Ternyata bukan hanya Hannah yang merona atas apa yang barusan Evans lakukan, Evans sendiri merasa deg-degan sejak Diana menanyakan bagaimana perasaan Hannah kepadanya. Dan Ia bahkan tak percaya kalau sedikit sentuhan yang Ia lakukan untuk memeriksa suhu tubuh Hannah bisa mengalirkan listrik yang begitu kuat hingga ke dadanya, rasanya seperti mau meledak, melihat reaksi Hannah yang gugup itu. Apakah gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya? Evans tak pernah bisa menebak pikiran gadis di depannya hingga kini.
"Ah... bodoh sekali" ucap Evans merutuk sambil memperhatikan tangannya sendiri. Mengapa juga Ia dengan refleks mengatakan hal konyol seperti ingin makan kari yang tak pernah Ia makan lagi, hal itu semakin membuat Evans terlihat seperti mencari-cari alasan, juga tangan tidak sopannya yang begitu lancang menyentuh kening Hannah yang hanya semakin mempengaruhi pikirannya saat ini.
.
.
.
.
Tak banyak yang bisa Hannah lakukan di dapur, dari dulu Hannah tak pernah tertarik untuk menjadi seperti Ibunya, Larissa senang melakukan segalanya sendiri jika itu berkaitan dengan dapur, Hannah dan Jonathan terbiasa menungguinya memasak sambil bercerita banyak hal tentang bagaimana pekerjaan di Rumah Sakit di sela-sela kebersamaan itu. Di waktu-waktu tertentu, Hannah cenderung menghabiskan waktunya untuk belajar, pergi ke perpustakaan nasional untuk membaca beberapa buku di akhir pekan, atau pergi ke Rumah Sakit tempat mendiang Ayahnya bekerja untuk melihat-lihat sambil mengantarkan makan siang buatan Larissa. Sehingga tak banyak bantuan yang bisa Hannah berikan kepada Diana untuk membantunya memasak, walau Diana bukan seorang Chef seperti Larissa, wanita itu juga pandai sekali memasakkan makanan apapun kesukaan Hannah yang tak jauh beda dengan kesukaan Evans. Setelah sedikit membantu pekerjaan Diana memasak kari, Hannah kini tengah sendirian berada di sisi lain rumah Evans, Ia berada di area kolam renang indoor yang dihiasi dengan beberapa tanaman hijau yang tertara rapi dalam pot berbahan batu alam di beberapa tempat dalam ruangan itu. Hannah senang di sana, berenang di dalam ruangan membuatmu terhindar dari sinar matahari, hal yang bagus bagi Hannah yang tak suka suasana outdoor, tapi Ia tak datang ke sana untuk berolah raga, Ia hanya ingin sendirian. Rumah itu benar-benar luas, kau bisa memilih di mana dan bersama siapa kau ingin menghabiskan waktumu di rumah Evans, dan ketika kau ingin sendirian kau hanya perlu pergi ke sisi lain yang tidak ada orang di dalamnya. Kolam renang menjadi salah satu tempat yang sering Hannah datangi jika ke rumah Evans sejak pertama kali mengunjungi rumah Evans, di sana tenang, hening, dan tak ada yang memakainya selain Evans sendiri. Kakinya Ia celupkan sebagian ke dalam air, seseorang menepuk punggung Hannah pelan, tentu saja itu adalah Evans. Sudah kubilang Hannah tahu betul kalau itu bau parfumnya Evans, bahkan bocah itu menggunakan wangi-wangian di dalam rumah.
"Mengapa ada di sini?" Tanya Evans datar, Ia ikut mencelupkan kakinya di samping Hannah. Tidak ada jawaban dari Hannah, Ia hanya memandangi air kolam yang bergerak bergelombang akibat getaran yang dibuat oleh kakinya sendiri dan kaki Evans.
"Kau datang untuk menemui Mom kan, apa karinya sudah matang?" tanya Evans kembali.
