Seusai obrolan ringan yang kami bertiga lakukan, kami pun beranjak tidur.
Sama seperti sebelumnya, aku tidur diposisi tengah, sementara Gita berada disisi kanan ku, lalu Rani tidur disisi kiri ku.
Kehidupanku benar-benar berubah drastis semenjak kejadian malam itu.
Walaupun itu merupakan kenangan buruk, tetapi banyak hal-hal baik yang datang setelahnya.
Hidup seperti ini tidaklah buruk, apalagi sekarang aku memiliki 2 anggota keluarga baru.
Meski pun akan ada banyak ancaman yang tidak aku ketahui dari dunia para Praktisi Roh di masa mendatang.
Dengan segenap jiwa dan ragaku, aku pastikan untuk melindungi mereka semua.
Wahai takdir Pewaris Kaisar Roh, aku tidak tahu kemana kamu akan membawa diriku.
Namun satu hal yang pasti, aku tidak akan kalah terhadap beban yang kamu berikan diatas pundak ku.
Yah... Kurasa sudah cukup untuk merenung, lebih baik bagiku untuk segera tidur.
Dalam suasana yang begitu hening, aku bisa mendengar dengan jelas suara hembusan napas Rani.
Saat aku mencoba melirik Rani, aku jadi sadar bahwa wajah Rani yang tertidur pulas, berada dalam posisi cukup dekat dengan wajah ku.
Wajah polosnya terlihat begitu manis dan lucu ketika tengah tertidur, disamping parasnya yang sangat mempesona.
Membuat aku ingin sedikit mencubit pipinya karena gemas, sayangnya kedua tanganku sudah dijadikan guling oleh Gita dan Rani.
Karena itu aku hanya bisa terkekeh dengan sangat pelan.
Disaat diriku masih tengah asyik memperhatikan wajah Rani yang tertidur, tiba-tiba saja aku mendapatkan hadiah sebuah cubitan pada pipi kananku.
"Bisa-bisanya kamu malah lebih memperhatikan wanita lain, disaat kekasihmu tepat berada di sampingmu."
"Uwaaa... maafkan aku Gita... Ini tidak seperti yang kamu pikirkan"
Kami memang saling berbicara, namun dengan volume serendah mungkin agar Rani tidak terbangun.
Tak kusangka ternyata Gita masih belumlah tertidur.
"Baiklah, kali ini aku percaya pada dirimu. Jadi besok sepulang kerja, harap temui aku di dojo! Aku akan menantikan dirimu disana."
"Huh... Entah kenapa aku merasa jika ini akan berakhir dengan buruk."
"Apa kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak dengar barusan, jadi bisa ulangi lagi?!"
Sial aku sudah keceplosan, jika aku menyanggah lagi pasti akan berakhir pada sesuatu yang lebih membahayakan diriku.
Ditemani rasa takut akan nada bicaranya, aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan panik.
"Uh... T-tidak ada kok... A-aku sudah mengerti Gita. Besok, di dojo kan? Aku siap... A ha ha ha."
Aku membuang lirikan mataku menuju tempat lain, bersamaan dengan tawa yang aku buat-buat itu.
Namun siapa sangka, setelah itu kepalaku langsung digerakkan oleh Gita agar mendekat pada dirinya.
Lalu dia mendekatkan wajah miliknya pada wajahku, Gita sepertinya juga tak mau kalah.
Saat aku melihat wajahnya, dia jelas terlihat menahan rasa kesal yang disebabkan oleh kecemburuan.
Dekapan tangannya terhadap tubuhku juga semakin erat.
Biarkan sajalah, melihat sikap kesalnya yang cukup imut, kupikir aku bisa menikmatinya.
"I-ini bukannya karena aku punya maksud lain. Aku hanya ingin mengawasimu saja agar tak berbuat macam-macam terhadap Rani."
"Kalau begitu, aku malah ingin jika kamu mengawasiku dalam jarak sedekat ini setiap malam."
