Chereads / Airlangga Sang Maharaja / Chapter 27 - Bab 27

Chapter 27 - Bab 27

Berita mengabarkan Dyah Tulodong memulai ekspedisi militer dengan kekuatan tak kurang dari delapan ribu tentara. Sri Dewi segera melaksanakan tugasnya sebagai seorang ratu. Ia bergerak cepat memimpin lima ribu prajurit Kahuripan untuk menghalau serangan Lodaya. Mereka harus bisa bertahan, setidaknya sampai Airlangga tiba membawa bantuan dari Bedahulu.

Posisi Kahuripan diapit oleh dua aliran Bengawan Brantas—satu arus utama, dan satunya adalah anak sungai. Narotama menduga Dyah Tulodong akan membawa pasukannya menyebrangi anak sungai yang dangkal. Oleh sebab itu ia meminta Hasin mengarahkan pasukan mereka ke sana. Dan benar saja. Tak lama setelah mereka tiba di satu tepi sungai, Dyah Tulodong tiba di tepi lainnya.

Sri Dewi mengenakan gaun perang, duduk di atas kudanya dengan gagah. Ia dan seluruh pasukannya yang berbaris rapi seolah sudah siap menyambut sang lawan.

Dyah Tulodong pun tampak sedikit kaget, kemudian tersenyum pongah seperti biasa.

"Di mana Airlangga? Raja kalian!" seru wanita itu.

"Kau belum pantas bertemu dengan raja kami, jadi biar kami saja yang mengusirmu kembali ke Lodaya!" teriak Narotama sembari menuding-nudingkan telunjuk.

Dyah Tulodong mengernyit. Ia tahu dirinya datang terlambat. Andai saja pasukannya mencapai sungai sebelum tentara Kahuripan, tentunya mereka bisa menyebrangi anak sungai yang dalam hanya serusuk pria dewasa. Atmosfer udara lekas dipenuhi ketegangan. Baik kedua bala tentara saling melempar tatapan membunuh, yang kalau tak dihalangi aliran air pasti sudah memicu pertumpahan darah.

"Sri Ratu, apa titah Sri Ratu?" tanya Nayaka, seorang Amanusa sekaligus panglima perang Lodaya. Ia adalah wanita dengan postur tubuh yang sangat tinggi bahkan melebihi laki-laki pada umumnya. Otot lengan maupun kakinya begitu kokoh, memberinya kemampuan melempar lembing yang tiada banding.

Dyah Tulodong menimbang-nimbang sejenak. Biar bagaimanapun jumlah prajurit Kahuripan lebih sedikit daripada Lodaya. Tidak ada salahnya mencoba.

"Sebrangi sungai."

"Baik, Sri Ratu." Nayaka menghadap ke arah seluruh prajuritnya yang telah berbaris rapi. "Sungai ini tak akan menghentikan kita!" Wanita itu mengangkat tombaknya. "Serbu!"

Wanita itu turun ke air, diikuti ratusan orang yang berlomba-lomba menyusulnya. Mereka berjuang melawan aliran sungai agar tidak terseret arus. Sementara yang memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi berlarian di permukaan air.

Hasin tak memerintahkan pasukannya untuk turut terjun. Sebaliknya, mereka menjaga barisan di tepi sungai. Begitu pria itu memberi aba-aba, ratusan infantri Kahuripan melempari pasukan Lodaya dengan tombak.

Prajurit-prajurit yang berada di dalam air itu pun kesulitan menghindar. Mereka menjadi sasaran empuk hingga sungai mulai berwarna merah.

Nayaka yang bertubuh tinggi bisa bergerak dengan cukup leluasa. Ia menangkis tombak-tombak yang melesat ke arahnya. Ia bertekad untuk segera menghabisi para petinggi Kahuripan. Tapi tiba-tiba seruan perintah datang dari baris belakang. Ia menoleh, dan mendapati sebagian besar prajuritnya masih tertinggal. Selain itu Dyah Tulodong yang memantau dari kejauhan menyerukannya untuk mundur. Sang ratu menilai bahwa pengorbanan ini tak sepadan. Kalau diteruskan, mereka akan kehabisan pasukan ketika berhasil mencapai sebrang.

