——————————— Sudut Pandang Gita
Setelah pengajuan tantangan yang aku berikan terhadap Arya, agar dia bersedia melakukan sparing dengan diriku.
Tatapan mata milik Arya, kemudian memancarkan aura intimidasi yang kuat.
Saat melihat jauh kedalam matanya, tubuhku merasa seolah berada dalam cengkeraman yang kuat dari sesuatu yang amat mengerikan.
Aku merasa layaknya seperti mahkluk kecil yang tengah berhadapan dengan sosok superior yang sangatlah besar.
Apakah ini sungguh Arya yang telah aku kenal selama ini?
Atau ini memang merupakan dirinya yang sesungguhnya, dikala dia tengah serius.
Bahkan Ayahku sendiri yang terkenal memiliki aura intimidasi yang kuat, aura intimidasinya tidak sebanding dengan milik Arya.
Sebenarnya apa yang sudah Arya lalui hingga bisa memiliki aura intimidasi sekuat ini?
Kemudian ketika aku mencoba untuk fokus kembali kepada Arya, dia sudah menghilang dari bidang pandanganku.
Sebelum aku sempat bereaksi, sebuah tepukan telah mendarat diatas pundak kiriku, bersamaan dengan hembusan angin yang menerpa tubuhku.
Saat itu juga aku telah sadar bahwa Arya telah berdiri disamping ku dalam sekejap mata.
Sangat cepat... Bahkan mataku tidak sempat untuk mengikuti pergerakannya.
Tubuhku menjadi diam terpaku, karena pikiranku sekarang masih dipenuhi oleh rasa keterkejutan.
Bahkan suara sampai terasa begitu sulit untuk keluar dari tenggorokan ku.
Arya sepertinya sudah menyadari benar akan situasi ku sekarang dan melanjutkan perbincangan, sembari menatap lurus kebelakang ku.
"Jika tubuhmu belum siap, yang ada nanti hanya dirimu yang terluka. Karena mengontrol dan menahan kekuatan dalam gerakan secepat itu, bukanlah hal yang mudah."
Setelah dia mengucapkan itu dengan tatapan matanya yang sangat dingin dan menusuk, Arya menoleh padaku.
Namun raut wajahnya menjadi terasa sangat hangat sekarang, dengan sebuah senyuman dan tatapan mata nan lembut.
Entah kenapa kemudian, sebuah kelegaan mencuat keluar dari dalam benakku.
Seluruh tubuhku terasa begitu lemas, termasuk lututku yang mulai kehilangan daya untuk menjaga tubuh ini tetap berdiri.
Arya yang segera menyadarinya, dengan sigap memegangi tubuhku dengan kedua tangannya.
Kemudian menjatuhkan diriku dalam dekapannya yang hangat.
Tubuhku pun mulai gemetar karena perlahan emosi dari dalam diriku mulai bergejolak.
Aku sudah tak bisa membendung lagi perasaan ini.
Tak peduli mau bagaimanapun, aku hanya ingin memeluknya saat ini.
Tanganku mulai melingkari punggung Arya dan mendekap tubuhnya seerat mungkin.
Pipiku sekarang terasa hangat karena dibasahi oleh air mataku yang mengalir.
Arya berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan kembali diriku menggunakan tangannya yang membelai lembut kepalaku.
"Sudah... Sudah... Maafkan aku yang sudah berlebihan. Aku memang tidak pandai dalam mengajari, kurasa memang Kakek lah yang jauh lebih baik sebagai pengajar untukmu."
Apa yang telah diucapkan Arya telah membuatku tersadar.
Bahwa kelemahan dalam diriku yang baru saja aku tunjukkan, sudah membebani dirinya dengan rasa bersalah.
Aku tak ingin Arya sampai menyalahkan dirinya atas kelemahanku, jadi meski masih terisak-isak, aku berusaha untuk memperbaiki keadaan.
"Hiks... I-ini... Hiks... Ini bukanlah salahmu, air mata ini aku tujukan terhadap kelemahan dalam diriku. Hiks... Sudah bertahun-tahun semenjak diriku berlatih sebagai seorang Praktisi Roh. Namun hanya karena sebuah tekanan dari lawan tanding saja, aku sudah tidak berkutik. Apanya yang penerus berbakat dari keluarga Sanjaya... Aku... Aku ini hanya orang lemah yang tak berguna..."
"Apanya yang tidak berguna dari dirimu? Bukankah disaat orang lain berada dalam bahaya, kamu tak sungkan untuk mengulurkan tanganmu... Disaat ancaman didepan matamu adalah sesuatu yang tak bisa kamu tangani, kamu tetap berdiri tegap menghadapinya, hanya demi melindungi orang lain... Disaat dirimu sudah tak sanggup berdiri lagi, kamu tetap berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang lain."
