo itu!
Jam 5 temuin gue, di lapangan deket danau lo tau tempatnya.
Zila mengadahkan wajahnya ke atas, pertanda ia sudah muak. Masalah percintaan ia dan Fadil bukanlah urusan siapapun, termasuk mereka semua. Tidak ada namanya Skandal, hanya karena ia berpacaran dengan pemilik Sekolah itu.
Gadis itu sudah terpancing emosi, ia mengambil kunci motornya dan segera turun ke bawah. Masalah ini harus segera di selesaikan, sesegera mungkin.
Setelah mengeluarkan Motor matic kesayangan nya, Zila langsung tancap gas ke tempat yang sudah mereka tentukan.
"Apa sih maunya, urusan sama mereka apa! Rugiin mereka juga enggak, heran gue." gadis itu menggerutu kecil.
Ia tahu bahwa Tara dan yang lain tak akan berhenti, sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Harus Zila tekankan, bahwa ia bukanlah perempuan yang lemah. Ia akan mempertahankan miliknya, sampai seluruh dunia tahu, tak ada yang boleh mengusik ruang pribadinya, miliknya.
Laju motor matic itu bertambah cepat, kala mendekati tempat yang di tuju. Saat mata bening Zila menangkap beberapa sosok yang sudah menunggunya dengan angkuh di sebrang jalan, di dekat danau.
Dengan penuh emosi, sang gadis perkasa dari tanah betawi itu'pun memarkirkan motor nya asal-asalan. Berlari tanpa ragu dengan tujuan yang jelas, tangannya terkepal tanpa takut saat sudah di depan sasarannya, ia dengan berani menampar sosok angkuh yang menantangnya setengah jam lalu melalui pesan Whatsapp.
Teman-teman di sebelahnya hanya berdiri tegang karena kejadian itu begitu cepat, mereka Shock bukan main. Seorang Azila Amora se berani itu.
"Udah gue tekankan, bahwa lo! Salah pilih lawan." geram Zila.
Sang lawan yang sempat terlempar wajahnya ke samping, hanya meringis sakit memegang pipinya yang memerah. Ia kemudian menatap penuh dendam kepada Zila.
"LO?! BERANI-BERANINYA LO NAMPAR GUE SIALAAAN!!" Amarahnya meledak tanpa bisa di kontrol.
Gadis yang ia marahi tersenyum sinis, dengan tak kalah angkuh ia menjawab. "Apa?! Kurang? Nih gue tambahin!" Zila menendang tulang kering Tara dengan keras sampai gadis itupun tersungkur, menjerit kesakitan.
Kedua temannya yang tak terima, menyerang Zila dengan membabi-buta. Mereka menjambak dan memukul Zila, sang lawan membalasnya tak kalah brutal.
"Demi sempak fir'aun, lo semua bastrad!"
Aku tahu kalian suka keributan, Zila berhasil membuat keduanya tumbang. Meskipun ia juga sudah tak karuan, wajah yang lebam, rambut yang seperti singa di alam liar.
"Dasar cewek gila!! Lo bikin kita semua luka! Gue tuntut lo ya!!" marah Tara, yang di angguki kedua teman nya.
Zila memundurkan langkahnya, ia masih ingin menghajar mereka, tapi hati kecilnya berkata ini bukan saat yang tepat.
"MAU LARI LO?!!" Teriak Helen, yang buru-buru bangun ingin menangkap Zila.
"Ngapain lari? Lomba tujuh belas agustusan, pake acara lari segala." pukas nya dengan nada sinis.
Dari kejauhan, seseorang menurunkan kaca mobil nya, dan terus merekam kejadian itu. Mereka bekerjasama, dan memiliki tujuan yang sama juga. "Bagus." gumam nya.
..
2 hari setelah kejadian di dekat Danau, sekolah langsung mengadakan rapat darurat antar orang tua siswa yang terlibat. Ekspresi wajah kedua orang tua Zila hanya datar, karena mereka sudah tahu kelakuan anak tunggalnya itu memang, selalu ada di lingkaran masalah.
Mama, Papa Zila sudah terlatih.
Bahkan Fadil pun duduk di bangku ketua Yayasan dengan gesture yang sedikit tegang, sebenarnya bukan karena kasus pacarnya, melainkan ia pasti akan di adili setelah rapat ini oleh Papa Zila, karena membawa anaknya ke lingkaran masalah.
"Eheem, cek! Cek!" Pak Yasi, guru Kesiswaan sedikit cek sound untuk memastikan semua Mic sudah menyala. Ia melirik pada guru di sampingnya, yang fokus membaca berkas data para siswa yang terlibat.
"Buk Gema, saya pengen E'e ini, aduh. Bu Gema gantiin saya sebentar ya, panggilan alam yang tidak bisa ditolak ini mah" bisik Pak Yasi, yang membuat Bu Gema ingin tertawa.
"Ya ampun Bapak ini, yasudah. Sana! Biar saya yang gantiin sementara"
Sepeninggal pak Yasi, Bu Gema mulai duduk dengan tegak. Kala mic dari Kepala Sekolah mulai berdegeging, pertanda acara segera dimulai.
Pak Danesh yang duduk persis di sebelah Kepala Sekolah, mulai membenarkan kacamata nya, semua ekspresi di ruangan ini terlihat tegang dan serius.
Tara, Helen dan Andi mereka masih meringis dengan wajah lebam, dan setengah di plaster. Apa lagi Tara yang membawa tongkat untuk alat bantu ia Berjalan, karena kemarin tulang kering Tara di tendang dengan keras oleh Zila.
