Aku duduk terdiam dan tak percaya dengan hal yang terjadi tepat didepan mataku sekarang.
Mengapa Gita sampai berbuat sejauh ini?
Padahal kemarin disaat aku secara tak sengaja melihat tubuhnya, dia sangat marah padaku.
Butuh waktu dan usaha bagi diriku untuk menenangkan Gita kembali.
Namun sekarang dia memperlihatkan tubuhnya tanpa sungkan, meskipun aku baru saja melakukan hal yang sangat menyakiti hatinya.
Sekarang aku jadi kebingungan harus melakukan apa.
Melihat tubuh Gita yang sangat indah telah membuatku diriku bergelora.
Sebisa mungkin aku menahan hawa nafsu ini dengan mengalihkan pandangan kearah lain.
Rasa gugup muncul disaat aku ingin mempertanyakan maksud dari tindakannya.
"G-Gita... A-apa yang sedang dirimu lakukan?"
Meskipun Gita tengah dirundung malu, dia tetap mempertahankan tindakannya.
Dia menatap lurus padaku dengan wajah manisnya yang sedang kemerah-merahan, saat membalas pertanyaanku.
"A-aku sudah bilang sebelumnya bukan. Maukah kamu mengambil milikku yang paling berharga dan bertanggungjawab untuk itu? Aku ingin mendengar jawabanmu... Aku ingin mengetahui perasaanmu... Jadi cepatlah jawab!... Ini sangatlah memalukan bagiku."
"Itu... Bukankah ini sedikit terlalu cepat? Maksudku, kita memang sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tapi kita belumlah lama saling mengenal, dan kamu mau menyerahkannya begitu saja. Pada pria sepertiku... Pria yang telah melukai perasaanmu."
"Karena aku tulus mencintaimu... Sangat mencintaimu... Ini adalah pembuktian dari perasaanku. Tapi pada saat yang sama, aku juga menginginkan perasaan ini terbalaskan. Jadi biarkan aku mengetahui perasaanmu yang sebenarnya."
Setelah mendengarkan curahan dari isi hatinya, muncul rasa bahagia dalam benakku.
Namun juga diiringi oleh kesedihan dan perasaan bersalah yang menghantuiku.
Aku ingin menerima perasaannya dan bersedia untuk bertanggungjawab.
Tetapi disisi lain aku sekarang sudah memiliki seorang Istri.
Jika aku terburu-buru dalam mengambil langkah, mungkin saja Gita atau bahkan juga Istriku akan tersakiti kembali nantinya.
Aku beranjak dan berdiri dari kasurku, lalu meraih bahu Gita dengan kedua telapak tanganku.
Dengan segenap keberanian, aku menatap wajah Gita secara langsung.
"Janganlah kamu terburu-buru dalam mengambil keputusan, kita masih memiliki banyak waktu untuk saling memahami lebih dalam. Aku ingin kamu mengerti bahwa jauh didalam benakku saat ini, aku sangat takut jika nantinya aku malah menyakiti dirimu lagi. Jadi aku... Tak sanggup untuk melakukannya."
Seketika kekecewaan mulai terlihat melalui pancaran sinar matanya.
Sepertinya aku telah melakukan kesalahan dalam penyampaian ku.
"Kurasa kamu memang ada benarnya... Maaf karena sudah melakukan hal yang bodoh."
Gita menunjukkan senyum, tapi aku mengetahui bahwa ada kepedihan yang disembunyikan oleh senyum itu.
Pakaian miliknya yang sebelumnya dia jatuhkan ke lantai, dia ambil kembali.
Dia tidak langsung memakainya, melainkan menaruh pakaian miliknya diatas meja kamarku terlebih dahulu.
Baru kemudian Gita mengambil bra miliknya untuk dia kenakan kembali.
Seusai dia memakai bra dan meraih bajunya untuk dikenakan kembali, air matanya mulai menetes ke lantai.
"Kamu pasti berpikir aku adalah gadis yang aneh. Melakukan hal-hal bodoh dan kekanak-kanakan karena rasa cemburu. Itu semua karena aku tak ingin ada wanita lain yang memilikimu, jadi aku ingin membuatmu sepenuhnya milikku seorang. Maaf atas sikap egois ku ini... Aku..."
Gita terjeda sejenak dalam penyampaian isi hatinya, gejolak dalam hatinya pasti sedang dalam kondisi puncak.
