Hannah telah sampai di depan pintu rumah dengan arsitektur modern yang didominasi dengan warna monokrom dan batu alam. Rumah Evans benar-benar luas dan dindingnya merupakan variasi dari cat putih, abu-abu dan warna-warna earth tone lainnya yang terlihat serasi, serta kaca-kaca lebar dengan tirai yang bisa diatur menggunakan remot khusus untuk membuka dan menutup jendela. Rumah itu menjadi rumah kedua bagi Hannah di negara ini, tidak banyak sanak saudara yang Hannah miliki sejak Ia lahir di New York, berpindah ke Jerman, dan kembali lagi tinggal di kota asal Ayahnya.
Tentu saja, Hannah benar-benar disambut dengan baik di rumah itu, semua orang di dalamnya telah mengenal Hannah sebagai salah satu keluarga Maverick, termasuk para pekerja di rumah itu. Hannah melangkahkan kakinya dengan pasti ke dalam rumah. Dilihatnya Diana sedang membaca majalah di sofa berwarna cream di ruang keluarga di bagian tengah rumah sendirian. Hannah langsung menghampiri wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan segar itu, dari arah belakang, gadis itu memeluk Diana erat.
"Mom....." ucap Hannah bergelayut manja pada leher wanita itu.
"Oh honey, kapan kau datang sayang?" ucap Diana lembut, dengan sangat keibuan, Ia meletakkan majalah yang sedari tadi berada di tangannya ke atas meja, mengalihkan fokusnya pada gadis imut yang sudah lama Ia rindukan. Kalau Larissa adalah wanita nomor satu yang sangat Hannah sayangi, Diana adalah wanita nomor satu setelahnya yang juga Hannah sayangi, tidak ada nomor dua di antara mereka. Keduanya sama-sama Ibu bagi Hannah.
"Mengapa tidak mengabari jika ingin berkunjung? Mommy bisa menyuruh Evans untuk menjemputmu sayang"
"Oh tidak Mom, Evans pasti kelelahan setelah berkuliah dan bekerja di perusahaan sekaligus, juga.. dia sibuk sekali dengan band-nya!" Ucap Hannah yang beralih menjadi duduk di samping Diana.
"Oh benarkah, apakah Evans terlihat kelelahan akhir-akhir ini?" balas Diana agak khawatir. Hannah berpikir sejenak,
"Tentu saja tidak Mom, Evans manusia yang tidak pernah terlihat lelah setiap kali aku melihatnya melakukan sesuatu" ucap Hannah polos dengan tertawa kecil, dia benar-benar serius dalam mengatakannya, Evans jarang sekali mengeluhkan tentang setiap pekerjaan atau kesibukan yang sedang Ia kerjakan. Padahal, menurut Hannah, Evans bisa saja menolak beberapa hal yang cukup menyita waktunya, hanya saja Evans terlalu pro dalam melakukan apapun, dan juga mungkin saja karena Evans menyukai semua hal yang Ia lakukan, sehingga mungkin saja hal itu yang membuatnya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan mudah tanpa harus mengeluhkannya pada siapapun. Sahabat prianya itu, Hannah akui sebagai si sempurna tanpa celah.
"Begitukah? Syukurlah, kau adalah orang yang paling dekat dengannya Honey, kalau Ia tidak menceritakan apapun, berarti sungguh anakku itu tidak sedang mengalami kesulitan yang bisa sampai membuatnya mengeluh. Mungkin Mom akan bicara pada Daddy untuk menambah pekerjaannya di kantor" senyum Diana penuh arti, Hannah panik mendengar usulan tidak masuk akal itu, Evans sudah sibuk sekali, bukankah terlalu berlebihan kalau pekerjaannya ditambah lagi? Ia tidak ingin kalau Evans menjadi terlalu memforsir dirinya hanya karena Ia salah bicara.
"Oh tidak Mom! Kurasa pekerjannya sudah cukup segitu saja, nanti Ia jadi tidak fokus belajar di kampus" ucap Hannah mencari-cari alasan yang dapat diterima oleh Diana diselingi cengiran gigi gingsulnya.
"Mom hanya bercanda sayang... Mom dan Daddy tentu saja tidak akan melakukannya, dia harus menikmati masa mudanya dengan baik agar bisa punya pacar kan?" ucap Diana penuh rasa sayang, gadis di hadapannya secara refleks mengubah air mukanya, rasanya ada yang tercekat di tenggorokkan saat ingin menimpali ucapan Diana saat itu. Hannah tidak bisa membayangkan kalau selama Ia kembali di New York, Evans tidak lagi selalu ada di sisinya karena Ia telah memiliki seorang kekasih. Namun bukankah itu perasaan yang egois? Hannah harusnya bahagia kalau sahabatnya akhirnya menemukan wanita yang bisa membuatnya bahagia, kan?
