Chereads / Ordinary Hannah / Chapter 8 - Broken Screen

Chapter 8 - Broken Screen

Kejadian beberapa hari yang lalu di rumah Evans tak membuat keduanya berjarak. Tidak ada yang berubah di antara Evans dan Hannah, yang ada Evans semakin sering memarkirkan mobilnya di Fakultas Sastra agar lebih banyak lagi kesempatan menemui dan mendatangi gadis itu untuk sekedar mengajaknya makan siang atau pulang bersama. Evans secara konsisten melakukannya selama beberapa hari belakangan setelah peristiwa Hannah yang tak sengaja Ia tenggelamkan sendiri ke kolam renang miliki pribadinya waktu itu. Evans masih merasa bersalah dan akibatnya semakin sering menanyakan keadaan gadis itu. Hannah tak keberatan dan tak pernah mempermasalahkan tingkah sahabatnya yang sudah Ia hafal setiap kali punya salah kepada dirinya.

Bagi seorang Evans, permintaan maaf dengan kata-kata takkan pernah cukup untuk menebus rasa bersalahnya sendiri kepada satu-satunya gadis yang menjadi sahabatnya, Ia selalu berupaya memberi waktunya semaksimal mungkin untuk memastikan kalau gadis itu benar-benar telah membaik. Walau terkadang Evans sering kali malah jadi mengganggunya, tetapi bagi Hannah itu juga suatu bentuk anugerah. Jika sudah seperti itu, Hannah akan berkali-kali dikirimi pesan singkat untuk menanyakan kabar atau sekedar memastikan apakah Hannah sudah makan atau belum, bahkan di jam-jam yang kadang tak masuk akal.

Hannah seringkali mematikan ponselnya ketika Ia akan pergi tidur atau sekedar ingin quality time sambil membaca buku setelah sampai di apartementnya, hal yang selalu Hannah lakukan sepulang bekerja part time yang Ia lakukan hingga larut malam sepulang kuliah. Jika seperti itu, maka tumpukan pesan dari Evans akan berebut masuk ke dalam aplikasi messenger Circle dan berbunyi secara bersamaan di pagi harinya saat Hannah menghidupkan ponselnya kembali. Atau seperti ketika Hannah kebetulan lupa mematikan data ponselnya sebelum tidur, benda itu berdenting berkali-kali menandakan kalau belasan pesan telah masuk ke Circle-nya di tengah malam atau bahkan pagi-pagi buta, tak kenal waktu.

Tak ada orang lain yang menghubunginya selarut itu jika bukan Evans namanya. Pria itu tak jarang belum tidur hingga larut malam karena harus membawa beberapa tugas kantornya ke rumah sesekali atau bahkan bekerja shift malam menyelesaikan aplikasi buatannya untuk perusahaan milik Ayahnya sendiri. Sama halnya seperti Hannah yang memiliki kesibukan bekerja di restoran cepat saji pada weekdays sepulang kuliah, Evans yang merupakan penerus perusahaan sesekali harus mengurus beberapa hal di kantor perusahaan jika ada proyek yang sedang dilakukan. Ditambah lagi kehadirannya di band FOX yang bahkan tak pernah absen di setiap kali mengadakan latihan atau penampilan yang justru semakin banyak penggemarnya. Bahkan Evans tak tahu akan sampai kapan menjadi anak band di usianya yang tak lagi muda. Bercanda, Evans masih berusia 21 tahun sama seperti Hannah.

Tak banyak hari di mana mereka bisa bertemu di kampus, selain karena jadwal yang berbeda, kesibukan di antara keduanya juga semakin bertambah akhir-akhir ini. Setelah melalui hari-hari pertamanya sebagai mahasiswa Sastra, Hannah mulai disibukkan dengan berbagai macam agenda dan juga deadline pengerjaan tugas kepenulisan. Ia mulai serius mendalami bidang yang sedang ia jalani saat ini, gadis yang selalu mengikat rambutnya bak ekor kuda itu membawa beberapa buku literatur tebal dari rak buku menuju ke bagian administrasi di perpustakaan fakultasnya. Hannah masih fokus memastikan kembali dan memilah buku mana yang akan Ia pinjam untuk minggu ini.

"Kau..." sapa seseorang yang tengah duduk di balik meja administrasi peminjaman buku.

