Sudah gue bilang, La, Lo itu pusat poros gue. Nurut aja apa kata takdir, dia ingin Lo jatuh cinta lagi sama gue_Dastan.
.
.
.
Skala sedang menunggu jemputannya saat sebuah motor berhenti di depannya. Lelaki di atas motor tersebut membuka helmnya, tersenyum ke arah Skala.
"Pulang bareng gue, yuk, La," ajak Dastan.
"Ehm, nggak usah, Das. Supir gue jemput kok," tolak Skala tersenyum tipis.
"Pak Udin nggak bisa jemput sekarang, tadi gue ketemu di jalan. Mobilnya lagi bermasalah, gue udah bilang kok, sama Beliau," jelas Dastan.
"Tapi..."
Pesan masuk dari supir Skala membuat kalimat gadis itu terhenti. Dahinya berkerut saat membaca pesan tersebut, semua yang dikatakan Dastan barusan sama persis seperti isi pesan dari Pak Udin. Bahkan supirnya itu juga meminta Skala untuk pulang dengan Dastan.
"Dari Pak Udin, 'kan?" tanya Dastan menebak dengan tepat sasaran.
"Lo kok kenal sama Pak Udin, sih?" tanya Skala heran.
Dasyan hanya tersenyum. "Gue sering main ke rumah Lo. Dulu."
Sebelum ingatan Lo hilang.
"Berarti kita dulu nggak sekedar teman satu sekolah aja, tapi lebih akrab dari itu? Teman yang gimana?"
"Ngobrolnya sambil makan aja yuk!" ajak Dastan, tak nyaman berada di Deandles lama-lama.
"Makan?"
"Di McD. Bentar doang kok. Kalau Lo masih ragu, gue ijin ke Mama lo, deh," bujuk Dastan.
"Ehm, nggak usah deh. Lagian gue juga laper," celoteh Skala. Teringat dengan kejadian di kantin tadi, saat Binar merebut makanan miliknya dengan sengaja.
Dastan memberikan helm serupa miliknya kepada Skala. Menunggu sampai gadis itu duduk di belakangnya.
"Pegangan di pinggang gue nggak masalah kok, La," celoteh Dastan melirik Skala dari kaca spion.
"Hah? Ehm." Ragu-ragu Skala meraih jaket merah milik Dastan, mencengkeram jaket tersebut tanpa menyentuh pinggang lelaki tersebut. Membuat si pemilik jaket tersenyum geli.
"Udah?"
"Hehm."
"Oke."
Dastan mengajak Skala makan di restoran cepat saji yang berada tak jauh dari sekolah Deandles. Memarkirkan motornya, kemudian membantu Skala turun dari atas motor.
"Eh, kok gue baru ngeh, sih. Ini helm couple ya?" celetuk Skala merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Dastan ikut merapikan rambut Skala. "Hehm," sahutnya singkat.
"Pacar Lo, ya?" tebak Skala tersenyum.
Dastan menatap manik mata Skala yang juga menatapnya. Senyum mengejek gadis itu berubah menjadi senyum salah tingkah.
"Ayo masuk!" ajak Dastan tak berniat menjawab pertanyaan dari Skala barusan.
Mereka berdua masuk ke dalam restoran yang cukup ramai. Berjalan menuju konter pemesanan dan kedatangan mereka disambut ramah oleh pegawai restoran yang berjaga.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" tanya pegawai restoran itu tersenyum ramah.
"Saya pesan..."
"Pesan yang biasa aja, Mbak," ujar Dastan memotong ucapan Skala.
"Oke. Ngomong-ngomong kok lama nggak ke sini ya, Mas. Biasanya pulang sekolah kalian selalu nongkrong di sini," ujar pegawai itu sembari menyiapkan pesanan Dastan.
"Hah?" Skala terlihat bingung.
"Lagi marahan, Mbak. Ini baru baikan," celoteh Dastan tersenyum.
Pegawai restoran itu hanya tersenyum. "Biasa, Mas. Hubungan itu selalu ada berantemnya."
Dastan hanya tersenyum tipis.
"Ini pesanannya. 2 burger. Satu double keju tanpa sayur dan mayonaise, satunya lagi tanpa keju, sayur dan double patty. Minumannya 2 botol air mineral."
Skala di buat bingung dengan pesanan tersebut. Dia memang menyukai keju dan tidak suka sayuran maupun mayonaise, tapi bagimana bisa Dastan mengetahui hal detail tersebut. Walaupun bingung, Skala mengikuti langkah Dastan yang berjalan menuju sebuah meja kosong. Mereka mengambil tempat duduk di pojok restoran.
"Pertama, Lo sering ke sini? Sampai Mbaknya tadi hafal sama Lo. Kedua, kok Lo bisa tahu detail pesenan gue," tanya Skala tanpa basi-basi langsung menanyakan kebingungannya.
"Pertama. Iya, gue sering datang ke sini. Kedua, kita pernah makan di sini dan itu pesanan Lo saat itu. Gue cuma ingat apa yang Lo suka dan apa yang nggak Lo suka. Setiap kita datang ke sini, pesanan Lo selalu sama."
