Chereads / Fortune Cookies / Chapter 1 - Kue Pertama

Fortune Cookies

🇮🇩Jadeteacup
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 53.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kue Pertama

Jadilah matahari bagi orang lain

—Fortune Cookies pertama Derry, 24 April 1996

Aku hidup bahagia….

SANGAAT SANGAATT bahagia sekali.

Setiap hari ketika kubuka mata sehabis tidur, lalu menatap sinar mentari yang menembus masuk ke dalam kamar, aku merasakan kebahagiaan yang sulit dilukiskan. Begitu sulitnya hingga aku hanya bisa menerima, menikmati, lalu larut di dalamnya tanpa berusaha menambahkan kata-kata atau penilaian. Terhanyut dalam kekayaan rasa dari segala yang baik dalam diri manusia sambil dipenuhi rasa syukur dan cinta kasih. Demikian resepnya kira-kira jika diterjemahkan dalam bahasa para sastrawan. Sambil masih terbaring di atas tempat tidur, tanpa terasa air mataku menitik saat kupanjatkan doa tanpa kata-kata, ucapan terima kasihku kepada Tuhan....

Apalagi jika cuaca cerah! Wuihhh! Lebih dan lebih lagi aku akan bersukacita!!

Ketika kubuka mata di lain hari, melihat cuaca mendung atau hujan, aku bisa terpaku demikian takjubnya, melihat rangkaian bentuk awan yang unik. Langit yang bagaikan kuas abu–abu lembut atau hitam seperti separuh malam. Sementara titik-titik hujan adalah karya terbaik dari simfoni alam, bergulir bagaikan musik yang menyembuhkan bumi dan kota dari kekeringan. Rasa syahdu-lah yang kali ini mewarnai rasa bahagiaku. Tak bosan-bosannya aku melihat tirai air bergulir lembut dan ajaib, menimbulkan suara dan hawa dingin yang luar biasa sejuk serta menyegarkan!

Di saat-saat seperti itu, aku merasa bahwa aku adalah anak paling beruntung di dunia. Mari kubagikan sedikit momen-momen kebahagiaanku pada semua yang ingin berbahagia.

Pertama-tama, saat aku berumur delapan tahun plus dua hari. Saat aku tersadar di dalam kamarku di pagi itu, dengan Papa, Mama, Kakak, Adik, Pak Ligan, Suster Mary, dan Dokter Bomling (namanya keren!) di sampingku, kurasakan kebahagiaan yang luar biasa…. Aku menangis dalam rebutan pelukan mereka, saat namaku disebut berulang kali, penuh dengan kasih sayang tulus terpancar, baik dalam kata maupun pelukan. Sungguh aku bahagia sekali sampai aku tersengal-sengal dalam isak tangis. Aku tertawa tiada henti, termasuk saat rambutku diacak-acak oleh Kakakku yang juga ikut menangis. Itulah pertama kalinya kulihat Kakak menangis. Biasanya ia selalu tegar, bandel, dan bagiku dia adalah kakak terkuat di muka bumi.

Perlu waktu dua hari penuh untuk merayakan kesembuhanku, dan selama itu pula aku sangat, sangat, bahagia sekali. Semua temanku datang dan gembira melihatku. Semua apa yang kuinginkan, segera dikabulkan Papa dan Mama. Bahkan, mereka terus bertanya hal lain apa lagi yang kuinginkan, seolah-olah mereka khawatir ada hal lain lagi yang kusembunyikan. Atau, mereka risau jika tak sempat memberikannya padaku.

Kakakku yang jahil masih tetap menjahiliku. Tapi anehnya, sekarang aku senang dijahilinya! Aneh sekali, kan!!! Aku terus tertawa dalam keanehan ini....

Adik perempuanku yang dulunya merupakan makhluk pengganggu dalam hidupku, sekarang membuatku selalu tertawa dengan apa pun yang ia lakukan. Lihat, betapa manisnya ia saat memberiku bunga dari pekarangan.

Katanya, "Kakak cepat baikan yah.... Wennie janji gak ganggu Kakak lagi...."

Luar biasa rasanya!