"Kau gadis dengan ponsel yang harus diperbaiki waktu itu kan?" Lanjutnya, seorang pria tengah memperhatikan Hannah lekat seperti memastikan ingatannya sendiri. Hannah pun sebenarnya merasa familiar dengan suara itu, dilihatnya orang yang ada di depannya, Ia adalah pria yang waktu itu sempat bertemu dengannya dan memberikan sebuah kartu nama agar Hannah bisa meminta ganti rugi atas ponselnya yang rusak oleh gadis yang pria di depannya kejar. Apakah Ia berhasil menemukan gadis itu? Jika ingatannya baik, Erika nama gadis itu. Tapi Hannah melupakan di mana Ia menyimpan kartu nama itu, Ia tak menemukannya di tas yang Ia pakai terakhir kali.

"Aku menunggu-nunggu telpon darimu" ucapnya semangat setengah berbisik, seseorang yang duduk di sampingnya spontan melirik kepada pria yang Hannah kenali wajahnya barusan, kalimatnya ambigu, seolah-olah sedang mencoba untuk menggoda Hannah. Tak ingin disalahpahami, laki-laki itu cepat-cepat meneruskan kalimatnya dengan suara yang direndahkan "Apakah ponselnya sudah diperbaiki?" tanyanya kembali. Hannah memperhatikan penampilannya dan membandingkan dengan kali terakhir mereka bertemu. Kali ini Ia berpakaian cukup rapi selayaknya seorang Mahasiswa.

"Oh, ya, benar ponsel, itu.. aku belum sempat memperbaikinya. Tapi masih bisa berfungsi. Tak masalah" balas Hannah dengan merendahkan suaranya, jangan lupa kalau mereka sedang berada di perpustakaan.

"Boleh lihat ponselnya?" ucap pria itu lagi.

"Ya? Ini.." Hannah merasa hal itu cukup canggung, namun sepersekian detik berikutnya ponselnya telah berpindah tangan begitu saja, Hannah mau tak mau menyerahkan begitu saja ponsel yang sedari tadi ada di saku kanan cardigan berwarna navy yang saat ini Ia kenakan. Ponsel Hannah tampak berantakan dan tidak baik-baik saja di bagian layarnya, namun gadis itu lupa untuk mengurus ponselnya karena kesibukan kuliah yang beberapa waktu ini cukup menyita pikirannya.

Pria itu menunjukkan ponsel miliknya sendiri yang tengah bergetar, ternyata Ia memasukkan nomornya ke ponsel milik Hannah dengan cara menelepon nomornya sendiri agar Ia bisa tahu nomor gadis itu. "Hey, Kau masih menggunakan trik murahan itu untuk merayu junior?" ucap pria di sebelahnya menyambar.

"Junior?" Hannah merasa sedikit terkejut dan baru menyadarinya. Benar, Ini adalah perpustakaan milik Fakultas Sastra, tentu saja orang-orang yang berkunjung ke sini sebagian besar berasal dari Fakultas Sastra sendiri, dan kemungkinan besar dua orang di hadapannya adalah mahasiswa dari Jurusan Sastra yang memang sedang magang di perpustakaan.

Hannah menerima ponselnya kembali, membaca kontak yang pria itu buat, LUCAS, pria itu menamai kontaknya dengan singkat dan jelas menggunakan capslock di setiap hurufnya. "Maaf karena melakukannya, aku hanya ingin bertanggung jawab atas perbuatan Erika waktu itu. Aku tidak akan tenang jika belum menyelesaikannya, kuharap kau mengerti" imbuhnya lagi dengan ramah dan tulus, mengabaikan ucapan teman sesama petugas administrasi yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan kedua orang itu.

"Oh, aku Lucas, mahasiswa Sastra Inggris tahun ketiga, kau juga berkuliah di jurusan ini kan?" tanyanya. Hannah mengangguk sambil menyapa.

"Maaf Senior, saya tidak mengenali Anda" balas Hannah canggung.

"Panggil saja Lucas, dan ini Rody teman sekelasku" balas Lucas ramah diikuti dengan Rody yang menyambut jabatan tangan Hannah padanya.

"Bukankah lebih baik aku menggantinya dengan yang baru? Itu terlihat cukup parah" ucap Lucas kembali membahas tentang ponsel.

"Oh, tidak usah, ponselnya baik-baik saja, hanya bagian layarnya saja yang perlu diperbaiki" ucap Hannah tak enak hati.

"Kalau begitu aku akan menunggunya" balasnya lagi.

"Baiklah, aku akan menghubungimu segera Senior Lucas, terima kasih atas bantuannya" ucap Hannah akhirnya, lalu menyerahkan buku-buku yang akan Ia pinjam sebelumnya kepada Lucas untuk diberi stempel peminjaman.