Setelah itu dia mengusap air mata pada wajahnya menggunakan telapak tangan, sembari melanjutkan kata-katanya.
"Aku rasa lebih baik bagiku untuk kembali ke kamarku. Silahkan istirahat dan memulihkan lukamu terlebih dahulu. Aku tak akan mengganggumu dulu untuk seka-"
TAP!!!
Belum selesai Gita berbicara, aku telah meraih pergelangan tangannya yang tengah mengusap air mata dengan tangan kananku.
"A-Arya?"
"Bagiku... Tak pernah sekalipun kamu melakukan sebuah kesalahan, sekecil apapun itu terhadap diriku. Jadi janganlah mengatakan hal buruk tentangmu seperti itu."
"Tidak perlu bagimu untuk menghiburku, aku sudah menyadari kesalahan-kesalahanku ini."
"Kamu masih belum mengerti juga..."
"Apa maksudmu? Apa yang belum aku menger-"
Tanpa peringatan sama sekali, aku meraih tubuh Gita dan menggendongnya seperti tuan putri.
Tentu saja Gita jadi terkejut karena tindakanku yang begitu tiba-tiba.
"Eeeeehhh???!!! Apa yang sedang kamu lakukan, Arya?"
Aku tak menjawabnya dan terus saja menggendong Gita hingga tubuhnya tepat berada diatas kasurku.
Kemudian aku menaruh tubuhnya secara perlahan diatas ranjang.
Setelah Gita terbaring diatas kasur, aku ikut naik diatas ranjang.
Aku bersandar pada ranjang dengan kedua lengan yang menahan tubuhku, sementara Gita tepat berada dibawahku.
Tindakanku ini sudah membuat Gita terlihat bingung dan juga merasa malu.
"K-kamu ini kenapa? Apa yang ingin kamu lakukan? Bukankah kamu tak sanggup untuk melakukannya?"
"Gita... Bahkan aku juga melakukan hal bodoh dan kekanak-kanakan karena rasa cemburu."
"Huh?"
"Tak mengapa jika terkadang bersikap egois, karena setiap orang juga mempunyai hal-hal yang ingin dijadikan milik mereka sendiri seutuhnya. Begitu juga denganku, aku ingin memiliki setiap bagian dari dirimu... Aku tak ingin ada seorang pun yang menyentuhmu walau sedikit saja... Aku tak ingin ada pria lain yang memiliki hubungan dekat dengan dirimu... Bahkan aku ingin berteriak pada setiap orang bahwa kamu adalah milikku seorang."
Dikarenakan pernyataanku barusan, wajah Gita kembali memerah padam.
"Aku heran padamu, Arya. Kenapa kamu sanggup untuk mengatakan hal yang amat memalukan itu? Aku sendiri saja tak sanggup untuk mengungkapkan keegoisanku dengan begitu gamblang. Tapi aku cukup merasa senang, bisa mendengar mengenai perasaanmu terhadap diriku."
Sangat melegakan setelah mendengar penuturannya, namun matanya kemudian melirik kesamping dengan pancaran sedikit kesedihan.
"Yah... Meskipun aku sudah memberikanmu kesempatan untuk memenuhi keegoisan mu, dan berakhir penolakan. Tapi untuk saat ini, mungkin itu semua sudah cukup bagiku."
"Kamu tahu Gita? Sejak tadi aku selalu menahan diri. Aku benar-benar takut jika salah dalam mengambil keputusan, kemudian nantinya akan berakhir dengan kamu yang kembali tersakiti. Tapi aku sudah tidak kuat untuk menahan ini lagi. Jika kamu memang mengizinkan ku maka..."
Wajahku dengan perlahan, aku dekatkan dengan wajah milik Gita.
Suasana jadi terasa lebih panas dari sebelumnya, sementara jantungku berdegup semakin kencang.
Suara napas kami terdengar semakin jelas dalam kesunyian ini.
Kami saling menatap untuk sesaat, dengan wajah yang sama-sama merona.
CUP!!!
Sebuah kecupan dari bibirku, akhirnya telah mendarat pada bibir milik Gita.
Berbeda dengan ciuman pertama dengannya yang ditemani sebuah perlawanan.
Kali ini dia benar-benar menerimanya dengan sepenuh hati.
Tak lupa kami saling berpelukan diatas ranjang untuk berbagi kehangatan.
Air mata kami menitik secara bersamaan, karena gejolak emosi kami akhirnya dapat terlepaskan.
Ciuman ini semakin intens, hingga lidah kami saling bermain.