Sang panglima pun berbalik dengan sengit. Terlebih saat ia mendengar tentara Kahuripan bersorak penuh kemenangan.

Setelah seluruh pasukannya kembali ke darat, Dyah Tulodong kembali memutar otaknya. Ia harus menemukan cara untuk menyebrang. Apalagi ia merasa was-was sebab tak melihat sosok Airlangga di mana pun.

***

Sri Dewi menelan ludahnya. Untuk saat ini mereka bisa memukul mundur pasukan Lodaya. Tapi firasatnya berkata tak akan lama.

Gadis itu turun dari kuda, lalu menemui para petinggi pasukannya.

"Wahai Rakryan Kanuruhan, Senapati, juga para jendral, menurut saudara-saudara apa langkah yang sebaiknya kita ambil?"

Orang-orang itu membisu. Mereka masih belum terbiasa menerima perintah dari seseorang yang sampai beberapa waktu lalu hanyalah pengawal pribadi sang raja.

"Saya buatkan peta supaya kita bisa membayangkan." Narotama memecah keheningan. Ia menggambar aliran Bengawan Brantas dan posisi kedua pasukan di tanah.

"Saya rasa saat ini kita memiliki keunggulan," ujar Niti. "Kita bisa terus bertahan hingga Sri Raja kembali."

Beberapa jendral mengiyakan, mengutarakan kesepakatannya.

Sri Dewi melirik ke arah tentara Lodaya di sebrang sungai. "Saya tidak yakin."

"Maksudmu?!" hardik Hasin. Tapi ia segera sadar dirinya dipelototi Narotama. Ia cepat-cepat mengulang ucapanya dengan nada suara lebih lunak. "Maaf, maksud saya, apa maksud Sri Ratu?"

Sri Dewi juga agak canggung. Padahal ia merasa lebih nyaman bila para jendral itu berbicara biasa saja padanya.

"Saya juga tidak tahu, Senapati. Hanya saja saya merasa menunggu diam seperti ini adalah ide yang tidak baik."

"Mungkin karena kita tak akan bisa tidur sebelum yakin lawan kita benar-benar hancur," timpal Narotama sembari mengetuk-ngetukkan kayu ke tanah. "Selama mereka masih hidup, bahaya terus mengancam."

Niti mengerutkan keningnya. "Anda ingin kita menyerang mereka?"

"Kadang menyerang adalah pertahanan terbaik," jawab Narotama.

Orang-orang kembali hening, berusaha mencerna maksud pria tersebut. Mereka juga memikirkan cara menyerang yang mungkin dilakukan, sebab menyebrangi sungai jelas upaya sia-sia.

Sri Dewi menatap ke sungai lagi. Ia memperhatikan alirannya, lalu melempar pandangan ke arah hilir. Gadis itu berpikir sembari menggigit bibir bawahnya.

"Maaf... Mpu, apakah kita bisa membawa sebagian pasukan ke arah hilir, sekitar setengah hari perjalanan jauhnya?"

"Yang benar saja!" respon Hasin. "Aduh, maaf, maksud saya, saat ini jumlah kita sudah sedikit, apakah bijaksana bisa membagi pasukan lagi?"

Sri Dewi mengambil sebuah ranting, lalu menggambar di atas peta yang dibuat Narotama.

"Kita sisakan infantri di sini untuk membuat Dyah Tulodong mengira kita tidak ke mana-mana. Kemudian kita bawa sebagian pasukan ke arah hilir untuk menyebrangi sungai tanpa mereka ketahui. Setelah itu kita serang perkemahan mereka di malam hari."

Narotama cukup terpukau, dan ia memang menyukai aksi.

"Saya rasa kita bisa melakukannya. Bukankah begitu, Senapati?"