Anehnya segera kusadari, meski ia menggangguku lagi, aku tak akan seperti dulu, yang selalu memarahi dan membuatnya menangis. Anehnya, aku malah ketika ia mau menggangguku lagi! Aku akan tertawa. Hahahahaha....

Aku merasakan seluruh hidupku berdenyut penuh kegembiraan karena aku masih hidup! Aku telah bangkit dari garis tipis antara alam kehidupan dan kematian.... Aku bahkan sudah melihat Sungai Styx (Kematian) yang dikatakan memisahkan dunia kehidupan dengan alam sana.

Aku berubah! Aku bagaikan orang yang baru! Aku bagai melangkah di atas awan, tidak berbobot, hangat, terbang, dan bebas…. Aku bisa mendengar semua tarikan napas dan debar jantung, meneriakkan kebahagiaan tak terkira dan rasa syukur karena aku masih hidup…. Lalu di dalam hatiku, pada hari di mana pesta kesembuhanku yang bagaikan dongeng berakhir, berbisiklah suara ini dalam hatiku, "Jadilah matahari bagi orang lain. Orang lain boleh menjadi awan, rumput atau tanah, tetapi kau jadilah matahari. Selalu bersinar dan bersyukur, kapan pun, meski tak seorang pun melihat."

Lalu kusadari kata-kata itu adalah pesan dalam Fortune Cookies yang kubuang ke sungai...

pada hari itu…

Pada usia sembilan tahun, tiga kali berturut-turut aku juara kelas dan juga juara lomba sepeda di kota untuk kelompok umur 8-10 tahun! Kakakku—tujuh tahun lebih tua yang selalu mendorongku sampai jatuh-bangun dalam belajar, latihan, dan bermain—adalah orang yang paling dekat di hatiku. Kesadaran itu muncul ketika aku dan dia begadang sampai dua hari dua malam membetulkan sepedaku di garasi. Sepeda yang kusayangi itu tertabrak Pak James sampai melengkung aneh tak keruan. Kejadian itu membuat hatiku begitu gelap, hingga semua orang lari menghindar jika melihatku.

Tapi setiap kali aku hendak menangis, Kakak selalu bilang, "Hapus air mata. Lihat, bagian ini sudah lurus lagi kan. Nah sekarang berikutnya bagian yang itu...."

Begitu seterusnya, dengan tekun ia membetulkan satu per satu bagian sepeda yang rusak. Kakak bercanda, membujuk, bercerita, dan menghiburku sampai aku tertawa tiada henti dan lupa akan pedih peri kehilangan sepedaku.

Saat itu, setengah mengantuk di tengah malam, Kakak menyentuh dadaku dengan tinjunya, lembut, dekat dengan jantungku. Keheningan menguasai kami selama beberapa lama, di antara kepenatan, keletihan, kehangatan garasi, serta disingkirkannya berbagai sekat dan segala tetek-bengek yang biasanya menghalangi orang untuk saling jujur dan terbuka.

"Nah, sekarang kalau bagianmu yang ini," ujarnya sambil menunjuk ke hatiku, "sudah betul.... Sekarang kita lihat, apa kamu masih bisa juara?"

Aku hampir menangis, "Aku pasti juara!" jawabku sambil mengangguk.

Rupanya perkataanku itu tak didengarnya. Ia sudah tertidur, detik itu juga! Aku terdiam saat menyaksikan wajah pulasnya. Ada semacam kebanggaan dan kebahagiaan tampak di wajahnya, yaitu rasa puas telah menyembuhkan hati adiknya yang luka.

Benar-benar kakak yang layak dibanggakan! Aku adalah adik paling berbahagia di dunia! Meski sepeda itu tak dapat kukendarai karena Kakak ternyata tidak bisa memperbaikinya, tetap saja sampai hari ini pun sepeda itu menjadi hartaku kesayanganku.

Di usia sembilan tahun pula, aku mengalami perayaan ulang tahun yang begitu meriah. Perayaan yang diselenggarakan di Marina itu benar-benar membahagiakanku. Semua orang boleh datang dan bermain, atau makan gratis. Semuanya menyanyikan lagu ulang tahun, termasuk dua belas lumba-lumba dan tiga ekor anjing laut. Pesta yang dilengkapi kue-kue lezat, balon-balon beraneka warna, berbagai macam hadiah, dan tentu saja kembang api! Sungguh pesta yang luar biasa. Aku bahagia. Aku memiliki semakin banyak teman, dan prestasiku membuat Papa dan Mama begitu sayangnya padaku.