Suaranya berangsur-angsur menjadi lebih serak, membuatku tersadar bahwa ucapannya memang tulus dari dalam hati.
"Karena dirimu lah, orang lain itu sekarang hidupnya telah berjalan menuju arah yang lebih baik. Jadi aku mohon padamu, berhentilah untuk terus menyalahkan dirimu sendiri. Kamu itu lebih... Jauh lebih berarti dari yang kamu bayangkan selama ini."
"Apakah kamu tak keberatan sama sekali, jika nantinya aku hanya jadi beban bagimu? Dengan bakatmu itu, sudah pasti kamu akan beranjak menuju ke tempat yang jauh lebih tinggi. Meski begitu, aku malah dengan percaya dirinya sempat mengatakan jika diriku akan membantumu dan berjuang bersama sebagai Praktisi Roh. Yang ada hanyalah aku yang menjadi beban bagimu, ketika berusaha terbang menuju tempat yang tinggi itu."
Kami berdua sekarang terjebak dalam keheningan, disebabkan oleh Arya yang tak sanggup membalas lagi ucapanku.
Jadi itu benar, aku ternyata memang hanya akan menjadi beban baginya.
Mungkin alasan yang membuat diriku sempat menangis adalah cara Arya menatapku sebelumnya, tatapan mata yang sama seperti saat Ayah melatihku.
Mengingatkanku kembali terhadap raut wajah kekecewaan Ayah tiap kali beliau selesai melatih diriku.
Bahkan ditempat ini yang jauh dari tekanan keluargaku, aku masih saja membuat orang lain kecewa, apalagi dia adalah orang yang aku cintai.
Apakah seumur hidupku, aku hanya akan berdiri dibelakang punggungnya?
Tidak... Aku takut jika itu malah lebih buruk lagi, dimana suatu saat aku tak bisa meraih punggungnya lagi.
Semua pikiran negatif yang berputar dalam kepalaku, membuat diriku tanpa sadar mempererat dekapanku.
Saat ini aku tak ingin melepaskannya, aku merasa khawatir jika dirinya tidak akan sanggup aku genggam lagi.
Aku sekarang merasa telah menjadi orang yang sangat egois.
Setelah semua ucapanku barusan, cuma berujung dengan aku yang hanya mementingkan diri sendiri.
Hingga pada akhirnya Arya melepaskan juga pelukanku dari dirinya.
Walupun begitu, ia masihlah memegangi pada bagian kedua lengan atas ku.
Namun aku sudah tak sanggup lagi untuk memandang dirinya, perasaan rendah diri ini tak bisa terhindarkan lagi.
"Gita, aku mohon lihatlah kemari."
"Tidak..."
Arya tetap bersikeras dengan kemauannya dan mendekatkan wajahnya kearah wajahku berpaling.
Dikarenakan aku tak bisa menghindar lagi, mataku ini segera aku pejamkan sekuat mungkin, hingga kelopak mataku gemetar.
"Kenapa Gita?"
"Jangan... Jangan lihat aku... Jangan lihat diriku yang menyedihkan ini!"
Tap...
Tiba-tiba saja kedua telapak tangan Arya mendarat dipipiku.
Dengan paksa tapi tetap lembut, Arya menggerakkan wajahku agar menghadap dirinya.
Tapi kedua kelopak mataku masih tetap kupejamkan, meski Arya sudah berusaha sejauh ini.
Cup
Hangat... Tiba saja bibirku merasakan sebuah kehangatan yang tidak asing lagi bagi diriku.
Saat kedua mataku perlahan terbuka, yang aku lihat memang sesuai dugaan.
Arya tengah mencium bibirku, sebuah ciuman yang penuh akan rasa kehangatan.
Ini cukup menenangkan diriku juga, jadi aku tak keberatan dia melakukannya sekarang.
Selang beberapa waktu kemudian, kami melepaskan ciuman dan saling bertemu pandang dalam jarak yang amat dekat sesudahnya.
Dengan ditemani raut wajah yang menyiratkan banyak perasaan didalamnya, dia mengutarakan perasaannya padaku saat ini juga.
"Bagaimana bisa aku menganggap dirimu sebagai beban? Ketika aku sendiri menjadikan dirimu sebagai tempatku bersandar, dimana aku melepaskan semua beban yang aku rasakan."