.

.

.

.

-At Restaurant-

Hannah kini telah sampai di restoran cepat saji di mana Ia bekerja. Hari ini Ia sama sekali tak bertemu dengan Evans di kampus, pria itu juga belum menghubungi Hannah seharian, apakah siklusnya telah berhenti? Syukurlah, pria itu akhirnya mengakhiri perasaan bersalahnya setelah sekian lama.

Hannah mengganti pakaian dan meletakkan seluruh barang bawaannya dari kampus ke dalam loker khusus pekerja, Ia mencepol rambutnya dengan menyisakan sedikit anak rambut di bagian sisi-sisinya. Ponsel Hannah berdering, Ia mendapati pesan dari seseorang. Itu adalah pesan pertama dari Lucas, Ia mengirimkan alamat reparasi ponsel rekomendasinya ke Circle Hannah. Baiklah, pria itu benar-benar niat untuk bertanggung jawab atas barang yang dirusakkan oleh Erika yang sampai sekarang belum jelas siapa dan Hannah tak ingin ambil pusing. Hannah memasukkan kembali semuanya ke dalam loker dan mulai bekerja.

"Aku ingin cheese burger dengan double patty dan cola ukuran big" ucap salah seorang pelanggan yang mendapat gilirannya. "Apa kau habis tak makan berhari-hari?" sela seorang wanita di sampingnya yang kemudian menatap dan menyapa Hannah. Wanita itu mengenali sosok Hannah.

"Oh Hannah? Kau bekerja di sini?!" ucapnya tak menyangka. Itu Audrey, wakil ketua Klub Volunteer di kampusnya. Gadis itu benar-benar supel karena begitu cepat mengenali wajahnya di antara banyaknya anggota baru Klub yang bergabung.

"Klub Volunteer?" timpal Nicholas.

"Em' dia mahasiswa tahun pertama anggota Klub baru kita" jelas Audrey antusias.

"Hannah, kau tahu ketua klub yang tak terlihat batang hidungnya di pertemuan pertama kan? Dia orangnya, Nicholas" jelasnya lagi sambil memijit-mijit bahu pria di depannya.

"Ah, salam kenal, saya anggota baru, Hannah" ucap Hannah sopan menyapa Nicholas, melihat antrean yang cukup banyak di belakangnya, Hannah merasa khawatir dan dengan tak enak hati ingin mengutarakannya kepada kedua Senior dari Klub Volunteer-nya itu. Namun Nicholas adalah orang yang peka, Ia menyadari hal itu lebih dulu dan segera menanyakan pesanan Audrey.

"Ah, ya. Kita akan sering-sering bertemu di Klub. Hey Drey, cepat katakan pesananmu" balasnya kemudian menoleh kepada Audrey yang terburu-buru memesan menu yang ingin Ia makan.

.

.

.

.

-Pukul 10.15 p.m-

Hannah membersihkan beberapa meja dan merapikan kursi-kursi di sana, Ia hanya bekerja sampai 10.30 malam. Sebentar lagi pergantian shiftnya, pekerjaan Hannah telah selesai. Lonceng di depan pintu berbunyi menandakan ada pelanggan baru yang datang. Dilihatnya seseorang tengah berdiri di ambang pintu, penampilannya sangat menonjol dengan postur tubuh Evans yang tinggi dan rajin berolah raga. Evans mengayunkan kedua tangannya di atas kepala menyapa gadis itu. Pria itu menghampiri sahabatnya dan langsung menyambar kain lap yang ada di tangan Hannah.

"Ya!" ucap Hannah terkejut.

"Bukankah 15 menit lagi selesai. Aku yang akan menggantikanmu, bergantilah duluan" jawab Evans semaunya, Ia mengelap beberapa cipratan bekas cola di atas meja tak beraturan. "Aku tidak ingin korupsi waktu, jadi cepat berikan lapnya sebelum Manager datang" Evans kemudian mengangkat kain itu tinggi-tinggi, tentu saja Hannah tak akan bisa menggapai tangan Evans yang panjang itu. Ia menyerah lebih dulu dan duduk di depan pria itu melipat kedua tangannya kesal, Hannah cukup lelah untuk bercanda saat ini dan Evans tahu sekali. "Baiklah, aku akan duduk di sini dan memesan sesuatu sampai kau selesai" ucapnya menyerah sendiri.

