"Kamu sudah menyakiti aku terlalu dalam Van. Aku sudah tak bisa lagi menahan rasa sakit ini. Terlalu nyesek disini." Raline menyentuh dadanya. Bulir bening jatuh membasahi pipinya. Pada akhirnya Raline harus menyerah dan tak ingin menggapai Kevan lagi. Ia gagal mendapatkan cinta suaminya.
Dada Kevan ikutan sesak. Jantungnya serasa diremas dan ditusuk jarum. Sakit mendengar penuturan Raline. Satu tahun mereka menikah, baru kali ini Raline mengungkapkan isi hatinya. Bagaimana pun penghinaan dan sikap buruk Kevan, perempuan itu tak pernah mengeluh bahkan menunjukkan sikapnya.
Kevan bahkan heran mendapati Raline yang selalu menjaga martabatnya di depan keluarga. Hati Raline sangat lembut bahkan tak mau menyakiti meski pun ia sering disakiti. Raline selalu memujinya di depan keluarga besar bahkan perempuan itu suka memberikan hadiah untuk keluarga dan selalu bilang 'ini oleh-oleh dari Kevan, dia nitip sama aku buat dikasih ke om dan tante'.
Raline sangat tulus menyayangi keluarganya. Tak ada kepura-puraan berusaha mengambil hati Oma, Tante, Om dan juga sepupunya. Wanita itu terlalu baik untuknya. Nafkah yang ia berikan pada Raline setiap bulan dikembalikan wanita itu dengan memberikan hadiah untuk keluarganya. Kevan bahkan tak pernah melakukannya namun Raline melakukannya demi nama baiknya. Kevan tak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.
Kevan mendekati Raline namun perempuan itu malah menghindar. Berjalan mundur ketika ia dekati. Kevan gigit jari dan menahan diri agar Raline tak semakin jauh darinya.
"Kenapa kamu menjauh Raline?" Kevan terluka mendapati sikap Raline yang dingin.
"Jangan dekati aku Van. Aku tidak ingin dekat-dekat dengan kamu. Semuanya sudah berakhir Van. Aku sudah penuhi hak kamu selama setahun ini meski pernikahan kita banyak cela. Aku sudah jadi istri yang baik buat kamu selama satu tahun ini. Melayani kamu dengan baik. Aku harus pergi dan jangan lupa mengurus perceraian kita." Raline mendorong koper namun Kevan menahannya.
"Jangan pergi Raline. Kamu mau kemana? Kamu enggak punya siapa-siapa di dunia ini. Aku tempat kamu pulang."
"Jika kamu ucapkan kata itu setahun yang lalu mungkin aku akan senang Van. Semuanya sudah berakhir dan aku sudah menyerah. Aku juga layak bahagia. Jurang yang kamu gali terlalu dalam dan aku sudah tak bisa naik lagi. Jangan jadi pria pengecut tak menepati janji Van. Kamu minta aku tiga bulan ini jadi istri kamu dan penuhi semua hak kamu. Melayani kamu di ranjang dan dapur. Sudah aku lakukan Van. Setelah perjanjian kita berakhir tolong penuhi janjimu. Aku akan menghargai kamu jika kamu melakukan semua itu. Jangan mempersulit perceraian kita."
"Raline jangan tinggalkan aku. Kamu mau kemana? Enggak mungkin kamu kembali ke panti. Yuk kamu disini sama aku di rumah kecil kita." Kevan berusaha membujuk Raline dan tak akan menyerah.
"Jangan kamu pikir aku tidak ada tempat berteduh. Aku punya rumah Van."
"Rumah?" Kevan memijit pelipisnya.
Apa Raline beli rumah dari uang yang telah ia berikan setiap bulan? Selama satu tahun jika nafkah darinya dikumpulkan cukup untuk membeli rumah minimalis, namun tidak mungkin Raline bisa membelinya jika ujung-ujungnya perempuan itu mengembalikan uangnya dalam bentuk hadiah pada keluarganya.
"Kamu suami yang brengsek Van. Saking brengseknya kamu bahkan tidak tahu apa pekerjaan istrimu. Aku tidak semiskin yang kamu kira dan gila harta seperti dugaan kamu selama ini." Raline bicara dengan tenang namun terdengar menakutkan bagi Kevan.
"Bukankah kamu kerja di kafe mama sebagai manager?" Ini bukan pertanyaan tapi lebih ke pernyataan.
"Saking bajingannya kamu dan tak pedulinya padaku hingga enggak tahu apa profesi aku yang sebenarnya. Aku ke kafe hanya untuk bertemu mama dan melepas penat dari pekerjaan aku."
Deggg…..ucapan Raline mengena dan menohok Kevan. Suami macam apa dia tidak tahu pekerjaan istri sendiri? Kevan tersenyum ironi menyadari betapa ia mengabaikan dan tak mengganggap keberadaan Raline selama ini. Dia telah menendang Raline bahkan sebelum wanita itu masuk ke dalam hatinya.
Ckkckcckk….Begitu kejam. Kevan menyugar rambut seraya mengusap wajahnya kasar. Pernyataan dari mulut kecil Raline kian lama menyesakkan dadanya.
Terbuat apa hati Raline? Masih bisa sabar ketika Kevan tidak pernah pulang ke rumah. Dalam hitungan bulan hanya beberapa hari ia pulang. Sekalinya pulang selalu menghina dan memojokkan Raline.
Awalnya perempuan itu menjawab semua kata-katanya, lambat laun diam dan jadi istri yang penurut untuknya. Raline akan bicara jika diminta bicara. Diam ketika diminta diam. Raline bahkan tak menunjukkan gelagat aneh meski ia sakit. Raline terlihat seperti boneka yang bisa Kevan mainkan sesuka hati.
