Galena menghela napasnya dengan gusar saat melihat permen karet yang menempel di kursinya. Buang jauh-jauh pikiran anda jika Galena akan bersusah payah menyingkirkan permen karet itu dari kursinya. Di lirikmya kursi sebelah yang tak lain merupakan tempat duduk milik Vano. Memangnya hanya Vano saja yang memiliki akal busuk licik seperti itu, Galena juga punya kali.
Selagi di kelas baru hanya ada murid sebanyak 5 orang saja, tanpa membuang waktu Galena menukar kursinya dengan kursi milik Vano.
Bibirnya tertutup rapat berusaha menahan tawa, sungguh Galena sudah tidak sabar melihat reaksi Vano nanti saat menyadari permen karet menempel di celana abu milik Vano. Hanya dengan membayangkannya saja sudah ingin membuat Galen tertawa sangat kencang.
Bel masuk berbunyi, satu persatu murid masuk ke dalam kelas. Vano masuk ke dalam kelasnya dengan gaya pongah. Sedangkan Galena sendiri sudah larut dengan buku paket sejarah yang sedang di baca.
"Rajin amat lo, si amat aja gak rajin." cibir Vano sambil meletakkan tas di atas meja kemudian menghempaskan bokongnya begitu saja ke atas kursi. Galena menahan tawa sambil sesekali melirik Vano.
"Gue emang belum liat lo senyum tapi lo jangan senyam senyum sendiri juga," komentar Vano. Galena mendelikkan matanya menatap Vano, seketika senyumannya luntur begitu saja.
"Bibir bibir gue ini." Ketus Galena tak mau kalah.
Kemudian masuklah guru sejarah ke dalam kelas pertanda jika kelas akan segera di mulai. Jujur saja, Galena sangat membenci sejarah ralat semua pelajaranpun memang tak ada yang Galena sukai.
Apapun yang berhubungan dengan masa lalu Galena lebih tidak menyukainya. Kalau kata Galena, 'Ngapain sih yang lalu di ungkit-ungkit lagi? Gak bisa move on? Mending bahas masa depan dari pada bahas masa lalu.'
Meskipun sebenarnya bagi siapapun wajib mengetahui bagaimana terjadinya tragedi di kehidupan masa lampau.
Memang Galena menyukai membaca novel yang halamannya bahkan lebih dari 500 lembar tapi bukan berarti Galena menyukai sejarah yang terdapat banyak cerita.
Setengah jam telah berlalu, kelas terasa sangat hening karena tak ada yang murid bebicara, semuanya sibuk memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi membuat Galena sedikit bosan.
Apa lagi teman sebangkunya ini sangat fokus mendengarkan sang guru berbicara. Sungguh mudah di tebak jika Vano adalah sosok yang sangat mencintai sejarah.
Terdengar suara decitan kursi di sebelah Galena yang mengudang perhatian Galena, sontak Galena menengok ke sampingnya. Vano berdiri dari posisi duduknya, lelaki itu hendak membenarkan posisi duduknya. Namun saat Vano berdiri ia merasakan 'sesuatu' yang membuatnya menjadi lengket antara celana dan kursi.
Galena yang melihat benda berwarna pink alias permen karet yang menempel di celana Vano tak kuasa menhan tawanya. Galena menggigit bibirnya berusaha menahan tawa sehingga bahunya bergetar kecil. Merasakan ada sesuat di bagian belakang celananya, kemudian di raba bagian yang Vano merasa 'janggal'.
Sontak, Vano melototkan matanya menyadari jika permen karetlah yang menempel di celananya.
Melihat reaksi Vano seperti itu membuat Galena semakin ingin tertawa, kemudian di luar kendali Galena tertawa kencang di tengah kelas yang sedang serius-seriusnya. Membuat sang guru memberhentikan penjelasannya sesaat, begitu juga dengan murid lain yang langsung menengok ke sudut kelas. Tawa Galena mengundang banyak perhatian.
"HAHAHAHAHAHA," meledaklah tawa Galena.
Sang guru berjalan menghampiri meja Galena dan Vano, Galena sendiri mulai meredakan tawa nya. "Kenapa Glen? Merasa ada yang lucu?" meskipun sang guru bertanya tanpa ada nada bentakan tapi pertanyaannya terdengar cukup horror.