Kalimat spontanku barusan sepertinya sudah berhasil meruntuhkan pertahanan hatinya.
Gita menjadi kebingungan dalam menimpali ucapanku, gelagatnya juga nampak begitu kikuk.
Dia berusaha menutupi perasaan senangnya, dikarenakan rasa malu untuk mengakui bahwa niat awalnya yang ingin bersikap tegas padaku, telah memudar.
Sayangnya wajah Gita yang merah merona, tidak dapat menutupi perasaan sebenarnya.
"J-jangan harap jika godaanmu akan mempan kali ini. Aku akan tidur dulu, j-jadi selamat malam."
Matanya perlahan ia pejamkan dan berlagak seakan ia sedang tidur.
Tapi dia jelas kesulitan untuk tertidur, karena masih saja memikirkannya.
Perilakunya yang seperti inilah, yang sanggup meluluhkan hatiku.
Sebelum aku juga ikut tertidur, dengan sebuah senyum, aku memandangi sesaat wajahnya yang perlahan mulai jatuh terlelap.
***
Setelah tidur nyenyak semalaman, aku bisa bangun dengan perasaan bugar.
Walau harus ditemani dengan keributan yang adikku buat diluar kamar ku.
Beruntung semalam aku ingat untuk menguncinya dahulu, jadi aku bisa bangun dengan damai.
Kemudian kami semua mulai menjalankan rutinitas pagi, sebelum berangkat bekerja.
Sarapan juga terasa lebih ramai semenjak kedatangan Rani.
Dengan bertambahnya anggota keluarga baru, makin banyak hal yang membuatku bisa tersenyum.
Inilah yang selalu aku inginkan, kebahagiaan sebuah keluarga, yang mana tidak pernah aku rasakan semenjak kecil.
Tekadku untuk menjadi seorang Praktisi Roh yang hebat, semakin kukuh.
Sudah tidak lama lagi, awal karirku sebagai Praktisi Roh akan dimulai.
Persiapan yang aku miliki juga sudah matang, yang tersisa hanyalah tinggal mengasah keterampilan dan pengalamanku saja.
Kemudian seusai sarapan, aku dan Gita berangkat menuju kantor bersama-sama.
Sementara Rani belajar melakukan kegiatan rumah tangga dibawah pengawasan Kakek.
Disamping itu, Dhita terlihat sudah menerima sosok Rani, meskipun penampilannya sedikit berbeda dari Manusia.
Semua itu berkat campur tangan Kakek, yang memberikan Artefak Suci berupa sepasang anting permata berwarna merah, dengan kemampuan menyamarkan bentuk telinga agar serupa dengan telinga manusia.
Artefak Suci tersebut berada pada Tingkat Unik, jadi bagi Kakek benda tersebut bukan hal yang sulit untuk didapatkan.
Penggolongan Senjata Suci, Armor Suci dan Artefak Suci, memiliki cara pembagian tingkat yang sama.
Jadi tidak merepotkan bagiku untuk menghapalkannya.
Dengan begini, aku bisa meninggalkan Rani dengan tenang dirumah.
Walau banyak hal telah terjadi belum lama ini, kami masih bisa melakukan aktivitas masing-masing seperti biasanya.
Seharian penuh kami jalani tanpa adanya tekanan berlebihan.
Sepulangnya dari kantor, sesuai janjiku pada Gita.
Kami berdua bertemu dalam dojo milik Kakek.
Ketika Aku memasuki dojo tersebut, disana Gita telah menanti ku dengan wajah yang cukup serius.
Aku bisa menebak jika ini tidaklah berkaitan dengan Rani sedikitpun.
Karena sinar mata yang dipancarkan Gita, seolah menunjukkan bahwa dia sudah bersiap untuk memasuki medan pertempuran.
"Jadi Gita, apa kamu serius ingin melakukan ini? Ini tidak akan mudah lho."
Aku mengatakan itu dengan senyum yang menggambarkan jika diriku sudah mengetahui apa yang ia pikirkan.