"Tentu saja Mom, bagaimana bisa pria setampan Evans betah sekali hidup menjomblo seperti itu. Seperti tidak laku saja" ucap Hannah tanpa bercermin pada dirinya sendiri, padahal Ia juga belum pernah punya pacar di 21 tahun usia hidupnya.
Diana tersenyum memperhatikan semua gerak-gerik gadis di hadapannya, "Apa kau mengetahui gadis seperti apa yang Evans sukai honey?" tanya Mom Evans menyelidik.
"En...tahlah Mom, Evans selalu mengalihkan pembicaraan kalau membicarakan mengenai Ia harus menjalin hubungan dengan seseorang, aku juga tidak habis pikir deh. Mom... Evans itu... tidak mungkin gay kan???" selidik Hannah benar-benar serius dengan pertanyaannya, Diana yang terlihat anggun dan kalem itu tiba-tiba tawanya meledak begitu saja. Harusnya Ia kesal, anak laki-laki tampan yang memikat banyak teman-teman sosialitanya untuk dijadikan menantu itu sedang dikatai gay oleh seorang gadis, namun karena gadis itu adalah Hannah, gadis yang benar-benar polos dan tidak peka, Ia hanya bisa menatap pasrah pada pandangan gadis yang sudah Ia anggap sebagai anak perempuannya itu dengan gemas.
"Apa Evans benar-benar terlihat seperti tidak ada harapan?" tanya Diana lagi, Ia masih penasaran dengan bagaimana Hannah memandang putranya.
"Tentu saja banyak Mom! Teman-teman seangkatan denganku terlihat banyak sekali yang menyukai band FOX, dan tentu saja, banyak sekali yang suka dan menaruh perhatian pada Evans, tapi entah wanita seperti apa yang bisa meluluhkan hatinya, dia hanya bergaul dengan teman laki-laki saja seingatku"
"Ah, yang jelas, sepertinya Evans tidak suka dengan gadis yang cerewet dan banyak bicara, dia sering sekali mengataiku seperti itu, sepertinya Evans benar-benar tidak suka hal-hal yang berisik" sambung Hannah.
Kali ini, Diana hanya tersenyum menanggapi gadis di sampingnya, sebenarnya Diana benar-benar penasaran dengan perasaan gadis itu, selama ini bukankah Ia juga tidak pernah sekalipun memiliki kekasih? Yang Diana tahu, sepanjang hidupnya, Hannah hanya sibuk memfokuskan dirinya pada pendidikan, mengurus permasalahan keluarganya yang sempat benar-benar jatuh, bekerja dengan mandiri tanpa menerima bantuan dari siapapun, dan kini memulai perkuliahan dengan tenang tanpa ada berita kedekatannya dengan seorang pria, tentunya selain dengan Evans, putranya yang adalah sahabatnya sampai saat ini.
Diana tertegun, apakah Hannah sama sekali tidak tertarik dengan anak laki-laki satu-satunya yang Ia bilang tampan itu?
"Hannah, bagaimana dengan perasaanmu Darl?" ucap Diana, tiba-tiba ekor matanya melihat seseorang sedang berdiri di ujung ruangan sedang mendengarkan obrolannya dengan satu-satunya gadis yang ada di hidupnya selain Dianna sendiri, Hannah tidak memperhatikan kedatang Evans, dan Diana tentu saja ingin menggunakan kesempatan ini untuk menggoda keduanya.
"Perasaan?" Hannah malah balik bertanya, gadis itu tidak paham kemana Diana akan membawa arah pembicaraan mereka. Sementara seseorang yang berada disudut terperangah memperhatikan Mommy-nya sedang menanyakan hal yang bahkan tidak pernah berani Evans tanyakan pada Hannah, pria itu tidah pernah menanyakan tentang pria atau kisah cinta pada sahabatnya yang terkesan hanya cinta kepada buku saja.
"kepada anak Mommy, Evans. Bukankah kau bilang Evans adalah pria yang tampan?" ucap Mom Diana blak-blakkan membuat Evans yang masih berdiri dengan tegap di tempatnya merasa gusar.