"Mom menyuruhku untuk beristirahat, aku hanya membantu mengupas beberapa rempah yang dibutuhkan, tak banyak yang bisa kulakukan" jawabnya kecut.
"Kau tetap bisa bersamanya di dapur jika kau menginginkannya seperti biasa" ucap Evans lagi, Hannah tak bergeming dari tempatnya, kakinya Ia goyang-goyangkan kembali di dalam air membuat gelombang kecil tak beraturan.
"Jangan dipikirkan, maksudku... pertanyaan Mom jika kau berniat menghindarinya. Mom tak serius menanyakan hal semacam itu" ucap Evans ragu mencoba menebak isi hati gadis itu. Hannah langsung menoleh ke sebelah, "Em" balas Hannah sambil disertai anggukkan, tepat sasaran.
"Kita tidak boleh mengkhianati persahabatan kita, kan?" imbuh Evans lagi, merutuki dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak rela dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya, walau bertujuan ingin meringankan pikiran gadis di sebelahnya, Ia justru malah akan membangun dinding yang semakin tinggi di antara perasaan keduanya, apapun itu.
"Eh, kau masih ingat dengan janji itu?" Hannah yang dari tadi tidak banyak bicara seketika matanya berbinar, Hannah mengingat-ingat kembali perjanjian manis yang dulu sempat mereka buat saat keduanya masih sangat kecil di bawah pohon ek tua.
Ucapan Evans menjadi senjata makan tuan, kali ini Ia menjadi orang yang benar-benar gelisah mengingat kejadian yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Seperti dua orang dewasa yang seolah mengerti dengan apa yang mereka katakan, Hannah dan Evans kecil saling berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain sebagai sahabat selamanya. Perjanjian yang terasa semakin sulit seiring berlalunya waktu. Berharap tidak ada perjanjian bodoh semacam itu yang bisa diingat, sayangnya ingatannya terlalu hebat dan dengan sangat jelas memberi alarm bahwa perjanjian itu telah Evans pertegas untuk kali kedua hari ini.
"Ya, kita tidak boleh merusak hubungan persahabatan kita dengan alasan apapun" kini Evans melakukannya untuk yang ketiga kalinya, bahkan rasanya Evans ingin menyelam saja ke dasar kolam renang.
Hannah menarik napas dan menghembuskannya dengan kentara, Evans menunggu-nunggu respons apa yang akan Hannah berikan selanjutnya. Apakah gadis itu juga kecewa sama seperti dirinya yang malah berbicara hal-hal yang berlawanan dengan isi hatinya sendiri?
"Syukurlah, aku merasa lega sekarang" ucap Hannah singkat lalu menundukkan wajahnya ke arah genangan air, kemudian tersenyum dengan tulus. Bak disambar petir, perasaan Evans benar-benar seperti dicampakkan padahal belum memulai apapun juga.
"Kau, tidak memiliki perasaan semacam itu, kan, padaku?" tanyanya lagi seolah tak percaya dengan reaksi yang baru saja dilihatnya, Evans makin gelisah. Ia berharap Hannah memiliki kejujuran yang membuatnya mengakui perasaan yang Evans harapkan ada untuknya.
"Apakah itu penting? Kita hanya perlu terus bersama sebagai sahabat, kan?" ucap Hannah dengan tenang sambil tersenyum manis sekali, Evans benar-benar ingin mati saat itu juga. "Bagaimana kalau aku yang menyukaimu?" ucap Evans tidak dapat menahannya lagi, seketika ucapan itu membuat Hannah tertegun selama beberapa saat sambil menatap wajah di hadapannya lekat, lalu kemudian Hannah tak dapat lagi menahan tawanya. Ia tertawa meledak hingga suaranya memenuhi seisi ruangan yang selalu hening itu.
