Sisa bala tentara Medang bergerak menuju Kahuripan.
Sepanjang jalan Airlangga terus merenung. Ia sudah gagal. Dan mungkin akan jatuh lebih dalam lagi, apabila Sriwijaya berhasil mengejar rombongannya. Maka si suatu tempat peristirahatan ia naik ke sebuah batu untuk memberi pengumuman.
"Dengarlah wahai laskar yang kesetiaannya tak perlu diragukan lagi. Bila saya memerintahkan untuk menyerbu alam baka, saya yakin kalian tak akan segan melaksanakannya. Tapi jelas saya tidak akan memerintahkan hal semacam itu. Yang saya inginkan agar kalian pulang, berkumpul bersama sanak keluarga yang menanti di rumah."
Seketika kehebohan merebak.
Dari jendral hingga prajurit rendahan, mereka ternganga lebar.
"Tidak bisa, Sri Raja! Bukankah ekspedisi militer ini tak akan berhenti sebelum kita menggantung Aji Wurawi?!" seru seorang jendral dengan lancangnya.
Airlangga jadi teringat sumpah yang pernah ia lontarkan, sehingga ia menjadi malu karena tak mampu memegang ucapannya sendiri.
"Saya… tidak mau kalian mendapat petaka."
"Kami tak peduli!" seru seorang lagi, kali ini dari kalangan prajurit rendahan. "Kita tak boleh membiarkan pengorbanan teman-teman berakhir sia-sia!"
"Absurd!" hardik Airlangga. Kemarahan tergambar di wajahnya. "'Sudah tanggung', 'tak mau menyia-nyiakan', pada akhirnya pemikiran-pemikiran seperti itu yang membuat kita makin terperosok. Sudah kehilangan kambing, apa masih mau kehilangan kandangnya? Kalian harus belajar kapan waktunya berhenti!"
Seandainya saja pemuda itu berhenti setelah mengusir Aji Wurawi dari Lewa, tentunya musibah ini tak perlu terjadi. Atau kalau ia puas dengan apa yang ia miliki, dan tak menuruti ambisinya…
"Mulai saat ini," Airlangga menarik napas dalam-dalam. "Saya akan kembali menjadi pertapa. Kalian menyebarlah agar Sriwijaya tak bisa menemukan kalian."
Pemuda itu turun dari podium tanpa mengindahkan protes yang terus dilayangkan. Bahkan Hasin terlihat hampir menangis. Pria yang akhirnya menemukan tujuan hidup itu sekali lagi harus kehilangan. Bisa-bisa ia mulai merampok seperti dulu.
Sri Dewi mencoba berkata sesuatu, tapi Airlangga mengibaskan tangannya.
"Sekarang aku bukan raja, kau terbebas dari tanggung jawabmu sebagai pengawal."
Pemuda itu segera pergi meninggalkan bala tentara yang masih kebingungan. Usai sudah mimpi menyatukan Tanah Jawa yang indah itu.
***
Beberapa minggu kemudian.
Airlangga berjalan ke utara sampai Desa Patakan, sebuah desa yang cukup terpencil hingga tak seorang pun mengenali dirinya. Dengan hati gontai ia menetap di sana, berencana memulai pertapaan—andai saja Narotama dan Sri Dewi tak membuntutinya. Kedua orang itu terus memaksa meski sudah dilarang.
Airlangga berlari secepat mungkin, tapi mustahil mengalahkan Narotama yang menguasai ajian Bayu Senja. Pemuda itu juga pernah mencoba kabur saat mereka tidur, tapi Narotama dan Sri Dewi selalu jaga bergantian.
Akhirnya mereka tinggal di sebuah pondok kecil di tepi sungai yang dibangun oleh Narotama.
"Menyebalkan."
Saat Narotama keluar, Sri Dewi akan berjaga. Begitu juga sebaliknya. Sang mantan raja pun merasa seperti tahanan.
Kemudian pintu diketuk saat Airlangga sedang bermeditasi.