Tangan Vano teangkat menunjuk Galena. "Dia yang nempelin permen karet di kursi saya bu! Lihat nih, permen karetnya jadi nempel di celana saya," adu Vano seperti sedang mengadu kepada bundanya jika barusan balon miliknya telah di rebut oleh teman. Manja namun terlihat sangat menggemaskan.
Galena mendelikkan matanya menatap Vano."Lo yang nempelin peren karet di kursi gue! Emang gue gak tahu akal busuk lo hah?" kesalnya.
Brak!
Sang guru memukul meja cukup keras membuat perdebatan Galena dan Vano terhenti. Baik Vano maupun Galena langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Diam! Awas ya kalau kalian berisik lagi saya keluarkan kalian dari kelas. Yaudah sana Vano kamu ke kamar mandi, bersihin dulu permen karetnya."
"Say--aww!" Vano meringis saat kaki nya di injak oleh Galena. Karena gadis itu tahu pasti Vano akan mengeles yang tidak-tidak kepada sang guru.
Vano melototkan matanya menatap Galena kembali. 'APA?' seakan-akan mereka berdua sedang berbicara melalui telepati.
Galena berdecak kemudian kembali fokus kepada buku paket sejarahnya lagi tanpa sadar sebuah senyuman masih menghiasi wajah cantik Galena. Namun Vano berhasil menyimpulkan sesuatu dari kejadian barusan, yaitu, ini adalah pertama kalinya ia melihat Galena tersenyum dan senyuman itu terukir karena dirinya.
Terbesitlah rasa ingin Vano untuk membuat Galena tersenyum seperti itu lagi, bahkan senyuman yang lebih lebar dari pada itu. Lebih tepatnya Vano ingin membuat Galena bahagia.
Sudut mata Vano menangkap Austin yang sedang tertawa kecil di pojok sana. Hanya dengan melihat tingkah Austn, Vano bisa langsung menyimpulkan jika Austinlah dalang dari kejadian permen karet ini.
***
Bel berbunyi dan pelajaranpun silih berganti. Dari pelajaran sejarah menjadi pelajaran geografi. Begitu juga dengan kepemilikkan meja di depan Galena dan Vano. Yang tadinya Cintia dan Rahma kini menjadi Austin dan Kelvin. Austin dan Kelvin memasang wajah sumringahnya berbeda dengan Vano yang mendengus kesal.
"Apa-apaan lo jadi duduk di depan gue? Lo gak tahu kalau gue ngeliat lo itu bikin mata gue jadi sakit," protes Vano tak terima jika Austin akan 'kembali' duduk di hadapannya seperti tahun lalu.
"Maruk banget sih lo guguk. Sebelah lo ada yang bening ngapain masih mau sama si bendahara yang udah kayak preman itu. Cantik iya, tapi serem." Gidik Austin di buat tampang semengerikan mungkin.
"GUE DENGER BEGO!" teriak Cintia dari tempat duduknya, padahal gadis itu sedang sibuk membaca sebuah novel terjemahan best seller di Amerika.
Austin mendekatkan dirinya kepada Vano. "Noh kan? Serem, kayak preman." Bisiknya.
Sedangkan Galena tak ingin menyapa Austin maupun Kelvin sedikitpun. Baru kemarin Galena menjadi bahan tawaan mereka dan Galena sendiri tak sebaik itu untuk member senyuman kepada orang yang telah membuat gara-gara dengannya. Galena tidak sebaik tampangnya. Percaya atau tidak, Galena adalah penyimpan dendam yang baik.
"Hai murid baru. Lo gak mau sapa gue gitu?" sahut Kelvin kepada Galena yang sedang sibuk mengerjakan latihan soal yang berada di buku paket.
Masih sama, Galena tak mengacuhkan Kelvin. Bahkan menatap Kelvin sedikitpun Galena enggan.
"Nah loh, seraman mana dia sama Cintia?" tanya Vano membuat Galena mendengus.
"Lo bertiga kalau mau ngomongin gue mending di belakang. Tanpa sepengetahuan gue," ucap Galen tanpa menatap lawan bicaranya.
"Bukannya cewek sering bilang yak kalau mau ngomongin tuh langsung di depan mukanya, jangan munafik katanya." Balas Kelvin jujur.
"Tapi gue lebih nyaman kalau gue gak tahu,"
Austin, Kelvin dan Vano saling melempar pandangan satu sama lain.
Satu hal yang bisa mereka simpulkan. Galena berbeda. Tapi Vano malah menangkap arti air muka Galena hingga detail. Dan hasil asumsi Vano adalah Galena merupakan gadis yang kesepian.