Apa yang baru saja dia ucapkan, telah mendobrak dengan kuat pintu yang telah mengunci rasa percaya diri pada hatiku yang terdalam.
"Jadi... Aku hanya sebagai tempat pelampiasanmu saja bukan?"
"Benar sekali..."
"Huh?! K-kamu ini... Meski memang begitu, paling tidak berusahalah untuk menyangkalnya!!!"
"Karena itu adalah kamu... Tak ada orang lain lagi yang ingin ku jadikan sebagai tempat pelampiasan semua keinginan, hasrat, kebahagiaan, kesedihan dan segalanya dalam hidupku... Jadi aku mohon izin padamu... Untuk menerima diriku sebagai beban dalam hidupmu. Ajarilah diriku semua yang kamu tahu mengenai dunia yang belum aku pahami. Karena aku sangat bergantung pada dirimu juga."
Akhirnya pintu yang terkunci jauh didalam hatiku, berhasil ia buka dengan paksa dan menarik keluar rasa percaya diri yang selama ini telah terpendam jauh didalam sana.
Mataku kembali berkaca-kaca, namun kali ini disebabkan oleh perasaan bahagia.
"Ya... Iya... Aku bersedia, tapi kamu harus tahu jika itu semua tidaklah gratis."
"Jika begitu, akan aku bayar padamu menggunakan seluruh hidupku."
"Akan aku ambil bayarannya dan tak akan ada kembalian, karena aku tak akan membiarkan sepeserpun bagian dari dirimu untuk membeli sesuatu yang lain."
"Aku tak keberatan sama sekali."
Sebuah pelukan penuh rasa bahagia aku berikan pada Arya setelahnya.
Kemudian kami mulai saling membahas latihan beladiri dimulai dari paling dasar.
Dia dengan tekun mengajariku tahap demi setahap.
***
——————————— Sudut Pandang Arya
Setiap malam seusai bekerja, aku memberikan pelatihan dasar-dasar beladiri kepada Gita.
Hari demi hari, keterampilan Gita berkembang lebih baik lagi, walau dia cukup kewalahan dalam mengikuti menu latihan yang kuberikan padanya.
Lalu pada setiap hari libur yaitu sabtu dan minggu, Kakek memberikan pelajaran khusus pengendalian Energi Roh dan penggunaan Senjata Suci yang baik dan benar.
Kakek juga menawarkan diriku pelatihan bersama Gita, namun aku menolak dengan dalih akan berlatih dengan Guru Hara.
Tapi sebenarnya aku berlatih kembali di Dimensi Kecil dengan menghadapi beragam binatang mistik, ditemani oleh guru yang tetap membimbingku.
Berkultivasi Roh disana juga memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan di Dunia Fana, karena limpahan Energi Roh Alam yang jauh lebih banyak.
Sesekali aku juga kembali bertemu dengan Ananta untuk menyampaikan kabar terkait Rani.
Ananta cukup senang mendengar Rani yang akhirnya dapat kembali menikmati hidup.
Waktu berjalan dengan cepat, hingga akhirnya tersisa satu minggu lagi sebelum pendaftaran ke Akademi Pengawas Roh.
Hari ini aku sudah menjanjikan pada Gita untuk melakukan sparing.
Sebelum aku memasuki dojo, aku merasakan kekuatan Energi Roh yang sepertinya sudah aku kenali, tengah mengamatiku.
Aku melompat keatas tembok pembatas halaman dan berlanjut ke atap rumahku.
Lalu melesat menuju sumber Energi Roh tersebut yang jaraknya paling tidak 100 meter.
Dalam kurun waktu kurang lebih 5 detik, aku mendarat tepat dibelakang sumber Energi Roh tersebut, yang tidak lain adalah seorang pria berkacamata dengan mantel putih.
Dia tengah berdiri mengawasi rumahku di kejauhan, dari atas atap rumah seorang warga.
Dalam posisi masih memunggungi diriku, dia membuka pembicaraan sembari membenarkan kembali posisi kacamatanya, dengan mendorong bingkai bagian tengahnya menggunakan jari.
"Wah... Wah... Wah... Sungguh pemula yang menakjubkan. Sanggup menyadari keberadaanku, meski dari jarak yang cukup jauh. Memang seperti yang diharapkan dari cucu Tuan Ekawira Mahanta."
Dengan tangan kanan yang memegangi pinggang, aku membalas sambutan pria itu.
"Sebuah kehormatan bisa bertemu kembali dengan anda, tuan Lasmana Paijo. Adakah yang bisa saya bantu?"
Kami pun saling melepaskan senyum yang penuh dengan arti dan juga rasa percaya diri.