Pesta-pesta perayaan ulang tahunku pada tahun-tahun berikutnya pun tak kalah meriah. Pesta ulang tahun kesepuluh merupakan "pesta sekolah". Karena, saat itu bertepatan dengan hari Minggu, sehingga segera saja sekolah disulap menjadi bazaar yang meriah. Kelas-kelas dijadikan stand. Ada stand rumah hantu, shooting game, tempat makan, nyanyian, tarian, pertunjukan. Sementara di bagian tengah—tepat di lapangan sekolah—dibuat berbagai stand ala pasar malam. Ada stand untuk permainan menyendok ikan mas, ada pula yang menjual berbagai aksesoris seperti gelang-gelang dan manik-manik, serta tak ketinggalan stand yang menjual arum manis yang sangat lezat. Belum lagi di tengah lapangan dibuat api unggun yang dinyalakan saat akhir perayaan. Benar-benar meriah!

Sedangkan pada pesta ulang tahun kesebelas, aku berkeliling ke seluruh penjuru kota, mulai dari rumah sakit, panti asuhan, sampai taman bermain. Aku juga memberikan sumbangan kepada anak-anak panti asuhan yang membutuhkan dan membawa para pemain band terkenal untuk menghibur mereka

Perayaan usia dua belas, aku mengadakan pesta kebun di rumah, diakhiri pesta kembang api di pinggir sungai yang mana seluruh penduduk kota dapat turut menyaksikannya. Di tepian tanggul sungai yang penuh kenangan itu, seluruh keluargaku terpana menyaksikan tarian bunga api di langit.

Terbersit dalam hatiku, betapa aku semakin menyayangi mereka.

Hidup terasa bagai di alam mimpi indah yang tak pernah berakhir, sampai suatu malam di usiaku yang kedua belas itu, aku mendengar tentang kejadian itu.

Saat itu aku sedang turun ke dapur diam-diam untuk minum susu. Malam telah larut, kukira tak ada siapa-siapa lagi. Lalu terdengar suara Papa dari kamar kerjanya.

"…Penolong Derry itu benar-benar keras kepala…, tidak mau menerima uang kita! Si Heru itu...! Sulit.... Sudah empat tahun! Mama tahu..., dia bilang, 'Uang tidak.... membeli nyawa, apalagi kehormatan.'" Papa berseru keras sekali.

Aku sih cuek saja, masih menggerayangi isi kulkas dan mencari botol susu. Setengah memerhatikan, agar aku tak tertangkap jika ada yang keluar, aku mendengar suara Mama.

"Tapi dia..., nyawa Derry! Kita..., balas jasa, Pa! Lihat anak kita..., betapa bahagia Derry sekarang.... Kenapa dia tidak mau terima uang dan segala pemberian kita, Pa?"

OK! Mutlak sudah penasaranku terpantik. Ada apa ini sampai namaku disebut-sebut? Aku memutuskan batal menjarah susu. Aku sekarang beringsut ke arah kamar kerja.

Suara kesal Papa menjawab, "Lelaki itu harga dirinya tinggi…. Dia itu ksatria asli…, tidak mau menerima balasan…."

"Tapi kita kan ingin memberi!! Kita ikhlas kok, Pa. Biar Mama saja yang membujuknya!" Aku sudah bisa mendengar suara Mama dengan lebih jelas, ketika aku sudah ada di sisi pintu kamar kerja yang setengah terbuka itu.

Papa berkata dengan lembut, tapi nadanya mencerminkan kehormatannya yang tengah terusik, "Tak usah, Ma. Serahkan ke Papa saja. Papa sudah punya cara membalas jasa tanpa ketahuan."

"Ba-bagaimana caranya, Pa?"