Setelah melihat tindakanku, Gita menunjukkan sebuah senyum kecut.
"Huh... Jika kamu sedang serius, dirimu jadi seperti orang yang berbeda. Aku sekarang merasa jurang yang memisahkan jarak kemampuan kita semakin lebar."
"Jangan rendahkan dirimu sendiri, yang membedakan kita hanyalah pengalaman bertarung saja."
"Meski begitu, aku ini sudah melakukan pelatihan Energi Roh semenjak kecil. Tetapi kamu yang masih baru menjadi seorang Praktisi Roh baru-baru ini. Langsung memberikan jarak yang begitu lebar. Aku rasa itu karena perbedaan bakat kita."
Dia menunjukkan sebuah kekecewaan, yaitu kekecewaan yang ia arahkan pada dirinya sendiri.
Ini terasa seperti saat ia membahas perbedaan antara dirinya dengan Kakaknya.
Aku tak bisa membiarkan rasa kurang percaya diri terus menghantui dirinya, jadi akan aku lakukan yang terbaik untuk mengatasinya.
"Aku ini juga sudah berlatih semenjak kecil, meskipun tidak berlatih sebagai Praktisi Roh. Banyak hal yang harus aku hadapi selama pelatihan beladiri tersebut, salah satunya adalah diriku sendiri. Dengan menyadari kelemahan diriku sendiri, maka semakin menjadi lebih baik pula diriku sesudahnya."
"Kurasa kamu memang ada benarnya, padahal aku sendiri tidak tahu dengan apa yang kamu lalui demi mendapatkan semua keterampilanmu itu. Tapi aku sudah mengambil kesimpulan seenaknya, jadi maafkanlah aku."
Gita mengungkapkan penyesalannya sembari membungkukkan tubuhnya kedepan dan pergelangan tangan yang dirapatkan pada bagian badan.
Aku tidak tahu bagaimana harus menyikapinya, namun aku harus tetap menjawabnya agar tidak ada suasana canggung diantara kami.
"Lagipula aku sering melakukan sparing menghadapi Kakek. Yang mana dia sendiri adalah seorang Mantan Tetua Organisasi Pengawas Roh. Jadi itu juga terhitung pengalaman yang bagus dalam menghadapi para Praktisi Roh."
Akhirnya sebuah senyuman bisa kembali hadir diwajahnya.
Untunglah tindakan yang aku pilih merupakan hal yang tepat.
"Jika begitu, tolong ajari aku juga sebuah pengalaman bertarung yang sesungguhnya."
Lalu Gita pun segera mengambil sebuah kuda-kuda untuk bertarung, untuk memberitahuku bahwa ia sudah siap.
Tapi aku rasa perlu untuk memberikan Gita sebuah peringatan dahulu.
"Kamu yakin ingin langsung mencoba pengalaman bertarung langsung dengan diriku? Tidak inginkah dirimu mempelajari beberapa dasarnya terlebih dahulu?"
"Aku yakin, karena dengan pengalaman langsung, aku jadi bisa belajar lebih baik."
Aku menghela napas setelah mendengarkan seluruh kebulatan tekadnya, yang agak ceroboh.
Aku rasa tidak masalah menunjukkannya sedikit pelajaran, dengan begini dia mau belajar lagi dari awal.
SWOOOOOOSHHHH
Dalam sekejap mata saja, aku sudah berada tepat disamping Gita, dengan tangan kiriku sudah memegang bahu kiri milik Gita.
Gita langsung membelalakkan mata selebar-lebarnya, sesudah tersadar dengan apa yang terjadi.
Dia sangat kaget, namun tubuhnya hanya bisa terdiam mematung karena rasa syok yang dia alami.
Karena dia tak sanggup berkata apapun, aku melanjutkan peringatanku pada dirinya.
"Jika tubuhmu belum siap, yang ada nanti hanya dirimu yang terluka. Karena mengontrol dan menahan kekuatan dalam gerakan secepat itu, bukanlah hal yang mudah."