"Em' terima kasih Evans" balasnya letih. Evans hanya bisa memperhatikan gadis itu menyelesaikan sisa pekerjaannya dari tempatnya duduk. Sebenarnya, sahabatnya tidak harus bekerja sekeras ini, Hannah berkecukupan, dan Ia memiliki cukup banyak uang untuk berkuliah saja. Kalaupun gadis itu kesulitan biaya, tentu saja Evans dan keluarganya tidak mungkin membiarkan itu sampai terjadi berlarut-larut. Evans tahu kalau bukan karena uang alasannya. Pria itu hanya bisa mengawasi setiap apa yang Hannah coba kerjakan dari kejauhan seperti sekarang.

"Sudah selesai? Ayo!" ucap Evans lega, kini Hannah telah menyelesaikan shiftnya dan telah berganti pakaian. Mereka berdua memasuki mobil Evans.

"Kau terlihat sangat kelelahan, kantung matamu juga seperti Panda yang lembur menonton drama Korea 100 episodes" kata Evans sambil memperhatikan Hannah di sebelahnya, Ia baru akan menghidupkan mesin mobilnya.

"Tidak ada drama Korea sepanjang 100 episodes yang pernah kutonton" jawab Hannah, "Lagian, Panda tidak suka menonton serial" imbuhnya lagi.

"Tidak bisakan berhenti saja?" ucap Evans kemudian. Hannah hanya bisa menggeleng lemah, dan tersenyum sambil memejamkan mata. Evans menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu sayang.

"Kau ingin kita makan apa malam ini?" tanya Evans, Ia tahu benar permohonannya sebelumnya tak mudah untuk Hannah kabulkan.

"Bukankah terlalu malam untuk makan sesuatu?" balas Hannah serius.

"Kau tak lapar?" Hannah lalu nyengir ditanya begitu. Tentu saja Ia lapar, Ia ingin segera memenuhi perutnya sekarang juga, ingin makan makanan yang enak dan juga sehat tentunya, Evans paling ahli dalam memilihkan restoran dengan menu makanan sehat yang rasanya juga tak perlu diragukan.

"Kita berdua tahu kalau gadis sepertimu tak akan gendut jika itu yang khawatirkan" ucapnya mencemooh, sebenarnya itu sebuah pujian karena Hannah tidak gampang gendut.

"Ya! Kau meledekku?" balas Hannah pura-pura kesal. Evans balas tertawa sambil melajukan mobilnya pesat ke tempat makan yang biasa mereka kunjungi.

.

.

.

.

-At Restaurant-

"Evans, kau tadi datang dari kampus?"

"Em' aku berlatih dengan teman-teman band FOX beberapa kali"

"Larut sekali, bukankan sebaiknya kau juga istirahat? Apakah proyeknya sudah selesai? Kau menyelesesaikan semuanya dengan baik lagi kan?"

"Tentu saja, aku bisa melakukan segalanya secara bersamaan" jawab Evans dengan kepercayaan diri yang penuh sambil mengangkat gelas minumannya yang tinggal setengah, Hannah kemudian mencibirnya.

"Kau akan sakit kalau terus-terusan seperti ini"

"Tubuhku sangat kuat dan aku rajin berolah raga, tidak seperti seseorang yang bekerja dengan sangat keras padahal tidak perlu, dan bahkan sama sekali tidak pernah olah raga" timpal Evans menceramahi

"Ya ya ya, aku akan berhenti jika sudah saatnya" ucap Hannah jengah, Ia sudah berulang kali dinasehati Evans hal yang itu-itu saja dan Evans selalu mendengar jawaban yang sama setiap kali Ia bertanya. Gadis paling keras kepala yang pernah Evans kenal, Ia sama sekali tak memikirkan kesehatannya. Bukankan Hannah dari keluarga yang berlatar belakang dokter? Harusnya Hannah tahu betul kalau Ia tak boleh bekerja secara berlebihan seperti itu. Tapi Evans mengerti, gadis itu lebih membutuhkan mempertahankan kesehatan mentalnya dibanding memperhatikan fisiknya. Evans hanya bisa memaklumi.

Evans menghembuskan nafasnya, "Cepat habiskan".

"Aku akan tambah lagi setelah ini" ucap Hannah semangat.

"Kau akan jadi benar-benar seperti panda jika makan banyak sekaligus" cibir Evans lagi

"Kalau begitu Kau akan menemaniku jadi panda bersama-sama di kebun binatang" balas Hannah tak mau kalah.

"Tak akan terjadi".

-To be continue...