Hasin menggaruk-garuk dahinya, lalu mengangguk.

***

Di sisi lain sungai, Dyah Tulodong tengah bergumul bersama selir-selirnya. Ia memiliki tenda yang sangat nyaman untuk melakukan aktivitas tersebut. Mereka mendesah dan tertawa lepas dalam penjagaan para Amanusa di sekitar tenda. Namun, sang ratu sama sekali tak melupakan tanggung jawabnya. Ia hanya butuh pelampiasan agar otaknya tidak meledak memikirkan jalan keluar untuk mengalahkan Sri Dewi.

Saat perhelatan panas itu usai, hari sudah petang. Dyah Tulodong keluar dari tenda dengan tubuh bersimbah keringat. Tetapi sorot matanya begitu jernih dan tajam. Ia sudah mendapat inspirasi yang ia cari.

"Nayaka kesayanganku," ujarnya pada sang panglima yang dengan setia menanti di luar tenda. "Nyalakan api unggun sesuai jumlah pasukan yang kita miliki. Kemudian gerakan sebagian besar prajurit ke hilir!"

Sang panglima menatapnya dengan sedikit tanda tanya. Wanita itu pun menambah penjelasan.

"Kita buat seolah perkemahan ini masih dihuni, sambil diam-diam ke hilir untuk menyebrangi sungai. Kemudian kita kejutkan mereka dengan serangan mendadak."

"Saya mengerti."

Seperti yang sang panglima harapkan dari ratunya. Sebuah langkah yang begitu cerdas dan berani. Wanita itu segera mengerjakan apa yang diperintahkan. Sementara Dyah Tulodong menyeringai ke arah perkemahan Kahuripan di sebrang sungai. Kemenangan yang waktu itu gagal ia raih akan ia dapatkan kali ini.

Tak butuh waktu lama bagi bala tentara Lodaya mengatur dirinya. Setelah api-api unggun dinyalan, pelan-pelan mereka mundur ke hutan lalu berjalan mengikuti aliran sungai ke hilir. Mereka hanya menyisakan seribu orang untuk bersandiwara menipu lawannya.

***

Bulan semakin tinggi dan Sri Dewi harus memimpin pasukannya berjalan ke arah hilir. Binatang-binatang malam bersahutan, sementara suara aliran air yang jernih terasa menenangkan. Pantulan indah cahaya bulan pada permukaan air terus menarik perhatian gadis tersebut.

Ia dan juga semuanya sama sekali tak tahu bahwa Dyah Tulodong juga memikirkan taktik yang sama. Mereka bergerak dengan tenang, tidak akan mengira bahaya sedang mengancam.

Sampai Sri Dewi terbelalak melihat apa yang sedang berenang-renang di sungai.

***

Bala tentara Lodaya berhasil menyebrangi sungai. Meski harus berhadapan dengan dingin yang menusuk, mereka sama sekali tak beristirahat. Rombongan itu segera melanjutkan perjalanannya ke hulu, menuju perkemahan tentara Kahuripan. Sang ratu ingin menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar menyingsing, saat musuh-musuhnya masih tertidur pulas.

Mereka mengendap-endap seperti binatang buas yang sedang melakukan perburuan. Begitu perkemahan terlihat, Nayaka memberi aba-abanya. Ribuan tentara itu segera menyerbu. Mereka merangsek ke tenda-tenda dan api unggun… yang kosong. Mereka merobek tenda dan menyisir tiap titik api, tapi tak ada seorang pun di sana. Kecuali sekelompok kecil infanteri yang berjaga di tepi sungai.

Sisa prajurit Kahuripan tersebut segera memberi perlawanan. Pertempuran pun terjadi di pagi-pagi buta, saat ayam hutan pun masih malas untuk berkokok.

Sesungguhnya Nayaka agak tidak paham dengan situasi yang terjadi. Seharusnya ada ribuan orang di perkemahan. Namun, ia memutuskan untuk berkonsentrasi dulu melawan musuh yang ada di hadapannya. Ia memainkan tombaknya dengan teknik yang luar biasa, menjatuhkan musuhnya satu demi satu.