Kevan pulang tiap hari ketika mereka melakukan perjanjian. Pria itu ingin haknya dipenuhi selama satu bulan sebelum mereka resmi bercerai. Tomi tak rela jika Raline pergi dengan selingkuhannya tanpa pernah ia sentuh. Kevan ingin mendapatkan imbal balik atas semua materi yang ia berikan. Kevan menukar materi yang ia berikan dengan tubuh Raline.
Perempuan itu memenuhi hak Kevan sebagai suami. Bukan maksud untuk menukar materi yang telah Kevan berikan, tapi hanya melakukan kewajibannya. Kasar disebut tugas istri hanya ke dapur, sumur dan kasur. Raline penuhi semua hak Kevan meski ia sendiri sakit.
Raline masih bergulat dengan pikirannya. Kevan membuatnya mati rasa. Terlalu sering disakiti membuatnya kebas hingga tak punya rasa lagi.
"Kenapa kamu diam saja Raline? Bicaralah. Ijinkan aku untuk mencintai kamu." Kevan menangis pilu seraya berlutut di depan istrinya.
"Aku seorang dokter Van."
Kenyataan ini membuat Kevan semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang tak berkesudahan.
"Jadi anak kecil itu..." Kevan menggantung ucapannya.
"Pasienku." Potong Raline cepat.
Raline buang muka, tak mengacuhkan suaminya. Tak tersentuh sedikit pun meski Kevan telah berlutut. Sikap Raline seperti ini juga buah dari perbuatan Kevan. Terlalu sering dipermainkan membuat Raline tak menaruh rasa iba untuk suaminya. Meski Kevan serius kali ini namun Raline sudah tak akan percaya. Hatinya telah mati. Apa pun yang Kevan katakan tak akan mempengaruhinya lagi.
"Sudah terlambat Van," ucap Raline tegar. Tak ada lagi air mata. Raline kuat menghadapi semua ini.
"Aku mulai mencintai kamu," ucap Kevan terisak-isak. Pria itu memukul kepalanya. Pada akhirnya sang playboy bertekuk lutut pada istrinya.
"Sudah terlambat nyatakan cinta Van. Apa pun yang kamu katakan tidak akan mempengaruhi keputusanku untuk pergi dari rumah ini. Aku sendiri tak ada niatan untuk kembali bersamamu. Pernikahan kita sudah tak sehat. Pernikahan kita toxic. Dari awal kita sudah gagal Van, sejak kamu meninggalkan aku di malam pertama kita. Kamu minta aku penuhi hak kamu selama sebulan ini karena tidak sudi aku menghabiskan uangmu. Aku lakukan Van. Sebagai laki-laki sejati penuhi janjimu untuk menceraikan aku. Cepat ucapkan talak Van biar kita resmi cerai secara agama dulu. Bukankah kamu yang minta cerai? Aku sudah penuhi permintaan kamu. Sekarang giliran kamu. Apa pun pinta kamu tidak akan aku penuhi kecuali datang ke pengadilan. Aku sudah tanda tangani surat perceraian kita. Aku tidak ingin kamu mempersulit segalanya."
"Jika aku tak mau bercerai bagaimana?"
"Aku akan tetap tinggalkan kamu," ucap Raline tanpa keraguan.
Tenang namun menghanyutkan. Tanpa mengeluarkan suara keras Raline mampu membuat Kevan bergidik.
"Raline tolong beri aku kesempatan kedua," jerit Kevan mengiba. Untuk pertama kalinya Kevan menginginkan Raline untuk tetap disisinya, menjadi istrinya. Kevan saja yang buta tak pernah melirik istrinya padahal Raline lebih berharga dan menarik dibandingkan para berbi yang ia miliki. Berbi adalah panggilan untuk para wanita selingkuhan Kevan yang menjadi partner one night stand.
"Tak ada kesempatan kedua Van. Aku lelah dan capek. Gak mau lagi emosi. Emosi itu menguras hati. Satu tahun limit kesabaranku buat jadi istrimu. Kamu pemain Van. Nikmati saja permainan yang telah kamu ciptakan. Aku pergi." Raline mengabaikan Kevan. Ia mendorong kopernya hingga ke depan pintu rumah.
"Raline jangan tinggalkan aku," cebik Kevan seperti anak gadis.
"Sudah terlambat Van. Bukankah ini yang kamu inginkan? Ingin terbebas dari pernikahan ini?"
Tamparan langsung terasa di hati Kevan. Tepat mengenai tempat yang seharusnya. Penyap dan sesak, perasaan Kevan campur aduk. Semakin tahu kejahatannya pada Raline membuatnya tak bisa bernapas. Jantung Kevan berdenyut nyeri. Pria itu tak berani memandang Raline meski sesaat.Â
"Aku pergi," ucap Raline tanpa sedikit pun menoleh pada Kevan
"Raline jangan tinggalkan aku," pekik Kevan berlutut memeluk kaki Raline.
"Sudahlah Van Percuma kamu minta aku jangan tinggalin kamu. Nasi sudah jadi bubur Van. Pria itu yang dipegang omongannya. Tepati janji kamu dan kita akan bertemu di pengadilan."
"Aku enggak mau cerai Raline. Jika kamu hamil gimana?" Kevan menemukan secercah harapan untuk mengikat Raline.
"Ga bakal Van," jawab Raline dingin.
"Belum tahu Raline. Bisa jadi.…."
"Aku minum pil KB."
Kevan terhenyak. Kesempatan bersama kian pupus. Raline merancang perceraian mereka sekian rupa. Kevan pikir ia masih raja di hati Raline. Ternyata ia salah. Ia yang membuat Raline menjadi tega dan tidak berperasaan.