Setelah beberapa waktu berselang, aku memindahkan bibirku menuju leher Gita.
Aku memainkan lehernya dengan kecupan dan beberapa gigitan kecil.
"Ah... Uh..."
Sementara itu Gita memeluk erat kepalaku, ditemani desahan yang terdengar manis.
"Gita, jika sudah seperti ini... Apakah boleh bagiku untuk melakukan lebih dari ini?"
"Uhm... Selama kamu bersedia bertanggungjawab untuk itu."
"Jika begitu, aku tak akan sungkan lagi."
Tanpa rasa ragu sama sekali, aku meraih pengait bra pada punggungnya.
Setelah pengait itu terlepas, aku dengan lembut dan perlahan menyingkirkan bra yang Gita kenakan.
Hingga buah dadanya yang nampak begitu indah dan menggoda, terlihat jelas oleh mataku, meskipun sedang berada dalam kondisi remang-remang.
Membuatku sangat tergiur, sampai aku menelan ludah.
Meski tanganku amat gemetaran, namun tidak menghentikannya untuk bergerak meraih keindahan itu.
"Uh..."
Sekali lagi Gita melepaskan desahan, seusai tanganku menggenggam buah dadanya.
Telapak tanganku tenggelam dalam kelembutan yang luar biasa.
Aku kemudian mulai memainkan dadanya dengan kedua tanganku.
Gita nampak begitu pasrah dan menerima semua perlakuanku, karena itu pula aku semakin bergejolak.
Nafsu ini semakin memuncak, dengan penuh hasrat bibirku bergerak untuk merasakan juga kelembutan yang telah dinikmati oleh tanganku.
Bibirku menghisap putingnya yang berwarna merah muda dengan nikmatnya.
Desahan Gita semakin keras jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Kami saling memberi kenikmatan untuk beberapa menit, aku sungguh berharap waktu saat ini tidak segera berakhir.
BRAAAKKK!!!
Tepat disaat aku masih menikmati tubuh Gita, terdengar suara pintu yang terbuka agak kasar.
Membuatku dan Gita seketika menoleh pada sumber suara tersebut.
Ternyata seseorang telah membuka pintu kamarku yang mana belum sempat aku kunci, dan saat ini dia tengah berdiri terpaku didepan pintu.
Orang itu tidak lain adalah Istriku, yaitu Maharani Candramaya.
Sepertinya dia sudah mengganti pakaiannya, dia sudah mengenakan piyama berwarna merah muda, kurasa itu adalah milik ibuku.
Dia benar-benar cocok mengenakannya, sampai aku tak bisa berkata-kata.
Sekilas aku seperti melihat sosok ibuku sendiri, walaupun warna rambutnya berbeda.
Bentuk wajah mereka hampir mirip, meski Istriku masih terlihat lebih cantik dengan fitur wajahnya.
Aku tertegun untuk beberapa saat karena penampilannya.
Sementara Istriku masih terdiam setelah melihat perbuatan yang tengah aku dan Gita lakukan.
Terjadi keheningan sesaat, dimana kami saling menatap.
Sebelum aku melakukan respon terhadap situasi saat ini, Gita sudah melakukannya terlebih dahulu.
"Apa kamu marah? Tapi kamu tidak berada dalam posisi untuk itu. Karena dari awal, Arya sudah menjadi milikku lebih dahulu. Lalu kamu datang dan mencoba merebutnya dariku. Aku hanya mengambil kembali apa yang sudah menjadi milikku."
Aku tak bisa menyanggah ucapan Gita, karena memang sebelum aku bertemu dengan Istriku, aku sudah menjalin hubungan dengan Gita lebih dahulu.
Istriku masih terdiam tanpa kata-kata, hanya memandangi kami saja.
Namun akhirnya dia bereaksi juga dengan mengembungkan pipinya, tapi aku tak melihat ada rasa amarah darinya.
Kemudian dia mulai berlari kecil dan melompat diatas tubuh kami.
"Eeeeeeehhh???!!!!"
Aku dan Gita jadi teramat kaget karena tindakannya yang diluar perkiraan.
BRRUUUGGG!!!
Istriku jatuh dan menimpaku beserta Gita yang masih berada diatas ranjang.
"Ugh!"
"Ouch!"
Kami yang ditimpa oleh Istriku jadi sedikit merintih karena harus menahan tekanan dari tubuh Istriku.