"Sesering itu kita ke sini, sampai Lo hafal detail pesanan gue?" tanya Skala heran.
"Lumayan," jawab Dastan tak acuh.
"Terus maksud omongan Lo tadi apa?" tanya Skala lagi.
"Yang mana?" tanya Dastan mengambil botol minuman Skala dan membuka tutup botolnya.
"Baikan atau apalah tadi."
"Iseng aja. Udah makan gih," suruh Dastan. Lelaki itu tidak ingin membahas masalah tersebut lebih lanjut lagi.
Skala mencoba fokus dengan burger miliknya. Namun fikirannya yang belum puas dengan jawaban-jawaban dari Dastan tak membuatnya tenang. Gadis itu sesekali melirik ke arah lelaki di hadapannya, mencoba mencari tahu sosok lelaki itu melalui ekspresinya.
"Ngomong-ngomong, dulu kita sedekat apa?" tanya Skala menatap dalam wajah Dastan. Perubahan itu, Skala dapat menangkap raut wajah Dastan yang berubah sendu.
Dastan diam sejenak. "Lo tau tentang gue dan gue juga tau tentang Lo. Baik buruknya gue, Lo tahu semua, La," jawab Dastan lirih. "Itu cukup menjawab pertanyaan dari Lo, 'kan?"
Skala diam sejenak, menyelami jawaban Dastan yang menurutnya penuh misteri. Lalu dia mencoba untuk mengingat sosok di hadapannya, mencoba menggali lebih dalam ingatannya yang bersembunyi. Semakin dia berusaha, kepalanya semakin terasa pening.
Melihat Skala memegangi pelipisnya, Dastan menatap gadis itu was-was. "Kenapa?"
"Pusing," sahut Skala pelan.
"Mau pulang aja atau dibeliin obat," tany Dastan panik. "Kita ke rumah sakit aja, ya?" ujarnya kemudian panik.
"Nggak apa-apa, Das. Udah biasa kok, emang sering pusing kalau gue mulai ingat sesuatu." Skala tersenyum tipis.
Gadis itu menangkap sebuah momen, di malam hari, di jalan raya. Dia bersama dengan Dastan.
Dastan masih menatap Skala khawatir. "Lo ingat sesuatu?" tanyanya lirih. Sedikit berharap tentu saja, apalagi jika kenangan yang Skala ingat menyangkut tentangnya.
"Gue ingat sama lo," sahut Skala. Gadis itu mengabaikan kepulan burger hangat di tangannya. Menatap lelaki yang duduk di hadapannya dengan serius.
"Lo ingat sama gue?" seru Dastan antusias.
Skala mengangguk mengiyakan. "Gue ingat kejadian malam itu, pas gue ketemu sama Lo di... di jalan arah pulang sekolah. Waktu itu Lo naik motor gede, terus ada Binar juga."
"Binar?" Dastan mengerutkan keningnya, berfikir tentang momen yang dimaksud oleh Skala. "Oh, itu pertemuan kedua kita," celetuknya saat teringat.
"Pertemuan kedua? Pertemuan pertamanya?"
"Itu... Lo ingat-ingat aja sendiri," oceh Dastan. Lelaki itu tersenyum geli saat melihat ekspresi kesal di wajah Skala.
Mengabaikan ocehan Dastan barusan, Skala kembali menceritakan kejadian yang ia ingat. "Waktu itu Binar kecelakaan, terus kalian berantem. Kejadiannya kalau nggak salah...."
"Seminggu setelah MOS," sambung Dastan.
Sebulan sebelum kita jadian.
"Oh, gitu. Wah, berarti kita udah kenal dari kelas satu dong," gumam Skala manggut-manggut.
Dastan tersenyum tipis. "Lo tau nggak, setelah kejadian itu, Lo jadi benci banget sama gue."
"Hah? Kenapa?" tanya Skala kaget.
"Katanya Lo ingat."
"Iya, pas kejadian malam itu doang. Setelahnya gue masih nggak ingat. Kenapa, sih? Walaupun sikap Lo malam itu nyebelin, tapi gue bukan tipe orang yang suka baper cuma karena hal sepele," oceh Skala kembali menggigit potongan burger di tangannya.
"Gue orang yang nyebelin, La. Sama seperti Binar saat ini."
Skala pun terdiam.
"Dia masih gangguin Lo?" tanya Dastan.
"Hehm? Ehm... Ya gitu deh," sahut Skala tak acuh.
"Kalau emang udah kelewatan, Lo bilang sama..."
"Gue bisa ngatasin Binar, Lo tenang aja," ujar Skala pelan. "Das...," panggilnya ragu-ragu.
"Kenapa?" tanya Dastan kalem.
"Jujur sama gue. Perlakuan Binar... Itu ada hubungannya sama kejadian malam itu?"
Dastan diam. "Jauh sebelum itu. Jauh sebelum kita kenal. Maafin gue, La."