Aji Wurawi berada di paviliun kolam pemandian raja, berkutat seorang diri dengan hobi kecilnya. Ia mengukir wujud makhluk di permukaan sebatang kayu kecil. Konsentrasinya begitu tinggi, fokusnya tak tergoyahkan, dan kepiawaiannya sangat telaten. Sesekali ia meniup untuk membersihkan kotoran kayu dari permukaan. Sosok seorang dewi yang cantik mulai terbentuk pada ukiran tersebut.
Lalu seorang ajudan datang dengan langkah-langkah cepat. Ia bersimpuh di depan paviliun.
"Sri Raja, saya membawa kabar dari Wengker!"
Aji Wurawi tak mengacuhkan. Pria itu terus mengerjakan mahakarya di telapak tangannya.
Akhirnya sang ajudan memutuskan untuk melanjutkan, "Wengker telah jatuh ke tangan Medang. Sri Raja Wijayarama sudah dikalahkan."
Aji Wurawi tahu Wijayarama memiliki semacam kesaktian. Wengker juga dilindungi oleh benteng alam berupa barisan pegunungan.
"Bagaimana?" tanyanya.
Sang ajudan tak lekas mengerti maksud Aji Wurawi. Ia pun balik bertanya dengan nada ragu, "Maksudnya… Apa yang Sri Raja maksud dengan bagaimana?"
"Bagaimana Wijayarama dikalahkan?" ucap Aji Wurawi, tatapannya masih fokus pada ukiran.
"Saya tidak tahu pastinya, Sri Raja. Ada yang bilang Airlangga membelah gunung lalu memenggal Sri Raja Wijayarama. Ada juga yang bilang bahwa Wijayarama dan pasukannya moksa begitu melihat bala tentara Airlangga yang begitu besar."
"Baiklah," Aji Wurawi mendengus. "Kau boleh pergi."
"Masih ada satu kabar lagi, Sri Raja."
"Apa?"
"Ada pesan dari Medang," sang ajudan mengeluarkan sebuah lembaran kulit.
Aji Wurawi meliriknya sekilas, lalu kembali pada ukirannya. "Bacakan."
Sang ajudan menelan ludah. Setetes keringat dingin membasahi pelipisnya. Tapi titah tetaplah titah. Ia mulai membaca, suaranya bergetar. "A—A—maksud saya Sri Raja Aji Wurawi… waktu—waktu Sri Raja—sudah habis. Sri—Airlangga akan datang mengetuk Lwaram, mengklaim haknya. Atas tahta Tanah Jawa. Dan Sri Laksmi."
Seketika Aji Wurawi menggeram. Ia mencengkram erat ukiran kayu di tangannya. Urat-uratnya menyembul. Lalu, kayu yang keras itu, perlahan remuk. Si ajudan sampai bergidik ngeri menyaksikan kemurkaan sang raja. Ia buru-buru menundukkan kepala, khawatir wajah rendahnya menjadi target pelampiasan amarah.
"Sialan!" Aji Wurawi menggebrak lantai, membuat permukaannya retak berkeping-keping. "Orang-orang bodoh!"
Padahal Aji Wurawi sudah memberi peringatan sejak jauh-jauh hari. Wisnuprabawa dan Wijayarama terlalu meremehkan sang pangeran yang kini telah diakui sebagai raja. Ia tak boleh melakukan kesalahan yang sama.
"Persiapkan rombongan," perintah Aji Wurawi. "Aku akan melakukan perjalanan."
***
Puluhan prajurit dan kuda berkumpul di halaman istana Lwaram. Mereka berbaris rapi mengelilingi menghadap sang raja. Aji Wurawi mengamatinya setengah terkagum, seolah ia sendiri tak percaya bisa memiliki orang-orang gagah itu sebagai bawahan.
Dua orang ajudan menghadap.
"Sampaikan pesan ini pada Sriwijaya," Aji Wurawi menyerahkan segulung lembaran kulit. "Jangan berhenti sebelum kalian tiba di Muaro Jambi."
