Anastasya Guinea, biasa di sapa akrab Ana. Gadis Indigo tapi gaul inisudah sangat dekat dengan Vano semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Jika biasanya orang yang memiliki kelebihan Indigo selalu di kucilkan dan jauhkan oleh teman-temannya, berbeda dengan Ana. Mempunyai kelebihan itu bukanlah sebagai penghalang untuk bergaul dengan teman-temannya. Karena Ana orangnya memang asik, fashionable, pintar, ramah dan cantik membuat kelebihannya itu tidak di jadikan masalah oleh teman-temannya.
Kedekatan Vano dan Galena bukan hanya sekedar teman dekat biasa. Hal ini sangat lumrah terjadi di antara hubungan dekat laki-laki dan perempuan. Yaitu jatuh cinta. Terdapat banyak macam cinta, dan cinta yang terjadi di antara hubungan Vano dan Ana adalah jatuh cinta bertepuk sebelah tangan dalam zona pertemanan alias friendzone.
Kembali pada masa putih biru, Vano lelaki yang baru pertama kali mengalami jatuh cinta selalu berdebar jantungnya jika berdekatan dengan Ana. Sesuatu hal kecil yang Ana lakukan untuk Vano akan selalu membekas di hati lelaki itu.
"Nas, lagi ngobrol sama 'teman' lo?" tanya Vano ikut duduk di bangku sebelah Ana. Gadis yang memakai seragam putih biru itu menganggukan kepalanya.
"Iya nih. Namanya Susan. Dia penghuni sekolah ini dulu." Ana memperkenalkan 'teman' gaib nya itu kepada Vano. Meskipun Vano tidak dapat melihat 'teman' Ana tapi Vano bertingkah seolah-olah ia bisa melihatnya.
"Hai Susan, kenalin gue Vano. Cassanova terkece sejagat raya."
Ana terkekeh mendengar perkenalan Vano. Astaga, ternyata rasa percaya diri Vano tidak hanya di tunjukkan kepada makhluk yang bisa di lihat saja, makhluk haluspun Vano masih menunjukan rasa percaya dirinya.
"Katanya dia senang bisa kenalan sama lo."
"Kalian udah selesai berbicara? Gue mau ajak lo ke kantin," ajak Vano.
"Udah selesai kok. Ya udah yuk ke kantin, gue juga udah laper."
Tanpa perlu berpamitan dengan Susan, Ana dan Vano berjalan bersama menuju kantin sekolah. Sambil sesekali bercanda, tiba-tiba datanglah Michael dan langsung merangkul Ana membuat senyuman lebar Vano seketika lenyap begitu saja.
"Halo Vano," sapa Michael. Vano tersenyum simpul membalas sapaan Michael. Senyuman di mana kedua bibir menutup rapat dan membentuk garis lurus di wajah.
"Gue bawa dulu ya si Ana, yuk Na." Michael langsung menarik tangan Ana dan membawa gadis itu pergi dari hadapan Vano. Ana menoleh ke belakang dan menunjukkan tatapan tak enak. padahal awalnya Vano yang mengajak Ana tapi pada akhirnya Ana lebih memilih pergi dengan Michael ketimbang dirinya.
'Sorry.' Ucap Ana melalui pergerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara.
Vano menyatukan jembol dan telunjuknya mengartikan kata 'oke, tidak apa-apa'.
Iya tidak apa-apa tapi hatinya lah yang kenapa-kenapa melihat Ana di bawa oleh Michael si ketua OSIS yang banyak di incar oleh kaum hawa.
Bagaimana tidak? Tubuhnya yang tegap, jangkung, gagah, tegas, pintar dan berwajah tampan membuat lelaki itu di cap sebagai 'Bad boy yang tersembunyi di balik Good boy' menjadi bintangnnya SMP Merdeka. Vano menghela napas, mau tak mau ia harus pergi sendirian menuju kantin sekolah.
"Jomblo.. Swit Suit.. Sendirian aja nih? Gebetannya di bawa orang ya?" goda Vino sambil tertawa kecil bersama Agam. Agam memang satu sekolah sejak duduk di bangku SD dengan Vano. Vino? Dia selalu mengikuti sepupunya itu.
Ngomong-ngomong soal Vino, lelaki itu sebenarnya anak dari Dita--kakak David yang tak lain adalah papa Vano. Jadi secara singkat, Vino adalah sepupu Vano dari papanya. Kedua orang tua Vino berpisah kemudian Dita--ibu Vino bertemu dengan pria baru dan ikut suaminya untuk tinggal di Kanada. Vino di titipkan kepada David dan Vanya yang tak lain adalah kedua orang tua Vano. Lagipula Vano adalah anak tunggal, jadi Vano sendiri juga tak masalah jika ia dan Vino tinggal dalam satu rumah.
Vano mendengus kemudian merebut es jeruk milik Vino. "Ketua PMR udah diem aja." ketusnya.
Agam menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Tapi menurut gue, Ana emang gak suka sama lo deh," ucapnya jujur.
Vano berdecak malas, "Ck, lo jadi orang gak usah terlalu jujur napa dah."
