"Mau apa?"
Dario menatap malas Safna yang kini menyodorkan sekotak makan bewarna cokelat ke arahnya. Gadis yang tampilannya sedikit urakan itu menggerakkan tangannya sendiri untuk membuka kotak bekal yang di bawanya.
Safna mengangguk. "Lo males ke kantin, karena rame, kan?"
Mau tak mau Dario mengangguk membenarkan. "Terus lo gak lapar gitu, Kak?"
Dario menggeleng.
"Yaudah, berhubung gue baik, gue bawain bekal buat elo. Gak di kasih racun kok, tenang aja."
Safna menyerahkan garpu setelah ia usap dengan tissue kepada Dario. "Nih, telur gulung. Gue buat sendiri." Safna terkekeh melihat raut wajah Dario.
"Gak kelebihan yodium, Kak. Jadi gaada risiko lo kena darah tinggi."
Dario menatap Safna di sebelahnya dan mengangguk-angguk. Ia mencium telur gulung itu dan benar, tak ada bau mencurigakan.
Dario mulai menggigit telur itu dan rasanya memang enak, ia mengakui. "Enak, Saf."
Safna tersenyum. "Lo ... Bisa masak?" tanya Dario.
Safna mengarahkan kedua tangannya ke belakang untuk menyanggah tubuhnya. "Sedikit. Suka kepo sama nyokap kalo lagi masak, masakannya enak jadi gue kepo."
Dario mengangguk-anggukan kepalanya. "Gak nyangka aja, sih. Secara lo ...," Dario menggantungkan ucapannya. Safna lagi-lagi terkekeh. "Tampilan gue ya emang gini, Kak. Gue tipikal cewek yang gak mau ribet. Tapi kalo ngerawat diri sekali-sekali sih iya. Santai bukan berarti gue memperjelek diri, iya kan?"
Dario memandang telur gulung di hadapannya dan melahapnya. "Iya, cewek gue juga begitu. Kalo soal tampilan sama prinsipnya sih mirip. Tapi gak tau kalo sifatnya."
Safna tersenyum miring tanpa sepengetahuan Dario. Dario melihat ke arah Safna setelah gadis itu menormalkan wajah. "Lo mau?"
Safna berdeham penuh kemenangan. Matanya mengode kepada temannya yang sedang duduk di kursi panjang cokelat tak jauh dari mereka. "Boleh."
Dario menyuapi Safna tanpa sadar. Safna menerima suapan itu dengan senyum penuh kemenangan. Temannya di kursi sana memotret diam-diam tanpa sepengetahuan Dario.
I got 1 point. Safna tersenyum miring.
Dario tersenyum lucu pada Safna. Safna tertegun sebentar dan membalas senyuman Dario dengan canggung.
"Nih," Dario menyerahkan kotak makan Safna yang bewarna biru itu. Safna menerimanya. "Makasih banyak ya, Saf!"
Safna mengangguk.
"Ehm, Saf," Dario mengusap tengkuknya dengan canggung. Gadis dengan rambut terkuncir buntut kuda itu menoleh.
"Atas dasar apa semua ini?"
Safna terdiam dan membatin, sh*t!
"Apa perlakuan baik seseorang selalu buat lo berpikir negatif, Kak?" Safna memutar kata. Ia semakin merasa menang saat melihat gelagat Dario yang merasa tak enak.
"Nggak, sih." Dario menatap gadis di sebelahnya itu. "Cuma kan gue merasa aneh, Saf. Lo terlalu tiba-tiba buat hal ini."
"Udah, Kak. Santuy. Gue cuma pengen berteman aja sama elo."
"Te-teman?"
Safna mengangguk.
Dario tersenyum ceria, bahkan sampai Safna tertegun lagi. Dario mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Safna. "Teman?"
Safna menautkan jari kelingking mereka dengan canggung. "Te-teman!"
***
Dario agak risih, sedari tadi Flora terus mengajaknya ke sana kemari.
Jika bukan karena Frisca yang memaksanya agar mau mengikuti Flora, mungkin sekarang ia sudah ada di rumah Emilia dan pastinya sekarang ia sedang tertawa karena ucapan galak gadisnya.
Sudah tiga hari mereka tidak bertemu, dan Dario sudah sangat merindukan gadisnya yang galak itu. Membayangkan Emilia berucap ketus dan memukulnya saja sudah membuat cowok berambut cokelat itu tersenyum membayangkannya.
Flora yang melihat Dario tersenyum sambil melihatnya mengulum senyumnya. Mereka sedang ada di toko baju dalam mall dan Dario menunggu gadis itu mencoba pakaiannya di depan ruang ganti, sesekali memberi komentar jika di tanya.