"Sri Raja, saya mendapat kabar dari Watan Mas!" Suara Narotama. Airlangga tak menjawab. Akhirnya pria itu melanjutkan, "Dyah Tulodong mengeksekusi para pejabat dan menggantikan mereka dengan anak buahnya."
Mendadak barisan wajah pejabat-pejabat ibukota itu melintas di benak Airlangga. Berarti saat ini mereka sudah tiada.
Tapi itu wajar. Setelah pemerintahan Dyah Tulodong stabil, tidak ada lagi yang akan dieksekusi.
Namun, samar-samar sang mantan raja mendengar suara tangisan Sri Dewi. Mungkin gadis itu mendengar sesuatu mengenai keselamatan ayahnya.
Airlangga jadi khawatir.
Kini ia susah konsentrasi.
Ia ingin pergi keluar.
Pemuda itu bangkit. Ia membuka pintu, lalu menyalakan Asto Broto. Ia segera berlari secepatnya meninggalkan Narotama dan Sri Dewi. Begitu ajiannya selesai, ia memaksa diri menyalakannya lagi. Begitu terus sampai ia kehabisan tenaga. Beruntung jejaknya sudah lumayan jauh. Ia mau menikmati waktu sendirian sebelum Narotama menemukannya.
Airlangga berjalan santai menikmati barisan rumpun bambu yang bergesekan tertiup angin. Dua ekor kadal berlarian di semak-semak hendak memadu asmara. Ada pohon ceri liar yang buah-buahnya merah merona. Pemuda itu pun melompat-lompat untuk memetiknya, kemudian menikmati rasanya.
Damai sekali.
Di depan sana ada sebuah kedai tuak. Kebetulan tenggorokan Airlangga kering. Ia memutuskan mampir untuk melepas dahaga.
"Salam!" ujarnya. Ia mengenakan kain yang menutupi guratan rajah getih anget pada lengannya.
"Salam, Pertapa!" balas di pemilik kedai. "Ada yang bisa saya bantu, Pertapa?"
"Kalau Kisanak tak keberatan, saya ingin barang seteguk air."
"Silakan duduk, Pertapa. Akan saya ambilkan."
"Terima kasih, Kisanak."
Airlangga mengambil meja yang paling pinggir. Ia menerima gelas tembikar dan satu kendi air. Ia segera menenggaknya. Segar.
Di meja seberang ada tiga orang pria yang tengah minum tuak. Mereka berbicara keras sambil sesekali tertawa tidak karuan. Masih siang sudah mabuk.
Tapi, samar-samar sang mantan raja merasa wajah ketiga orang itu cukup familier. Ada pria berwajah sangar yang sepertinya pemimpin mereka, dilayani oleh seorang jangkung dan seorang gempal. Karena penasaran, Airlangga terus mengamati. Seperti ada perasaan mengganjal yang tak mau hilang sebelum ia berhasil ingat.
Si pemimpin yang berwajah sangar itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan. Ia balas memelototi Airlangga. Tampaknya ia juga merasa tidak asing.
"Sri Raja!" cetusnya tiba-tiba sambil membelalak lebar.
Memori Airlangga segera terhubung. Ia ingat. Pria itu adalah Ki Jago, dan kedua anak buahnya bernama Culeng dan Kemplo. Mereka adalah begundalnya Aji Wurawi yang dulu mengejarnya sampai Gunung Penanggungan!
Sang mantan raja ikutan membelalak lebar. Ia tak mengira utusan Aji Wurawi berhasil menemukannya.
"Tunggu! Saya sudah bukan Sri Raja!" teriak Airlangga. "Tolong jangan laporkan saya pada Aji Wurawi!"
Ki Jago Jago terenyak. Ia terlihat kebingungan, begitu juga Culeng dan Kemplo.
"Baik," ujarnya seraya menganggukkan kepala.
"Terima kasih," balas Airlangga. Pemuda itu pun bernapas lega. Tapi ia segera berpikir. Mana mungkin ia dibiarkan lolos semudah itu? Ki Jago pasti cuma pura-pura. Setelah ini begundal tersebut akan melapor pada para prajurit Sriwijaya. Ia tak bisa membiarkannya!