Hannah benar-benar tertawa sambil menangis, bahkan ada setetes air mata di ujung matanya. Ia benar-benar tidak menyangka mendapat pernyataan atau pertanyaan? semacam itu keluar dari mulut pria di depannya. Mana mungkin juga Evans menyukainya, pikir Hannah, sangat mustahil. Jadi saat ini Ia hanya bisa menertawakan ucapan barusan yang dianggapnya hanya sebagai test saja. Evans yang hanya bisa menatap mata gadis itu dengan perasaan kecewa, Ia telah kalah dalam perangnya sendiri. Seketika Evans mengalihkan pandangan, Ia kikuk, dan ingin menjahili lagi gadis itu dengan mendorong tubuh Hannah ke kolam di hadapan mereka, ada perasaan semacam kesal sehabis ditolak mentah-mentah seperti itu. Kini giliran Evans yang ikut tertawa melihat sahabatnya yang Ia ingat benar-benar mahir berenang itu tercebur ke dalam kolam tanpa aba-aba. Namun sayangnya Ia lupa kalau Hannah telah mengalami suatu hal yang telah membuatnya berhenti melakukan segala aktifitas olah raga fisik apalagi yang berhubungan dengan air beberapa tahun lalu. Evans benar-benar sedang kehilangan akal saat ini.
Evans masih asyik memperhatikan Hannah yang terlihat berpura-pura tidak bisa berenang di matanya. Tubuh Hannah meronta-ronta di dalam air, suara cipratan air kian deras terdengar bersamaan dengan gesekan antara gerakan tangan Hannah yang berusaha membuat berat tubuhnya lebih ringan agar naik ke permukaan. Sialnya, Ia tercebur ke bagian kolam yang kedalamannya melebihi tinggi tubuhnya, Hannah benar-benar kemasukan air karena sulit bernafas sekarang, berusaha menggapai apapun juga namun semuanya hanya air, Hannah mencari cara lain, Ia menenggelamkan dirinya berupaya tenang lalu melonjakkan kakinya di bagian dasar kolam untuk naik ke permukaan kembali, berharap Evans segera menyadari keadannya, namun sayangnya usahanya tidak berhasil, Ia tertahan di bawah dengan ketersediaan oksigen yang telah habis di dalam paru-parunya, nafasnya semakin tercekat, kaki kanannya mulai keram, tubuhnya sudah tidak bisa Ia ajak berusaha, hawa dingin semakin menyeruak di dinding kulit Hannah, Ia berusaha meminta tolong namun tentu saja tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya, yang ada semakin banyak air yang Hannah telan, Ia ketakutan, sangat. Hannah tidak juga mendapati pertolongan dari Evans dengan segera. Hingga tatapannya yang mulai memudar di dalam air dan cahaya di sekeliling yang mulai menggelap, Evans datang menghampirinya kali ini, siluet itu semakin dekat merengkuh tubuh kecil Hannah. Tatapannya kian meredup. Tertolong, pikir Hannah.
.
.
.
.
Hannah dibaringkan di kamar Evans dengan pakaian yang telah diganti, bibirnya masih pucat nyaris kebiruan, dan tubuhnya terlihat lemah karena kebanyakan meminum air kolam. Evans memegangi tangan kanan Hannah sambil terus memperhatikan gadis itu dengan penuh rasa penyesalan, gadis itu punya trauma! Dan dengan bodohnya, hanya karena pernyataan cinta main-main itu tak mendapat respon yang baik dari wanita di depannya, hanya karena Ia terlalu gugup dan takut ketahuan, membuatnya lupa kalau gadis di depannya pernah tenggelam dan sempat hampir kehilangan nyawanya yang juga merenggut nyawa Ayah Hannah.
Digenggamnya tangan Hannah dengan kedua tangannya erat, di sisi lainnya ada Mom dan Dad Evans yang sama terlihat khawatirnya. "Aku.. tidak bisa berenang lagi Evans, aku belum bisa" ucap Hannah lirih saat ingatannya telah kembali setelah Ia sadar, air matanya menetes dari ujung mata Hannah yang baru saja terbuka tanpa Hannah ketahui, dia tidak ingin menangis di depan siapapun, tapi tidak bisa mengendalikan mimpi buruknya yang bahkan datang ketika barusan tak sadarkan diri. Evans benar-benar telah melakukan satu kesalahan besar kali ini.