Kedua ajudan itu mengangguk, lalu naik ke atas tunggangannya masing. Mereka langsung berpacu dengan menggebu meninggalkan kompleks istana.
"Berikutnya, sampaikan pesan ini pada Lewa."
Dua ajudan berikutnya mengangguk, lalu menyusul rekannya yang sudah pergi lebih dulu.
"Dan kita akan ke Lodaya," kata Aji Wurawi pada Singawarman—sang Senapati Lwaram yang tersohor.
"Siap, Sri Raja. Kami akan mengawal Sri Raja dengan segenap jiwa dan raga!" ucap pria bertubuh kekar itu. Rambutnya gondrong keemasan layaknya seekor singa jantan. Suaranya besar dan menggetarkan. Lima puluh prajurit pengawalan khusus di bawah pimpinannya pun tak kalah sangar. Masing-masing memancarkan aura kanuragan luar biasa yang bahkan mampu mengintimidasi bangsa jin dan siluman.
"Bagus."
Aji Wurawi meraih tunggangannya, seekor kuda coklat yang amat gagah. Ia mengelus-elus binatang itu beberapa kali, lalu bersiap menaiki pelananya. Tapi sebelum itu ia sadar ada sepasang mata yang sedang memandangi punggungnya. Maka ia menoleh untuk memastikan.
Sri Laksmi, berdiri di dekat pintu utama istana, memperhatikan dengan dua kepalan tangan yang saling bertaut. Seperti sedang berdoa.
Apa ia berharap Airlangga datang menyelamatkannya?
Aji Wurawi membuang pikiran tersebut jauh-jauh, kemudian naik ke atas pelana. Ia harus fokus.
Pria itu memacu tali kekang hingga kudanya mulai berderap, diikuti Singawarman dan para pengawalnya.
Mereka berpacu siang dan malam, nyaris tidak berhenti sama sekali. Pada pagi hari ketiga, mereka tiba di ibukota Lodaya.
Para garnisun yang menjaga jalan masuk segera menyambutnya.
"Sri Raja Aji Wurawi dari Lwaram datang untuk menemui Sri Ratu Dyah Tulodong!" seru Singawarman.
Prajurit-prajurit garnisun itu segera mengantar mereka menuju istana megah yang terletak di pusat kota. Dindingnya terlihat kokoh, melindungi kediaman sang ratu. Ada beberapa prajurit wanita yang menjaga pintu gerbang. Sebuah pemandangan yang cukup aneh di tempat lain, tetapi lumrah di Lodaya semenjak beberapa tahun terakhir.
Para prajurit wanita itu adalah anggota Amanusa, pasukan elit sekaligus pengawal pribadi sang ratu—yang seluruh anggotanya perempuan. Kabarnya syarat bergabung dengan Amanusa adalah mengalahkan seorang prajurit laki-laki—dan baru dianggap menang apabila lawannya mati. Hanya mereka yang kejam—tapi cantik—dan brutal—tapi feminin—yang bisa mendapat pengakuan dari Dyah Tulodong.
Sang garnisun berbicara dengan kepala penjaga beberapa saat. Kemudian kepala penjaga tersebut menemui Aji Wurawi.
"Selamat datang di Lodaya, wahai Sri Raja," ucap sang Amanusa. "Silakan masuk ke dalam. Prajurit kami akan mengurus kuda dan senjata Tuan-Tuan. Sementara saya akan memberitahu Sri Ratu."
Singawarman menatap Aji Wurawi, yang membalas dengan anggukan. Sudah sewajarnya penjaga melarang orang luar membawa masuk senjata. Mereka pun turun, lalu menyerahkan kuda dan senjatanya pada para penjaga.
"Baik, silakan masuk."
Aji Wurawi dan rombongannya diantar ke dalam. Mereka diarahkan ke Balai Witana yang sangat besar, sementara seseorang memberitahu sang ratu.
Istana Lodaya memiliki dua lapis dinding yang mengelilinginya. Saat ini Aji Wurawi berada di kompleks bagian luar, sementara Dyah Tulodong menetap di bagian dalam.