Airlangga langsung melompati meja, kemudian menapak punggung Culeng dan Kemplo bersamaan. Keduanya terpelanting akibat energi serangan tersebut.
"Hei! Hei! Apa-apaan ini!" Ki Jago buru-buru memasang kuda-kuda silat.
"Kau begundalnya Aji Wurawi! Aku tak akan percaya padamu begitu saja! Aku harus membungkammu di sini, sekarang juga!"
Airlangga menerjang. Ki Jago berusaha menangkis. Tapi cukup dengan tiga jurus, sang mantan raja berhasil membanting begundal itu ke tanah. Airlangga yang sekarang bukan lagi Airlangga yang dulu.
Ia mencekik leher Ki Jago untuk menguncinya, lalu menyiapkan tangan yang lain untuk memberi serangan penghabisan.
"Tunggu! Jangan bunuh saya!" jerit Ki Jago. "Saya bukan begundalnya Aji Wurawi!"
"Bohong!"
"Serius! Saya—" Pria itu ragu sejenak. Ia teringat janjinya pada Narotama. Namun, nyawanya akan melayang kalau ia tak menjelaskan. "Saya suruhan abdi Sri Raja! Narotama yang meminta saya bersandiwara menyerang Gunung Penanggungan waktu itu!"
Airlangga mematung.
"Be—benar, kan?" Ki Jago menoleh ke samping. Narotama dan Sri Dewi baru saja tiba. Narotama menelan ludahnya.
"Benar begitu, Mpu?" tanya Airlangga memicingkan sebelah matanya.
Narotama menelan ludah lagi.
"Jadi selama ini Mpu menipu saya?"
Narotama berdeham.
"Saya—saya dimanipulasi???"
"Aaa…" Narotama menggaruk-garuk keningnya.
"Padahal perang ini tak perlu terjadi kalau saya tetap jadi pertapa!"
"Haha—hehehe…"
Airlangga melepas cekikannya pada Ki Jago. Ia berjalan mundur. Napasnya berat. Ia tidak tahu lagi mana yang benar. Seluruh hidupnya seperti kebohongan.
"Sri Dewi… Sri Dewi, apa kau juga menipuku? Kau bekerja sama dengan Narotama?" tudingnya.
"Tidak, Sri Raja, saya tidak tahu apa-apa!"
"Bohong!"
"Dia benar, dia cuma tidak sengaja berada di sana saat saya menjalankan sandiwara itu," ujar Narotama.
"Cukup… sudah cukup… saya berhenti… benar-benar berhenti!"
Narotama meringis. Akhirnya ia mendesah. Ia berjalan mendekati Airlangga sembari mengeratkan kepalan.
"Mpu mau apa lagi?" teriak Airlangga.
"Menghajarmu!" Narotama menonjok hidung Airlangga. Darah segar langsung meleleh dari sana. "Dasar anak manja! Anak penakut! Anak lemah! Anak bodoh! Anak payah!" Narotama meninju pipi Airlangga sekali lagi hingga pemuda itu terpelanting. "Kau pikir aku tidak capek mengurusmu selama ini?! Kau pikir bisa bertahan hidup kalau waktu itu aku meninggalkanmu?! Kau pikir berapa banyak orang yang mati waktu bertapa, sementara kau satu-satunya pertapa yang punya perut buncit?!"
Airlangga tergeletak. Hidung dan pipinya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih teriris-iris. Akhirnya Narotama melakukan hal yang selama ini paling ditakuti Airlangga. Yakni melontarkan fakta bahwa pemuda itu adalah orang yang tidak berguna—yang tak pernah berani ia akui.
"Benar, yang aku lakukan di Gunung Penanggungan adalah sandiwara, tapi sisanya nyata! Penderitaan rakyat itu nyata! Perjuangan kita juga nyata! Aku cuma… aku cuma memantik api. Tapi kebakarannya sungguhan!"
Airlangga tak yakin jika Narotama menggunakan analogi yang tepat.