Orang tua Tara, Helen dan Andi sedari tadi memaki tingkah Zila yang kelewat Bar-bar kepada anak-anak mereka, di depan orang tua Zila langsung.
"Gara-gara anak kamu, anak saya jadi luka. Dasar! Gak pernah didik anak ya?!" serang Mama Tara, menunjuk-nunjuk wajah Mama Zila yang sudah merah menahan amarah juga.
Sang suami hanya menguatkan istrinya, dengan mengelus-elus pundak sang istri.
"Sabar Ma," gumam Papa Zila.
"Liat tuh, Helen sampe lebam muka nya! Anak kamu ini preman ya? Jangan di sekolahin kalo preman, taro aja di terminal sana!" hardik Mama Helen yang di tahan oleh suaminya, perempuan paruh baya itu hampir bangun, ingin menjambak rambut Mama Zila.
Zila hanya mengorek kuping kirinya yang panas, ia memandang Fadil tajam. Yang di pandang hanya mengerlingkan mata nya, membuat Zila kesal bukan main.
"Harap tenang ibu-ibu, orang tua siswa yang terhormat. Rapat akan segera di mulai" Tutur Pak Danesh, memberikan inturksi agar Rapat ini berjalan dengan lancar.
"Ehem, selamat pagi kepada para hadirin yang sudah hadir di Rapat penting kali ini. Saya selaku ketua Yayasan sekolah berterimakasih, atas kesanggupan Bapak dan Ibu wali murid untuk hadir dalam Rapat ini. Sehubungan dengan berita dan peristiwa yang telah terjadi, saya pertama-tama ingin meminta maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Selanjutnya, disini kita sama-sama ingin mendengarkan kesaksian dari kedua pihak yang berselisih, yang di mana masih menjadi anak didik dari sekolah kami." Fadil mulai membuka suara pertama, dalam acara yang begitu tegang.
Kepala Sekolah melanjutkan, "saya selaku kepala sekolah dari SMA Gautama Jakarta dan mewakili para Staff dan Guru meminta maaf, karena sudah lalai dalam menjalankan tugas dalam memperhatikan dan mendidik Siswa dan Siswi di sini."
"Dipersilahkan untuk Ibunda dari Helena Medayu Lintang Adiyaksa, ada yang ingin ibu sampaikan" Kata Pak Danesh karena ia sedari tadi melihat wajah Mama Helena sudah merah padam, menahan cacian dan makian.
"Pagi semua, saya ingin secara baik-baik ya dalam menyampaikan kata-kata yang sudah saya tahan dari tadi. Teruntuk kamu dulu Zila! Kamu tuh Siswi disini, sama seperti anak saya, kamu tuh di ajarin sopan santun, cara bersikap sama orangtua kamu, guru-guru di sini, kok mbok ya bisa, ngehajar anak saya, dengan penuh niat sampai anak saya dapat dua jahitan, disini saya tekankan kepada orangtua kamu, ANAK SAYA DAPAT YA, DUA JAHITAN DI PIPI NYA GARA-GARA KAMU!" murka Mama Helen ketika mengingat anaknya sampai harus di jahit.
Mama Tara tak mau kalah, ia mulai berucap tak kalah tajam. "Anak saya, Tara. Sampai harus di bantu memakai tongkat karena tulang keringnya retak, gara-gara kamu! Preman!"
"Andi sampai harus di rawat semalaman karena trauma, dan sampai sekarang masih trauma. Keluarin aja dia dari sekolah!" Tambah Mama Andi.
"Iya bener tuh," yang lain mendukung.
"Tenang ibu-ibu, bapak-bapak" ujar Bu Gema berusaha membuat suasana menjadi kondusif kembali.
"Zila, kamu bisa jawab alasan kamu memukul teman-teman kamu?" kata Pak Danesh.
Zila berdiri, dan berusaha santai. "Mereka duluan yang mulai, nyebar gossip, omongin saya ke semua siswa disini, ngancem saya, bahkan jambak saya duluan. Saya ada bukti, yang seharusnya di tanya itu bukan saya, tapi anak kalian, maaf image saya sudah tercoreng tidak sopan, jadi sekalian aja biar tidak nanggung. Apakah dengan menghakimi saya secara sepihak membuat anak kalian menjadi tidak bersalah? Saya rasa tidak. Buktinya banyak, kalo kalian mau saya dengan senang hati memperlihatkan nya"
"Kami punya bukti kamu mukulin anak kami ya!" Ujar Ayah Tara, yang membuat Papa Zila berdiri seketika.
"Kamu jangan tunjuk anak saya gitu dong, anak kamu cewek, anak saya juga. Jangan mentang mentang anak saya tertuduh, seenaknya tunjuk-tunjuk anak saya kayak gitu. Nih anak ada Papa Mama nya, jangan sembarangan ya!"
Fadil hanya mengurut-urut pelipisnya yang pusing bukan main, "emang bener ya, kamu tuh tukang putar balik fakta, buktinya kamu sengaja nge goda Ketua Yayasan kan? Gossip itu bener berarti" Maman Helen menimpali.
"TOLONG TENANG!" Teriak Fadil, membuat ruangan hening seketika. "Saya dan Zila memang ada hubungan. Kami berpacaran, dan tidak ada kata 'menggoda' disini. Saya yang menyatakan perasaan saya duluan, Gossip itu tidak benar."
"Tapi pak..." seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan yang sedang chaos itu.