Setelah beberapa waktu, seorang Amanusa menemui Aji Wurawi, "Maaf, saat ini Sri Ratu sedang tak bisa diganggu. Sri Ratu bertanya, ada urusan apakah Sri Raja Aji Wurawi datang ke Lodaya?"
"Tak bisa diganggu?! Ini darurat!" seru Singawarman.
"Maaf, saya hanya menyampaikan pesan," jawab sang Amanusa. "Dan saya akan menyampaikan pesan Tuan pada Sri Ratu."
"Sudah ada dua raja Tanah Jawa yang tumbang. Airlangga menunjukkan taringnya. Lwaram dan Lodaya harus segera membentuk persekutuan," kata Aji Wurawi dalam satu tarikan napas.
"Baik, akan saya sampaikan."
Sang Amanusa masuk lagi ke kompleks istana bagian dalam. Lagi-lagi Aji Wurawi harus menunggu. Ia harus bersusah-payah menenangkan temperamen Singawarman meski ia sendiri kesal. Untungnya si pembawa pesan segera datang.
"Sri Ratu berkata bahwa Lodaya tidak memiliki permusuhan dengan Medang. Lodaya akan tetap netral."
Sama sekali tak mengejutkan. Seperti yang sudah diduga Aji Wurawi. Dan ini juga sebabnya Aji Wurawi datang sendiri ke Lodaya, bukannya sekedar mengirim penyampai pesan.
"Jangan bodoh!" hardik Singawarman yang sudah habis kesabaran. "Dan apa-apaan ini, seorang raja datang mengunjunginya, tapi ratumu cuma berbicara melalui penyampai pesan? Ini penghinaan! Biarkan kami masuk!"
"Mohon maaf, tapi istana bagian dalam tak boleh dimasuki laki-laki."
"Kalau begitu suruh ia keluar."
"Mohon maaf, saat ini Sri Ratu sedang tak bisa diganggu. Lagipula jawaban Sri Ratu sudah jelas."
Singawarman tampak ingin mengamuk. Aji Wurawi mencegahnya dengan mencengkram lengan sang Senapati.
"Aku sangat menghormati peraturan istana ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," kata Aji Wurawi. "Tapi aku tidak mau pulang dengan tangan hampa."
Sang Amanusa bisa merasakan nada ancaman dari tiap kata yang dilontarkan pria itu. Ia segera memberi kode kepada seluruh prajurit Amanusa yang berjaga di sekeliling Balai Winata. Selama Aji Wurawi menunggu, prajurit-prajurit itu terus berkoordinasi dan saat ini ada seratus Amanusa bersenjata lengkap yang siap tempur apabila tamunya berbuat macam-macam.
Namun, Aji Wurawi juga tidak datang dengan tangan kosong. Lima puluh orang yang ia bawa bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah anggota Bataraputra, pasukan elit Lwaram yang sudah terjun dalam banyak pertempuran menghadapi Sriwijaya. Terbaik di antara yang terbaik. Mereka tidak butuh senjata untuk bertempur, sebab ajian tinjunya saja mampu membuat tubuh lawannya berlubang.
"Singawarman," bisik Aji Wurawi. "Lepaskan kemarahanmu."
Sang Senapati berdiri, lalu ia meraung seperti binatang buas. Menyebabkan kuduk lawan-lawannya merinding dan tubuhnya menjadi kaku. Seperti aba-aba, para prajurit Bataraputra langsung menyerbu pasukan Amanusa yang mengelilingi Balai Witana. Hanya berbekal tangan kosong mereka meninju perisai-perisai lawannya, dan dengan tangan kosong pula mereka menangkis tombak yang dihunuskan. Suara pertempuran berkecamuk. Bau darah menguar.
Aji Wurawi memanfaatkan kekacauan tersebut untuk berlari seperti kilat memasuki kompleks istana bagian dalam. Ia merapatkan kedua telapak tangannya serupa bilah tombak, kemudian menyayat dua orang penjaga gerbang sekaligus. Jemari yang lebih keras dari besi itu mampu menyobek nadi mereka tanpa ampun.