"Kenapa harus aku…"
"Karena kau yang terlahir dengan privilese! Kau pikir sembarang orang kampung bisa tiba-tiba menggalang pasukan untuk membebaskan rakyat?!"
Airlangga mulai sesenggukan mengakui kebenaran pria itu.
"Tapi… aku juga salah, memaksa-maksamu begini." Narotama mendekati rajanya. "Kemarilah." Ia memeluk kepala Airlangga, lalu mengelus-elus rambut pemuda tersebut. "Maafkan keegoisan saya. Saya cuma abdi yang hina, dan mungkin akan tetap demikian sampai mati. Jadi saya pikir dengan melayani Sri Raja sepenuh hati, setidaknya akan memberi hidup saya sedikit arti.
"Lalu saya mulai berambisi. Kalau saya bisa mengubah Sri Raja jadi raja yang hebat, maka nama saya akan ikut tercatat dalam sejarah Medang. Bisa dibilang, saya ikut diuntungkan atas situasi yang diciptakan Aji Wurawi. Tapi ternyata semua tak semudah yang diharapkan.
"Saya tak akan meminta apa-apa lagi. Sri Raja jalanilah hidup seperti yang Sri Raja inginkan. Dengan kemampuan silat dan kanuragan Sri Raja sekarang, saya yakin Sri Raja akan baik-baik saja. Lihat itu, Ki Jago saja hampir mampus Sri Raja buat. Hahaha."
Tangis Airlangga pun mengalir. Emosinya campur aduk terhadap sang pelayan, pengasuh, sekaligus tukang manipulasi itu.
Namun, setidaknya kali ini Narotama jujur. Tiada ada lagi yang disembunyikan di antara mereka.
Bahkan sang pemilik kedai ikut menitikkan air mata menyaksikan drama tersebut.
***
Airlangga, Narotama, dan Sri Dewi memutuskan untuk menghabiskan malam terakhirnya bersama, lalu menjalani kehidupan masing-masing keesokan hari. Narotama belum tahu mau berbuat apa, sementara Sri Dewi hendak pergi ke Watan Mas mencari ayah dan adiknya.
Ketiganya sama sekali tak saling bicara hingga terlelap. Sudah lama mereka tak tidur seperti itu. Narotama dan Sri Dewi sudah tak peduli meski Airlangga menyelinap keluar saat mereka tidur. Sang mantan raja juga jadi santai karena tak diawasi.
Fajar pun menyingsing.
Narotama terbangun oleh kokok ayam jago. Semalam ia bermimpi cukup panjang. Entah kenapa ia memimpikan perjalanan hidupnya selama ini. Mungkin itu adalah rangkuman penutup dari kisahnya sebelum beralih menjadi rakyat biasa. Ia tak perlu lagi memikirkan nasib Tanah Jawa.
"Mpu, saya kira Mpu akan tidur selamanya! Cepat, kita tak punya waktu!" ujar Airlangga, sudah berpakaian rapi. Sri Dewi berdiri di sampingnya. Gadis itu membawa tombak dan memanggul perisai.
Narotama mengucek-ngucek mata.
"Buat apa cepat-cepat?"
"Karena kita tak bisa membiarkan Dyah Tulodong memporak-porandakan Watan Mas lebih lama lagi!"
"Mohon maaf jika saya lancang, tapi saya harus menyelamatkan ayah saya," kata Sri Dewi.
"Apa ini? Kalian bercanda, ya?"
"Hmm… semalam saya berpikir sebelum tidur," Airlangga mengusap-usap tengkuknya. "Kalau Mpu melayani saya karena ingin memiliki arti… saya juga menjadi pertapa bukan karena suka tapi karena tidak punya nyali. Itu cuma alasan untuk sembunyi. Pertapaan saya sangat tidak tulus. Oleh karena itu, sekalipun kelak menjadi pertapa, saya ingin melakukannya karena memang ingin bertapa, setelah semua urusan duniawi ini selesai."
Narotama terenyak. Lalu ia lompat dari posisi berbaring. Pria itu mengambil semua perlengkapannya, kemudian berseru dengan menggebu.
"Ayo berangkat, Sri Raja!"