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku" ucap Evans berulang kali tidak berani menatap wajah Hannah.
"Honey, kau sudah tidak apa-apa? Tadi kamu menelan banyak sekali air sayang" ucap Diana dengan lembut di sisi kiri Hannah. "I'm fine Mom, terima kasih" ucap Hannah mencoba bangun, Diana menyandarkannya ke dipan dengan bantal yang ditinggikan.
"Sayang, maafkan Evans yang sudah benar-benar keterlaluan dan kurang kerjaan itu, besok Daddy akan benar-benar memberinya banyak pekerjaan agar berhenti menjahilimu seperti sekarang. Evans, kau tahu ini bisa berakibat fatal kan?" ucap Daddy mengancam, Ia beralih ke putranya, menatap Evans dengan iba kali ini, Ia tahu putranya tidak sengaja melakukan itu pada Hannah, hanya saja mengapa Ia bisa benar-benar bodoh menceburkan seorang gadis yang memiliki trauma terhadap air ke dalam kolam yang dalam?
Sebastian dan Diana meninggalkan kamar Evans setelah beberapa lama, mereka tahu kalau putranya perlu bicara kepada gadis yang sudah mereka anggap putrinya sendiri, dan keadaan Hannah sudah cukup membaik untuk kembali diajak berbicara. Kini hanya ada Evans dan Hannah di ruangan itu. "Hey, aku sudah tidak apa-apa" ucap Hannah lagi berusaha menenangkan, Ia melepaskan genggaman Evans pada tangannya. "Maafkan aku" akhirnya Evans menatap wajah Hannah tepat di matanya setelah sekian lama hanya menatap punggung tangan gadis itu. "Aku sudah tidak apa-apa Evans, sungguh"
"Aku... benar-benar sedang tidak fokus tadi. Jadi aku...." ucap Evans terputus. "Tak apa Evans" jawab Hannah lirih, tangannya Ia tumpukan pada bahu sebelah kiri Evans, berusaha menenangkan pria yang sedari tadi pasti begitu merasa bersalah padanya, Hannah mengusap-usap pundak pria itu pelan. Evans mengambil tangan Kanan Hannah dan menggenggamnya lagi. "Maafkan aku.. aku memang bodoh" ucapnya menunduk lagi, permukaan hidungnya menyentuh punggung tangan Hannah yang Ia genggang dengan erat. "Hei, that's fine, semuanya sudah terjadi, and I'm okay right now, kau bisa membelikanku es krim kalau kau memang benar-benar merasa bersalah padaku" ucap Hannah lagi sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. Pria di depannya mendongak, "Hei bukankah kau kedinginan? Sebaiknya istirahat saja lebih lama di sini. Jangan makan yang dingin-dingin dulu"
"Jadi kau tak ingin mengabulkannya? Bukankah es krim adalah makanan paling baik untuk menghilangkan stress? Aku jadi stress karena pingsan terlalu lama barusan" Ucap Hannah seolah dibuat-buat. Pria di depannya tersenyum, mengacak rambut gadis itu dan mulai bangkit dari tepi tempat tidur di mana Hannah berbaring.
"Baiklah.. aku akan mentraktirmu es krim paling besar dengan 10 scoops yang berbeda-beda rasanya" jawabnya
"Dengan topping yang juga berbeda-beda setiap scoopnya!" timpal gadis itu, "Kau ingin memerasku?" Ujar Evans yang hanya ditanggapi dengan tertawa oleh Hannah, Ia benar-benar merasa segar kembali kali ini. "Baiklah-baiklah, aku akan membelinya sekarang. Jangan pergi kemanapun" Ucap Evans akhirnya, Ia berlalu dan keluar dari kamar itu.
-To be continue...