Karena perbuatanku sebelumnya yang terbilang sangat berani, berakhir dengan aku yang menerima sebuah jeweran dipipiku.
"Pfffttt... Ha ha ha ha..."
Tetapi entah mengapa aku malah tertawa kecil dibuatnya.
Mungkin disebabkan oleh raut wajah cemberut Gita, yang terlihat jelas tengah menyembunyikan rasa senangnya.
"Kugh... Bisa-bisanya kamu tertawa. Jangan bilang semua perbuatanmu tadi hanya karena ingin menjahiliku saja?"
"Maaf... Maaf... Bukan begitu maksudku. Hanya saja aku tak mengira bahwa kamu akan bereaksi seperti tadi."
Nampaknya Gita jadi teringat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.
Perasaan malu mulai dia tunjukkan kembali melalui ekspresi wajahnya.
Jeweran pada pipiku pun ditarik semakin kuat karenanya.
"Mau bagaimana lagi, perbuatanmu tadi sangatlah memalukan. Aku jadi tidak memiliki muka lagi, ketika nanti berhadapan dengan para tetangga kita."
"Hee... Kamu hanya berpikir terlalu berlebihan, yang kita lakukan juga bukanlah hal buruk. Jadi ketika bertemu mereka lagi, hadapilah mereka seolah tidak pernah terjadi apapun."
"Mau bagaimana lagi kalau sudah terlanjur begini, aku hanya bisa berharap semoga diriku masih sanggup untuk menahan rasa malu, ketika harus bertemu mereka kembali nantinya... Huh... Lalu ngomong-ngomong... Mengapa kamu sampai bertindak sejauh itu?"
Aku yang masih menyetir, mengalihkan lirikan mataku sejenak pada Gita, kemudian berfokus kembali pada jalan.
Pertanyaan Gita tidak langsung aku jawab, ada jeda beberapa saat, sewaktu aku masih menimbang jawaban.
Ketika aku sudah membulatkan keputusan, aku akhirnya memberikan jawaban, meski sambil menggaruk-garuk pipi dengan jari telunjuk tangan kiriku.
"Hmmm... Sebenarnya aku sempat mengamati para pria disekitar kita tadi."
"Apa mungkin kamu terganggu dengan itu? Tapi sejak tadi kamu hanya meladeni para ibu-ibu itu saja."
"Memang benar aku hanya meladeni para ibu-ibu. Namun tatapan penuh hasrat para pria itu terhadapmu... Aku sungguh tak menyukainya."
"Hoo... Jadi kamu akhirnya bisa merasa cemburu juga. Sekarang kamu bisa sedikit mengerti bukan? Rasa cemburu yang dari kemarin aku rasakan karena dirimu."
Aku sedikit terperanjat, karena ucapan Gita tepat mengenai perasaan yang tengah mengganjal hatiku.
Akhirnya aku sekarang semakin memahami bahwa rasa sakit yang dialami Gita karena tindakanku, pasti sangatlah menyesakkan baginya.
Dengan telapak tangan kiriku, aku pegangi telapak tangannya.
Setelah mengamati tindakanku, Gita membalas dengan mencengkram telapak tanganku lebih erat.
Sementara bibirnya terlihat jelas tengah menahan senyum sebisa mungkin.
Untuk menutupinya, akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada pundak ku.
Karena dia tak mengucapkan apapun, aku melanjutkan pembahasan kami.
"Gita... Aku sungguh minta maaf atas perbuatanku selama ini. Meski kita sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tetapi aku malah memiliki hubungan tidak biasa dengan wanita lain."
"Paling tidak kamu jadi bisa memetik sebuah pelajaran dari kejadian tadi. Itulah mengapa sebelumnya aku sempat sangat marah terhadap dirimu."
"Yah... Aku sungguh menyesalinya. Untuk selanjutnya aku akan membatasi hubunganku dengan Rani. Aku tak ingin lagi, berakhir dengan dirimu yang kembali aku lukai."
"Tak perlu sejauh itu, cukup anggap Rani seperti salah satu anggota keluargamu yang lain. Lagipula aku akan membuat dirimu tidak bisa memikirkan wanita lain, selain diriku. Jadi persiapkanlah dirimu."
Dia mengakhiri kalimatnya dengan genggaman tangan yang semakin erat lagi.
"Kamu ini... Huh... Kurasa kamu adalah hadiah terbesar dalam hidupku."
Pipinya sedikit merona, sepertinya apa yang aku utarakan meluncur tepat mengenai benaknya.
"Arya... Bisa lihat aku sebentar."
Sontak saja aku langsung menoleh pada Gita tanpa pikir panjang.
"Ada apa-"
CUP!
Tanpa peringatan sedikitpun, Gita sudah mengecup bibirku, sembari memejamkan matanya.