Hannah diam membeku, selama ini, Ia tidak pernah memikirkan perasaannya sejauh itu kepada Evans, yang Ia rasakan adalah perasaan nyaman yang tidak bisa Ia dapatkan dari siapapun ketika bersama dengan pria dingin yang dikenal seperti pangeran es oleh banyak teman perempuan mereka, pria itu selalu ada dalam hidup Hannah dari jarak dekat maupun jauh tanpa absen sedikitpun, mereka tumbuh bersama dan saling bertukar cerita bahkan saat Hannah masih di Jerman di tahun-tahun awal kehidupan pernikahan Larissa dan Loui, bahkan Evans sesekali berkunjung atau sebaliknya. Hannah jadi memikirkan kalau suatu saat Evans pergi dari kehidupannya pasti Ia akan sangat kesepian dan merasa kehilangan. Bagaimana tidak, seumur hidupnya selalu ada Evans mengambil bagian dari setiap cerita hidupnya tanpa absen.
Hannah terdiam cukup lama, Diana menangkap ekspresi tak terbaca dari gadis di hadapannya, apa yang sedang gadis itu timbang dan pikirkan?
"Apakah kau tidak pernah menyukai Evans sebagai seorang pria Honey?" Diana mulai tidak sabar dan dihantui rasa penasaran, Ia benar-benar gemas dengan kedua anak laki-laki dan perempuannya yang terus saja tidak mengalami perkembangan dalam hubungan percintaan. Mereka sangat dekat, tentu saja. Akan tetapi Diana curiga mengapa keduanya tidak pernah punya pacar sekalipun.
"M-Mom... aku..." ucap Hannah bingung, kata-katanya berhenti sampai situ ketika Evans sudah berada di hadapan mereka berdua, berdiri dengan baju casual dan celana pendek kebanggaanya. Ya, Evans benar-benar banyak memiliki celana dengan model santai seperti itu dengan warna-warna netral yang itu-itu saja. "Mom, bisakah kau memasakkanku kari?" Ucap Evans sambil terburu-buru memotong kalimat selanjutnya yang ingin Hannah ucapkan. Namun, sejak kapan Evans suka dengan masakan kari? Diana sadar, kalau anak laki-lakinya tidak siap mendengar jawaban dari gadis yang ada di hadapannya, dan hanya berbicara asal. Ia benar-benar tertawa puas dalam hati. Walau Ia tidak mengetahui dengan pasti bagaimana perasaan Hannah saat ini, namun perasaan anaknya sendiri tidak bisa disembunyikan dari Ibu yang melahirkan, kan? Ia lalu hanya tersenyum lembut pada keduanya.
"Baiklah, Mom akan memasakkan kari yang baanyyaakk.... sekali untuk anak Mommy" Ucap Diana bangkit sambil menepuk-nepuk kedua pundak Evans, Evans hanya berusaha se-cool mungkin menanggapi tanda yang Mommy-nya buat itu, Ia baru sadar telah meminta dibuatkan makanan yang justru tidak pernah lagi Evans makan. Mommy-nya pasti jadi mencurigai sesuatu karenanya. Duh.
"Sejak kapan kamu suka kari? Kita berdua kan sama-sama tidak suka kari" ucap Hannah heran, Hannah bersyukur Ia tidak harus menjawab pertanyaan random Diana yang benar-benar mendadak itu. Baginya, kedatangan Evans benar-benar bagai penyelamat hidupnya di detik itu juga.
"Karena kau tidak suka, aku harus suka. Siapa yang akan menghabiskan karimu kalau tiba-tiba ada yang memaksamu harus makan kari kalau bukan aku" ucap Evans spontan, pipi Hannah tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus mendengar pernyataan Evans barusan, Ia tidak tahu mengapa perasannya jadi sehangat ini, namun bukankah memang kata-kata Evans barusan itu sungguh imut? Atau ini karena pengaruh pertanyaan Diana yang jadi tertancap keras di kepalanya? Hannah jadi mencari-cari jawaban atas hal itu, dan merasa menjadi lebih responsif terhadap tingkah laku Evans kepadanya.
"Kau demam?" Evans menyentuhkan tangannya ke kening Hannah, belum sampai mereka bersentuhan kulit, Hannah justru berteriak, "Tiddddaaaakkkk.....!" lalu kabur begitu saja meninggalkan Evans seorang diri di ruangan itu menuju dapur. "Mom, aku akan membantumu membuat kari!" ucapnya sambil berlari.
-To be continue...