Dengan keunggulan jumlah, pasukan Lodaya segera menyudukan prajurit Kahuripan. Seribu pasukan Lodaya yang ditinggal di sebrang sungai pun mulai masuk ke air, bermaksud bergabung dengan pasukan utama.

"Apa mungkin Sri Dewi sudah melarikan diri?" terka Nayaka.

Lalu tiba-tiba terdengar seruan heboh dari barisan paling belakang. Wanita itu tak langsung menangkap teriakan yang dimaksud. Ia cuma mendengar samar-samar, 'jebakan' atau 'serangan dari belakang'.

Ada yang tidak beres.

***

Sri Dewi bersama prajuritnya menyerbu bala tentara Lodaya dari belakang. Dugaannya benar, Dyah Tulodong memikirkan taktik yang sama dengannya. Hanya saja wanita itu menyusuri hilir tak begitu jauh.

Beberapa waktu yang lalu, Sri Dewi melihat sebuah tombak terapung terbawa air di tengah sungai. Firasatnya segera berkata bahwa benda itu adalah milik tentara Lodaya yang sedang menyebrang. Maka ia bersikeras pada Hasin untuk membawa prajurit mereka kembali ke perkemahan. Dan kecurigaannya terbukti. Dyah Tulodong tengah memporak-porandakan kemah mereka. Tapi di sisi lain, ini menjadi situasi yang bisa dimanfaatkan. Hasin segera memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menggempur barisan belakang Dyah Tulodong.

Kombinasi antara malam yang gelap dan elemen kejutan membuat pasukan Lodaya kalang kabut. Mereka tak bisa melihat berapa besar jumlah penyerangnya—banyak yang mengira sudah masuk ke dalam jebakan pembantaian. Sebagian mencoba bertahan, sedangkan sebagian lain berlari maju dengan panik, mengacaukan formasi di barisan depan. Ada juga yang melompat ke sungai atau berlarian terberai ke arah hutan atau habis terinjak-injak sesamanya.

Hasin menggunakan momentum itu dengan baik. Bogemnya melumat tanpa ampun, membangkitkan moral prajuritnya hingga berapi-api.

"Pergi dari Kahuripan!"

"Antek Sriwijaya!"

"Kunyuk!"

Nayaka menerobos ke sisi belakang sambil berseru-seru agar pasukannya tidak terpencar. Sayangnya di tengah kepanikan tersebut, sebagian besar tak bisa berpikir jernih. Begitu melihat prajurit Kahuripan, ia langsung mengayunkan tombaknya. Ia membantai tiga orang sekaligus dengan satu sapuan. Ia kembali berseru agar pasukannya menjaga formasi. Namun, ia tinggal sendiri. Kemudian sebuah bogem raksasa menghujam dari langit. Ia berhasil menghindar, hanya terpaut beberapa jengkal. Di hadapannya berdiri lawan yang sepadan. Hasin, sang Senapati Kahuripan. Keduanya pun berbaku hantam.

Lalu fajar menyingsing.

Dyah Tulodong menyaksikan bala tentaranya sudah tidak ada harapan. Para laki-laki itu tidak disiplin, dan sama sekali tak punya loyalitas. Cuma prajurit Amanusa yang masih setia bertempur di sisinya. Sementara pasukan Kahuripan mengepung dari segala penjuru. Sri Dewi menatapnya tajam, membawa tombak dan perisai.

Dyah Tulodong pun tertawa, menertawai nasibnya yang malang.

Namun, sejak awal ia memang tak butuh siapapun. Rawarontek membuatnya abadi. Yang perlu ia lakukan adalah menghabisi seluruh prajurit Kahuripan satu persatu, sampai tak ada yang tersisa. Ia menodongkan ujung pedangnya yang berlumuran darah pada musuh-musuhnya. Wanita itu menyunggingkan senyum.