Saat itu juga mataku langsung terbuka lebar-lebar, ketika bibirku bisa merasakan kembali lembutnya bibir milik Gita.
Kami berdua terdiam, karena terperangkap dalam momen ini untuk beberapa saat.
TIIIIIIINNNNN!!!!
Sebuah klakson dari kendaraan didepan kami, langsung membuyarkan suasana hangat ini.
Namun kami jadi tersadar kembali, sementara aku dengan reflek cepat, langsung mengembalikan laju mobil pada tempatnya.
"Fyuuuuhhh... Nyaris saja, aku harus lebih hati-hati lagi."
Gita jadi menunjukkan sikap penyesalan setelahnya, dan mencoba mengungkapkannya padaku.
"M-maafkan aku Arya, sepertinya aku terlalu terbawa suasana dan menyebabkan kita nyaris celaka."
"Tidak... Itu salah ku juga yang tidak bisa fokus saat mengemudi. Tapi jika mengesampingkan hal itu, aku cukup merasa senang. Jadi aku akan menunggu kelanjutannya lagi nanti... He he he."
Dan Gita pun menunjukkan reaksi seperti yang aku kira, ia sedikit mengembungkan pipi, yang malah membuat dia semakin imut.
"Hmph... Jangan harap kamu bisa mendapatkan itu sesukamu."
Meski Gita berkata begitu, dia tetap menunjukkan sebuah senyum yang diisi oleh rasa senang.
Walau masih dalam perjalanan, entah mengapa aku sudah merasa cukup bahagia.
Gita terus menempel padaku, suasana jadi begitu hangat diantara kami.
Lalu mobil inipun terus aku setir untuk membawa kami menuju beberapa tempat wisata di kota Yogyakarta.
Awalnya aku membawa Gita menuju Jalan Malioboro.
Kami berjalan sambil bergandengan menyusuri sepanjang trotoar di Malioboro.
Tempat ini sangat padat dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan para pedagang.
Tapi tetap saja kami berdua menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang kami lalui.
Penampilan Gita yang sungguh menawan, seolah menarik mata setiap pria yang melewatinya.
Sekali lagi Gita mendapatkan banyak tatapan mata seperti itu, membuatku lumayan kesal.
Namun disisi lain ada rasa bangga dalam benakku karena hanya aku yang dapat berjalan disisinya.
Dan sedikit tak diduga, beberapa gadis yang kami lalui malah melirik padaku.
Gita yang nampaknya sadar akan hal itu, langsung mengubah gandengan tangan kami menjadi remasan terhadap telapak tanganku dengan sangat kuat, setiap kali itu terjadi.
Terkadang gadis yang menyadari reaksi kesakitan ku, karena Gita yang sedang cemburu, jadi sedikit terkekeh-kekeh dibuatnya.
Meski begitu, perjalanan kami di sepanjang jalan ini amatlah menyenangkan.
Setelah kami sampai di penghujung Jalan Malioboro, kami mengunjungi Pasar Beringharjo yang merupakan pasar Khas Yogyakarta.
Kami memasuki pintu masuk Pasar yang terhubung langsung pada Malioboro.
Dimulai dari blok pasar disisi barat yang menjual beragam asesoris dan pakaian modern hingga pakaian batik.
Gita kemudian membeli beberapa pakaian batik yang ia inginkan disana, tapi tentu aku yang harus menguras dompet karena janjiku yang akan memenuhi semua keinginannya hari ini.
Seusai Gita membeli apa yang ia inginkan, kami berlanjut menuju blok tengah yang menjual beragam ornamen khas kota Yogyakarta dan beberapa macam bahan baku makanan.
Semua terlihat sangat menarik bagi Gita yang masih terbilang baru tinggal di kota ini.
Kemudian kami sampai diblok paling timur, disini mereka menjual beragam sayur, buah dan lauk pauk.
Aku putuskan memberi beberapa bahan untuk disimpan dalam kulkas dirumah.
Setelah dirasa cukup, kami mencari becak sebagai tumpangan menuju tempat mobil kami terparkir sembari mengamati keindahan kota.
Tak terasa langit sudah berubah warna menjadi jingga karena sudah memasuki senja.
Aku pun membawa Gita menuju tempat tujuan terakhir kami, yaitu Bukit Bintang.
Tempat itu berada disekitar area Kabupaten GunungKidul yang berada di dataran tinggi pegunungan.
Jalannya cukup besar namun sangat menanjak dan agak berbahaya jika tidak berhati-hati.
Namun banyak tempat wisata alam yang sangat menarik di Kabupaten tersebut dan salah satunya adalah Bukit Bintang.
Karena dari ketinggian, pemandangan lampu-lampu kota sekarang jadi terlihat berada dibawah dan hampir tidak ada gedung-gedung pencakar langit sejauh mata memandang.