"Tapi lo nya juga abu-abu bray."
"Lo kira gue kolor kali abu-abu," sinis Vano.
Agam membuang napasnya gusar, berusaha lebih sabar meladeni temannya ini begitu juga dengan Vino yang mengelus dadanya sendiri berusaha sabar, berusaha memaklumi tingkah absurd sepupunya.
"Maksudnya, elo sendiri juga gak jelas," Agam memperjelas apa arti kata 'abu-abu' tadi.
"Gue jelas ah. Kalau gue gak jelas berarti gue setan dong."
Agam tersenyum paksa, terlihat sangat jelas dari raut wajahnya yang berusaha sabar menghadapi tingkah Vano. Sejak dulu maupun hingga nanti Vano adalah makhluk tuhan yang tak pernah kehabisan kata. Agam meringis dalam hati, ia menjadi bersimpati kepada orang pendiam yang jarang berbicara. Mungkin ketika pembagian suara, jatah bicara mereka telah di rebut paksa oleh Vano semua. Akhirnya Agam mengangkat kedua tangannya, ia menyerah.
"Saku-saku lo deh ya, ngomong sama lo kayak lagi ngomong sama mesin parutan kelapa tau enggak. Nyerocos mulu!" Agam meluapkan kekesalannya sebelum pergi meninggalkan Vano dan Vino.
Vino mendengus, lalu menepuk bahu sepupunya itu sebanyak dua kali sebelum ikut pergi menyusul Agam dan meninggalkan Vano.
"Apalagi gue lebih capek buat nyeramahin lo. Intinya lo harus tancap gas duluan sebelum ketikung."
Nasihat Vino, sok bijak.
Vano memiringkan kepalanya berpikir, "Di kira jalan raya kali ya tancap gas ketikung."
***
"ANA!" teriak Vano dari ujung koridor sekolah membuat Ana langsung memberhentikan langkah kakinya. Tangannya memegang tali ransel, gadis itu sudah siap untuk kembali ke rumah.
Ana menaikkan kedua alisnya dan mentap Vano seakan ia mengatakan 'apa?'
Vano mengusap tengkuknya, bibir bawahnya ia gigit pertanda jika Vano sekarang sedang gugup. Tentu saja Ana yang sangat peka ini terkekeh melihat tingkah Vano saat ini di hadapannya.
"Kenapa?" Ana tersenyum miring.
Vano bergumam, ia bingung akan memulai topik ini. Ana menghela napas pelan melihat Vano kebingungan seperti itu. Tanpa Vano mengatakannya juga Ana sudah tahu apa maksud Vano.
"Gue ngerti," ucap Ana tak ingin berbasa-basi lagi.
"A--Apanya?" tanya Vano gelagapan.
"Lo suka sama gue kan?" tebak Ana secara frontal, tanpa basa-basi lagi dan itu membuat Vano semakin terlihat seperti pengecut di hadapan Ana. Tapi percayalah, detak jantung Vano sejak berdiri dihadapan Ana sudah berdebar sangat kencang dan sulit untuk di kontrol.
Melihat Vano yag gelagapan, Ana tersenyum kecil. "Tanpa lo bilang juga gue udah tahu sejak dulu. Gue emang sayang sama lo seperti sahabat, atau seperti rasa sayang kakak kepada adiknya. Tapi gak ada perasaan spesial buat lo."
Perkataan Ana berhasil memohok hati Vano. Lelaki itu kini terdiam tak bersuara.
"Lo tahu? Sebenarnya gue bisa aja punya perasaan spesial buat lo kayak martabak. Tapi masa depan gak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Gue gak mau persahabatan kita rusak karena cinta."
Ana tersenyum kemudian menepuk bahu Vano sebanyak dua kali. "Tenang aja, beberapa tahun lagi lo pasti punya cewek spesial. Ini bukan cerita tentang cewek yang berhasil ngeluluhin hati cowok tapi sebaliknya dan lo perlu berusaha keras untuk hal itu."
"Gak usah khawatir, gak usah terburu-buru. Pertemuan kalian gak bakal di awali dengan kata 'hai'." Lanjut Ana. Ia kembali mengandalkan kelebihannya itu.
"Gue capek. Udah ah gue balik duluan ya? Dadah!" pamit Ana kemudian pergi meninggalkan Vano yang belum mengatakan apa-apa sejak tadi.
Setelah Ana sudah menghilang di balik belokan koridor, Vano baru bisa mengontrol dirinya.
"Sebelum gue tancap gas, bensin udah habis duluan. Sebelum burung terbang, kakinya nyangkut dulu di jerami. Belum apa-apa tapi hati gue udah sakit duluan."
Jadi seperti itulah sepenggal kisah cinta monyet di masa puih biru antara Ana dan Vano. Ana benar, masa depan tak selalu sesuai ekspetasi dan masa depan selalu mempunyai kejutan. Lagipula tidak semuanya dalam kehidupan berkaitan dengan cinta. Jika Vano bisa memilih ia tidak ingin jatuh cinta karena jatuh itu menyakitkan, tapi Vano ingin terbang melayang tinggi karena cinta.