"Eh, bajunya bagus ya? Yaudah deh gue ambil yang ini aja."
Anggap saja Flora ge-er. Tapi melihat Dario tersenyum saat ia keluar dengan baju itu sudah membuatnya senang. "Mbak, tolong ambil bajunya."
Pegawai toko mengangguk dan membantu Flora melepas pakaiannya.
Dario yang tersadar langsung berdeham dan menggerutu. "Flora ge-er banget sih. Ish Dario kangen banget sama Lia!"
Cowok itu meraih ponselnya dari dalam saku dan men-dial angka 0. Sengaja ia berikan untuk Emilia dan hanya Emilia.
Masih berdering, barulah pada deringan kelima benda pipih itu mengeluarkan suara gadisnya yang ia rindukan.
"Liaaaa!" rengek Dario. "Gue kangen."
Terdengar dengkusan dari sebrang yang membuat cowok itu terkekeh. "Gak usah alay, anjing!"
"Ish," rajuknya. "Gue mah kurang sabar apa coba sama elo. Di kata-katain, di bentak, di teriakin, di bikin kesel, di pukulin. Berasa samsak."
"Yaudah," Emilia berdeham. "Putus aja!"
"APA?" pekik Dario, Emilia di sebrang sana malah memutar bola matanya jengah.
"Jangan telepon aku dulu sampe aku sampe rumah kamu!"
Tut-
***
"LIA!!!"
Dario berjalan dengan terburu setelah membuka pintu rumah Marchel. Dario celingukan di ruang tamu karena tak ada orang, biasanya ada Rachel yang duduk di sofa ruang tamu.
"LIA!"
Saat Dario ingin berjalan menaiki tangga menuju kamar Emilia, cowok itu menoleh ke arah ruang tamu dimana terlihat Rachel sedang menatapnya sambil menggenggam tongkat golf di tangannya.
"Apaansi lu Fakboi?"
Dario mendekat. "Lia mana, Ma?"
Rachel mengarahkan tongkat golf di genggaman. "Di ruang golf."
Tanpa merespon lagi, Dario langsung berjalan terburu menuju ruang kaca yang langsung menghadap ke arah taman samping rumah Marchel.
Rachel hanya menatap Dario sambil meminum air putih yang ada di dalam gelas genggamannya.
"Pala batu, ya."
Dario menbuka pintu kaca lebar itu dan terdiam saat melihat Emilia sedang mengambil posisi untuk memukul bola golf di hadapannya.
Lia kok cantik, sih? Tanyanya dalam hati.
Dario maju memerhatikan Emilia yang kini memakai kaos bewarna abu-abu serta rok dan topi merahnya.
Dario menelan liur. "Ehm, Lia ngapain?" Dario bertanya sambil mengusap tengkuk dan memiringkan kepala sedikit ke kanan. Emilia yang sedang mengambil posisi untuk memukul pun terkejut.
"Eh anjing! Bikin kaget aja lo!"
Dario memajukan bibirnya dan melipat tangan. "Pacarnya dateng malah di katain!"
Emilia melengos. "Peduli?"
"Kamu jahat banget, sih Li!"
"Lo lebih!"
"Loh kok gue?"
"Iya elo, mau apa lo?"
"Gue salah apa, sih?" Dario dalam mode random. Emilia mendengkus sinis.
"Harus banget gue bilang? Dewasa dikit lah masa harus di kasih tau?"
"Apaan sih, Li?" Dario menggaruk ujung alis.
Emilia maju menghampiri cowok berambut cokelat itu sambil membawa tongkat golfnya di pundak kanan. "Lo yang apa!"
"Hah?"
"Lo jalan sama si Flora Fauna ngapain?"
Dario tertegun.
"Li?" Dario panik. "Ka-kamu marah?"
Emilia memutar bola mata.
"Sumpah, Li. Aku di suruh sama Mama Caca! Aku nggak bohong!"
"Oh ya?" Emilia melipat tangan.
"Beneran Li. Please, percaya sama aku!"
Emilia tak menjawab, gadis memutar bola mata sambil menyunggingkan senyum miring dan berlalu sambil menyenggol bahu Dario dengan kencang.
"Orang kalo udah bohong sekali, bakal ketagihan. Kebohongan pertama itu bakal berujung ke kebohongan lain. Dasar gak ada otak!"
Dario mengelus dada. "Nasib orang ganteng," Ujarnya sebelum menyusul Emilia.
***