Ia terus berlari ke arah yang dijaga oleh prajurit, sebab pasti di sanalah Dyah Tulodong berada. Ia menjatuhkan beberapa orang lagi, lalu memasuki bangunan besar. Aroma melati yang semerbak langsung menusuk hidungnya. Di ruangan luas itu sama sekali tidak ada kursi singgasana, melainkan sebuah ranjang lebar yang ditutupi kelambu. Dan di atas ranjang tersebut, sang ratu tengah bercumbu bersama dua selir wanitanya yang cantik tiada tara. Mereka terus bergumul seolah tidak peduli dengan kehadiran si tamu tak diundang.
"Apa-apaan ini?" desis Aji Wurawi jijik.
"Harusnya aku yang bertanya, apa-apaan ini?" balas Dyah Tulodong, masih tenang meski suara pertempuran di luar sana terdengar sampai sini. "Kau tidak suka penolakan, ya?"
"Bukan masalah itu. Apa kau tak pernah berpikir, bahwa Airlangga akan merenggut semua yang kita miliki?"
"Tidak. Yang akan ia renggut cuma Sri Laksmi… darimu," jawab Dyah Tulodong diakhiri dengan tawa meledek. "Jangan libatkan aku."
"Netral bukan pilihan."
Dyah Tulodong segera memahami apa yang dimaksud oleh Aji Wurawi. Jika pria itu tak bisa menjadikannya sekutu, maka ia akan dihancurkan. Aji Wurawi ingin melenyapkan kemungkinan Dyah Tulodong menggabungkan kekuatan dengan Airlangga. Dan tentu saja pria itu tak akan mempercayai kata-kata Dyah Tulodong. Orang yang terbiasa berkhianat dalam pikirannya selalu waspada, khawatir dikhianati sebagaimana dirinya mengkhianati.
"Sayang, pergilah," Dyah Tulodong mengusir kedua selirnya, lalu berpakaian sekenanya. Ia meraih kain yang tergeletak di ranjang. "Pada akhirnya hal ini tak bisa dihindari, ya?"
"Ya."
Padahal Dyah Tulodong benar-benar ingin bersikap netral. Ia tak mau ambil resiko. Bagaimana nasibnya kalau ia salah mengambil sekutu, sehingga menjadi pihak yang kalah? Tapi kalau kediamannya sudah sampai diserang seperti ini, sangat bodoh jika ia tak menyerang balik. Bahkan seekor semut akan menggigit kalau diinjak, kan?
Dyah Tulodong meraih sepucuk keris yang selalu ia sembunyikan di bawah kasur. Sebelum Aji Wurawi melihat senjata tersebut, ia melesat bagai kilat. Ia menghunus Aji Wurawi.
Namun, Aji Wurawi berhasil menepis serangan Dyah Tulodong. Kemudian ia menyabetkan telapak tangannya yang setajam mata lembing. Kepala Dyah Tulodong pun terlepas dari tubuhnya. Kepala itu jatuh ke lantai dengan ekspresi kaget yang masih melekat. Lalu tubuhnya jatuh berlutut.
"Maaf, aku terpaksa," gumam Aji Wurawi. Baginya yang semenjak kecil sudah dilatih untuk menjadi ujung tombak Medang menghadapi Sriwijaya, melawan Dyah Tulodong tidaklah seberapa.
Ia mendekati kepala Dyah Tulodong untuk dipamerkan pada para Amanusa yang bertempur di luar. Cara tercepat mengakhiri perang adalah dengan membantai pemimpinnya. Para bawahan akan mengikuti.
Kedua mata Dyah Tulodong… dengan energi kehidupan. Ia belum mati!
Aji Wurawi refleks berbalik, dan benar saja tubuh Dyah Tulodong yang tanpa kepala itu menghunuskan keris ke arahnya. Dada kanan pria itunya pun tertikam…