"Kita bantu dia tanpa membuat dia curiga, Ma. Si Heru itu buruh kasar. Sekarang juga dia sedang tak punya kerjaan tetap. Lewat tangan ketiga, Papa akan tawari dia pekerjaan dan jabatan yang layak di perusahaan tangan ketiga Papa. Papa juga akan beri dia rumah, semua sudah lunas. Tapi, akan Papa usahakan seakan-akan dia bayar buat kredit rumah itu. Uang pelunasan kredit rumahnya akan Papa simpan dan bungakan, lalu dijadikan beasiswa atau penghargaan untuk anaknya akan apa pun yang bisa ia capai. Apa pun akan Papa lakukan untuk membalas jasanya, Ma. Papa juga laki–laki," Papa berkata dengan lancar, tetapi jelas sekali ia puas dengan rencananya sendiri.

Aku yang tengah merapat ke dinding samping kamar kerja shok sekali. Lalu aku teringat akan sungai itu....

Saat–saat penuh kegelapan dalam air yang keruh dan deras itu hampir mengambil nyawaku....

Menarikku ke dalam kegelapan tanpa warna.... Lalu aku merasakan ada tangan yang menarikku....

Aku bergetar saat menyadarinya. Nyawaku pernah diselamatkan orang! Dan aku tidak sadar!

"Yang penting jangan sampai Derry tahu. Biar...,"

Tiba-tiba saja aku sudah berdiri dan masuk ke kamar kerja.

Kamar kerja itu luas sekali dengan lantai ditutupi karpet merah tua. Temboknya sebagian ditutupi rak-rak kayu kuno berisi buku-buku, dengan lampu-lampu meja menyala kemuning temaram di atas meja-meja kecil dan sudut-sudut ruangan.

Di sofa hitam dekat meja kerja, duduklah kedua orang tuaku…, yang jelas kaget sekali melihatku!

Aku melihat Kakak juga ada di sana, duduk di samping Mama bagaikan bayangan yang tinggi. Wajahku beku tanpa ekspresi.

"De-Derry…?!" Mama kaget, tapi tangan Kakak terangkat, mencegah Mama berbicara lebih lanjut.

Papa jelas gelagapan. Ia berdiri sambil memegang sandaran meja kerjanya.

"Aku baru dengar sebagian…. Aku ingin tahu kejadian sebenarnya! Aku berhak tahu, Pa! Aku mau tahu siapa yang sudah menyelamatkanku!" Aku berkata dengan tegas.

Hening sejenak, bagaikan angin es bertiup di antara kami.

"Beritahu dia, Pa!" Suara Kakak membelah keheningan ruang kerja, "Derry sudah gede, sudah pantas tahu."

Betapa aku sangat menyayangi Kakak!

Mama ingin memprotes, tetapi Papa mendadak bertanya kepadaku, "Lalu…, kalau kamu tahu, kamu apa apa, Der?"

Aku jelas kaget juga ditanya begitu. Aku belum memikirkan apa-apa karena lima menit yang lalu aku jelas hanya ingin mengambil susu dan menyelesaikan malam ini dengan mimpi indah.

"Aku belum tahu, Pa. T-tapi..., Derry punya hak untuk tahu!"

Ucapanku yang polos membuat Kakak terkekeh. Sejenak Papa diam sebelum ia meledak tertawa. Ia menyerah sambil mengelah nafas, "Dasar anak Papa. Baiklah, akan Papa ceritakan. Tapi berjanjilah jangan menceritakannya pada siapa pun."

Setelah melihat anggukanku, aku segera duduk di sofa, di samping Kakak dan mendengarkan sebuah cerita yang mengubah hidupku....

Malam itu setelah mendengar cerita Papa aku tidak tidur. Mataku terus menatap langit-langit kamarku.

Pikiranku terus berputar ke sana kemari tanpa henti. Entah berapa lama waktu berselang, sampai mendadak aku mendengar suara langkah halus menyusuri koridor lalu menuruni tangga. Aku diam sejenak, membiarkan suara itu lewat beberapa lama, sebelum keluar kamar dan melongok ke bawah, melihat adikku sedang mengeluarkan botol susu dari kulkas.

Ternyata yang berpikiran sama tidak hanya aku. Tanpa sadar aku tertawa terbahak-bahak. Di momen itu, mendadak pikiranku menjadi jernih. Sebuah ide muncul dalam diriku. Aku merasa begitu senangnya, hingga aku juga ikut turun. Ingin merayakannya bersama adikku dengan botol susu di tangan.