Membuatnya seperti hamparan bintang-bintang yang terhampar diatas tanah dalam kegelapan malam.
Kami menikmati pemandangan indah itu dari sebuah restoran diantara barisan Warung dan Restoran yang dibangun pada sepanjang lereng pegunungan.
Area inilah yang menjadi tujuan tempat kencan oleh banyak pasangan karena nilai keindahan dan keromantisannya.
Kami menjadi salah satu pasangan yang menikmati tempat ini.
Kencan ini berjalan cukup lancar, jika dilihat dari reaksi Gita sejauh ini.
Saat ini aku dan Gita tengah berada di teras atas sebuah restoran sembari menikmati makam malam.
Atmosfir yang mengitari kami juga terasa romantis, karena ditemani oleh keindahan pemandangan hamparan lampu kota bak susunan bintang-bintang yang terlihat jelas dari sini.
Seusai menghabiskan makan malam, kami berdua mulai saling mengobrol.
"Terimakasih Arya untuk kencan hari ini. Meski ini pertama kalinya bagiku melakukan hal semacam ini, tapi ini merupakan salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupku."
"Mungkin akulah yang harus berterimakasih terhadap dirimu. Semenjak kehadiranmu dalam hidupku. Sekarang hidupku dipenuhi akan warna. Kamu sudah membuatku melihat dunia dari sisi yang berbeda."
"Begitu pula denganku, hidupku yang awalnya hanya terfokus pada dunia para Praktisi Roh. Justru sekarang bisa merasakan kebahagian hidup dari dunia orang awam. Aku juga bisa melihat dunia dari sisi yang berbeda karena dirimu."
Setelah saling mencurahkan isi hati, kami saling menatap dan berpegangan tangan.
Kemudian Gita pindah dari tempat duduknya yang berseberangan denganku, jadi berada disampingku.
Gita menyandarkan kepalanya pada pundak ku, lalu kita saling berpegangan tangan sembari menikmati pemandangan untuk beberapa waktu.
Akhirnya jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Kami memutuskan untuk pulang, agar sampai dirumah paling tidak memakan waktu satu jam lebih.
Kedatangan kami disambut oleh Kakek dan Rani, sayangnya Dhita tidak ikut karena masih ngambek.
Barang bawaan kami bagi, termasuk oleh-oleh bagi orang-orang dirumah.
Lalu dilanjutkan kami mandi dan makan malam bersama.
Setelahnya kembali menuju kamar masing-masing.
Namun Gita tidak kembali ke kamarnya, tetapi malah mengikutiku masuk kedalam kamarku.
Jadinya aku duduk diatas kasur dulu, diikuti oleh Gita yang duduk disampingku.
"Apa masih ada yang ingin kamu bicarakan, Gita?"
"Tidak... Tidak ada sama sekali."
"Lalu?..."
Gita memainkan kedua jari telunjuknya, aku jadi tahu apa yang ingin diucapkannya pasti terasa memalukan bagi dirinya.
"A-apa boleh jika... Jika aku... I-ingin tidur bersama lagi denganmu?"
Tanpa pikir panjang, kedua telapak tangan Gita aku sambar dan menghimpitnya diantara kedua telapak tanganku.
"Tentu saja aku tidak akan keberatan, aku sangat senang jika kamu berkenan."
"T-tapi jangan lakukan yang tidak-tidak padaku, kita hanya sebatas tidur bersama saja."
"Yah... Tentu... Kamu boleh menghajarku jika aku sudah tidak kuat menahan diri."
"Aku pegang kata-katamu."
"Ah... Sebelum itu masih ada satu hal lagi. Aku ingat jika masih ada hal yang ingin aku berikan padamu."
Gita memiringkan kepalanya karena penasaran dengan apa lagi yang akan aku berikan.
Tanpa sepatah katapun, aku menengadahkan telapak tangan kananku.
Telapak tangan kananku mulai bersinar terang, lalu sebuah cahaya Energi Roh yang membentang secara horizontal muncul.
Perlahan cahaya itu mulai berubah bentuk menjadi sebuah benda yang panjang.
Akhirnya benda itu menunjukkan wujud sepenuhnya.
Yaitu sebuah tombak dengan gagang logam perak dengan ukiran unik disepanjang gagangnya.
Mata tombaknya memiliki bentuk seperti sebilah golok, terbuat dari logam berwarna cyan.
Berhiaskan bulu lembut dan lebat, berwarna biru pada sekitar pangkal mata tombak.
Aura Energi Roh yang dipancarkan juga terasa cukup kuat.
Sementara Gita terlihat sangat terkejut dengan tombak yang baru saja aku keluarkan.
Matanya terbelalak karena terpukau akan senjata ini.
"Aura ini... Dan bahan yang digunakan... Jangan bilang bahwa ini adalah Senjata Suci Tingkat Langit?"