"Uuuhhh... Curang, hanya aku yang ditinggal tidur sendiri. Aku juga tidak mau tidur sendirian."
Aku dan Gita pun hanya tersenyum kecut setelah melihat tindakannya dan mendengar kalimat tak terduga yang terucap dari mulut Istriku sendiri.
"Istriku, apa kamu tidak marah sama sekali atas situasi ini?"
"Kenapa aku harus marah?"
Dia menjawab pertanyaanku begitu entengnya bersamaan dengan wajah polosnya.
"Apa kamu tidak memahami situasi kita sekarang?"
"Tentu saja aku paham... Setelah bertengkar, akhirnya kalian bisa berbaikan juga. Aku turut senang akan hal itu, hanya saja aku jadi kesal. Karena aku jadi dilupakan dan ditinggalkan sendirian dalam kamar sepi itu. Aku juga ingin tidur dengan ditemani Arya."
Gita yang turut mendengarkan jadi menghela napasnya.
"Hufft... Sepertinya aku sudah terlalu mengkhawatirkan hal yang tidak-tidak tentang hubungan kalian... Eh he he..."
Setelah melihat Gita bisa tertawa kecil, rasa lega muncul didalam benakku.
Aku juga ikut menghela napas, karena rasa yang membebani hatiku jadi sedikit berkurang.
"Arya, sepertinya aku tidak perlu terburu-buru. Lagipula kita juga tak bisa melanjutkannya dalam keadaan seperti ini."
"Kurasa memang ada benarnya, lebih baik kita tidur saja untuk sekarang."
"Yah... Kita juga sudah sangat kelelahan setelah semua keributan tadi. Kali ini tolong temani aku tidur sekali lagi."
"Aku akan sangat merasa senang untuk itu, Gita."
Ditengah perbincangan kami, Istriku juga ikut menyahut.
"Aku juga ingin tidur ditemani Arya."
"Sebelumya aku sudah berjanji padamu dan Ananta bahwa aku akan selalu berada disisimu. Jika kamu memang menginginkannya, maka dengan senang hati akan kulakukan, Maharani. Uumm... Rani... Boleh aku memanggilmu Rani saja?"
"Boleh, aku sangat menyukainya."
Kemudian Rani pun memeluk tubuhku dan menggerakkannya agar lebih condong pada dirinya.
Gita jadi cemberut dan tidak mau kalah, dia juga melakukan tindakan sama dengan yang dilakukan oleh Rani.
Setelah saling berebut, akhirnya berakhir dengan aku tertidur terlentang.
Kedua pergelangan tanganku, dijadikan bantal oleh mereka berdua sembari memelukku ketika tidur.
Akhirnya kami bertiga bisa tertidur dalam kehangatan yang nyaman.
***
Mataku perlahan mulai terbuka, karena suara yang agak mengganggu telah membangunkan ku dari tidur.
Ketika mataku terbuka dan melihat langit-langit yang sudah diterangi oleh cahaya, aku tahu jika pagi telah tiba.
Tapi suara yang mengganggu dan membuatku terbangun itu, memunculkan rasa penasaran dalam benakku terkait sumbernya.
Aku pun menoleh untuk melihat sumber suara itu, tapi setelah melihat sumbernya, aku jadi sangat kaget dan ketakutan.
Ternyata sumber suara itu dari Dhita yang tengah menggeram.
Adik perempuanku sekarang sudah berdiri didekat kasurku dan menatapku dengan raut wajah yang jelas menahan amarah.
"Ugh... Dhita... Ini sebenarnya kondisi yang sangat rumit. Jadi bisa tolong biarkan privasi Kakak sebentar saja?"
Aku mengakhiri ucapanku dengan sebuah senyum kecut.
Sementara Dhita malah semakin meledak-ledak, jika dilihat dari dahinya yang semakin berkerut dan gemetaran pada tubuhnya semakin hebat.
"Privasi? Privasi? Membiarkannya sebentar?"
Lalu Dhita melangkah semakin dekat lagi dengan kami, sementara Gita dan Rani mulai terbangun.
"Privasi MATAMU!!!! KAKAK MESUM YANG TERAMAT BRENGSEEEEEKKKKK!!!"
Setelah meneriakkan rasa kesalnya, Dhita melompat keatasku dan melakukan smack pada tubuhku menggunakan sikunya.
BRUUUUGHHH!!!
"UUUAAAGGGHHH!!!"
Sial, kenapa selalu saja berakhir begini?!