"Aku bilang akan jemput ya akan jemput. Menurut oke?" balasnya to the point. "Ya ya baiklah. Titah sudah diucapkan, bisa apa aku ini?" ledeknya santai. "Cihh.." balas Alex mencela.
Keduanya pun menikmati makan siang dengan santai dan penuh canda tawa.
**
Jam demi jam terlewatkan, matahari pun sudah berganti dengan bulan. Diatas awan, waktu terasa lebih lambat berjalan. Mungkin karna waktunya hanya habis digunakan untuk makan tidur mengobrol dan mandi saja.
Saat Alex sibuk dengan urusan pekerjaannya sendiri, Lisa hanya guling-guling diatas kasur sambil memilih-milih deretan film di layar televisi.
Merasa bosan, ia pun keluar dan duduk disisi kanan Alex yang sibuk dengan keyboard laptopnya.
"Ada apa?" ucap Alex tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop. Walau tidak menengok, ia tau Lisa duduk dan memperhatikan dirinya.
"Tidak apa. Hanya merasa bosan jadi kesini melihatmu. Ini sudah larut, apa kalian para pembisnis juga mencari pundi-pundi sampai malam hari?" tanyanya sambil menyenderkan kepala namun tetap memandang Alex.
"Tergantung. Untuk pembisnis yang banyak berinteraksi dengan orang luar tentu semakin malam semakin efektif karna waktu meeting tentu mengikuti jam mereka. Tapi jika tidak banyak berinteraksi dengan orang luar, aku rasa tidak perlu bekerja sampai malam."
"Hmm apa selalu kau yang mengikuti mereka? Maksudku jam waktu dibelahan dunia tentu berbeda-beda. Tentu akan berpengaruh pada pola tidur yang seharusnya kan?"
"Haha mau menghasilkan sesuatu yang lebih besar daripada orang lain tentu harus membayar dengan harga yang setimpal juga kan? Tidur tidak teratur bukanlah hal baru. Banyak pembisnis yang bahkan hanya tidur beberapa jam saja. Itu sebabnya tidak banyak orang bisa berhasil menjadi pengusaha."
"Tidak semua orang bisa dengan mudah mengetahui tujuan hidup yang pas dengannya jika tidak dicoba lebih dulu." balas Lisa singkat.
"Aku tau. Justru menjadi pengusaha itu membutuhkan pasion yang besar sekali. Karna harus memulai dari nol. Harus meyakinkannya sendiri. Harus memutar otak lebih keras untuk balik modal apalagi untuk mendapatkan laba. Bukankah pekerjaanmu juga tidak berbeda jauh?" balasnya sambil menengok ke arah Lisa.
"Ya bagi mereka yang mau mulai dari nol. Dunia entertain sama dengan dunia bisnis. Banyak 'jalur' nya tergantung kau pilih yang mana. Mau yang beneran gelap, beneran terang atau redup."
"Redup?" tanyanya cepat. "Ya redup. Ya ibaratkan warna, seperti abu-abu. Setengah hitam setengah putih."
"Kau yang mana?" tanyanya lagi. "Aku?" Lisa hanya tertawa sambil mengangkat kedua bahu nya menanggapi pertanyaan Alex.
"Yang mana pun itu, tetap ingat kaulah sang Nyonya Pratama Wijaya sekarang." walau ucapannya pelan namun terdengar berkuasa sekaligus makna peringatan didalamnya.
Ia semakin merasa benar-benar buta pada pria didepannya ini. Bukan buta dalam hal cinta-cintaan. Tapi buta karna ia benar-benar tidak tau sifat asli mana yang dimiliki pria yang adalah suaminya sekarang.
Disuatu waktu dia bisa terlihat begitu romantis, tapi bisa berubah cuek semenit kemudian. Setelah semenit bisa berubah lagi menjadi sangat dingin.
'He's so dangerous.' hanya itu kalimat yang pas untuk Alex baginya saat ini.
Setelah beberapa saat terdiam, Lisa pun menegakkan duduknya menghadap Alex. "Apa seperti itu caramu bicara didepan umum? Ahh pantas saja banyak wanita yang menggilaimu darling."
Berhenti menekan keyboard, Alex pun balik memandang Lisa. "Apa kau termasuk?" , "Hem? Termasuk apa?" balasnya bingung.
"Termasuk orang yang menggilaiku. Apa kau termasuk?" tanyanya lagi. "Hmph, banyak bukan berarti semua orang pasti akan menggilaimu tau. Aku termasuk yang tidak."
Kembali menatap layar laptop, "Kalau istri sendiri saja belum menggilai suaminya, apa bisa predikat itu cocok diberikan untukku?" ucapnya santai.
Seketika Lisa terdiam membeku lagi. Apa maksudnya? Apa dia berharap dirinya akan menggilai suami kontraknya, begitu?