Chereads / Subarashii Classroom: Kelas Aneh! / Chapter 29 - Kesulitan Berbelanja

Chapter 29 - Kesulitan Berbelanja

(POV Rock)

Di hari minggu—di pagi buta yang gelap ini—dengan ditemani kepala Hoshi yang menyala—aku dan keluarga membuat kue-kue cantik dan manisan Jepang yang akan kami jual hari ini. Ayahku lupa membayar tagihan listrik, jadi lampu rumah kami padam semalaman. Untung saja ada Hoshi, dia membuat ruangan di rumahku jadi lebih terang. Karena Hoshi, kami sekeluarga bisa menyelesaikan kue dagangan kami dengan baik seperti biasanya.

"Aku benci Akemi."

"Aku benci Akemi."

"Aku benci Akemi."

Hoshi terus-menerus mengucapkan kalimat tersebut supaya kepalanya tetap menyala. Aku agak sedikit menahan tawa, Hoshi seperti sedang membaca sebuah mantra. Ibu dan ayahku tidak berhentinya takjub melihat kepala Hoshi yang bisa menyala.

Oh iya, kemarin Hoshi menginap di rumahku. Dia memintaku untuk mengajarinya teknik bertarung yang baik. Aku tidak tahu alasannya, tapi Hoshi bersikeras memintaku untuk mengajarinya. Sebagai teman, tentu saja dengan senang hati aku membantu.

Tak terasa langit sudah mulai terang, kue-kue dan manisan pun sudah selesai dibuat. Kami tinggal menaruhnya di toko, dan dagangan siap kami jual. Ibu dan ayahku menunjukkan ekspresi lega, begitupun Hoshi yang sudah lelah berkomat-kamit.

"Ini Hoshi, ambilah." Ibuku memberi Hoshi satu bungkus manisan dan kue-kue yang tadi kami buat.

Hoshi menerima dengan tangan kanannya. "Terima kasih, tante."

"Sama-sama." Ibuku tersenyum.

Setelah mendapatkan kue, Hoshi beranjak dari tempat duduknya.

"Rock, aku pulang sekarang, ya. Aku ada urusan penting. Minggu depan aku menginap di sini lagi." Hoshi pamit.

"Okee."

"Om dan tante, saya pamit pulang." Hoshi melihat ke arah orang tuaku.

"Yaa, salam pada orang tuamu," ucap ayahku.

***

Meski aku membantu ayah ibu membuat kue dan manisan, mereka berdua melarangku untuk menjaga toko. Padahal, aku ingin sekali mencobanya. Aku ingin tinggal di toko dan melihat kue-kue hasil karya tanganku dibeli oleh orang lain. Namun, sekali lagi, ibu dan ayah melarangku. Mereka melarangku karena wajahku mirip seorang yakuza (Gangster Jepang).

Aku terlahir dengan wajah yang sangat menyeramkan. Aku jamin kau tidak akan berkata imut ketika melihat fotoku saat masih bayi. Bidan yang membantu kelahiran pun sampai berkata kalau aku adalah anak setan. Bidan yang satunya lagi, berkata kalau aku terkena kutukan. Yah, seperti itulah.

Aku tidak tahu kenapa wajahku bisa semenyeramkan ini, padahal ibu dan ayahku orang biasa, tidak ada darah yakuza yang mengalir pada diri mereka. Adik laki-lakiku juga normal, wajahnya tidak menyeramkan seperti aku. Hanya aku saja yang seperti ini. Ayam, mengapa aku berbeda?

Sejak SMP, aku ditakuti oleh semua orang. Tidak ada yang mau menjadi temanku, mereka malah ingin menjadi bawahanku. Aku yang aslinya orang baik dan menyukai manisan, diperlakukan layaknya seorang preman. Akhirnya, secara tidak sadar, aku mulai menganggap diriku sendiri seorang preman.

Bukan hanya wajahku, nada bicaraku pun mirip seorang preman. Padahal aku merasa ucapanku biasa saja, tapi mereka mengira aku sedang marah. Setelah aku pikir-pikir, ternyata nada bicaraku memang berbeda dari kebanyakan orang. Aku tidak bisa berkata pelan dan lemah lembut. Suaraku cenderung besar dan bisa mengagetkan orang.

Meski wajahku sangat menyeramkan, namun ada beberapa orang yang tidak takut melihatku, mereka adalah ibu, ayah, adik, teman sekelas, dan hamsterku yang bernama Fernandez.

Haah, sudahlah. Tiduran di Kasur saat hari minggu bukanlah ide yang bagus. Aku harus keluar dan mencari udara segar.

Aku beranjak dari kasur—sarapan roti dan susu—kemudian pergi keluar rumah memakai baju santai dan membawa uang beberapa yen. Aku tidak tahu mau pergi ke mana, yang penting aku tidak boleh diam di rumah.

***

Saat di perjalanan, aku melihat sebuah toko yang baru saja dibuka. Toko itu bernama Hanazawa Groceries. Toko baru itu menjual berbagai macam aksesoris, sepertinya bisa untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Sampai sekarang aku belum pernah memakai aksesoris seperti gelang ataupun kalung, sepertinya aku ingin mencobanya.

Ketika aku membuka pintu toko itu, penjaga toko tampak kaget. Wajahnya tiba-tiba pucat. Dia juga menoleh ke kanan-kiri, seolah sedang mencari bantuan. Dia juga menekan tombol telepon, entah memanggil Polisi atau FBI. Aku tidak memperdulikannya, aku tetap masuk dan mencari aksesoris yang aku inginkan.

Setelah beberapa menit, aku menemukan sebuah gelang yang cocok untukku. Aku langsung mengambilnya dan membawanya ke depan kasir.

"Du-dua ratus yen!" kata penjaga kasir, dia tampak ketakutan.

Saat aku mengodok saku celana, tiba-tiba penjaga kasir itu mengangkat kedua tangannya.

"Ampuni aku! Aku punya dua istri! eh... dua anak. Tolong jangan bunuh aku!" ucap penjaga kasir itu sambil mengangkat kedua tangannya.

"Tenang, aku hanya mengambil uang. Aku tidak bawa pistol," bantahku.

Setelah membayar gelangku yang seharga 200 yen itu, aku langsung pergi. Penjaga toko tadi tampak sangat lega setelah aku meninggalkan tokonya, dia seperti baru saja lolos dari sergapan malaikat maut. Hmm... apa aku se menyeramkan itu?

Saat hendak menyebrang, aku melihat nenek-nenek yang agak kesulitan menyebrang karena kecepatannya yang selambat keong. Aku menawari si nenek untuk aku bantu.

"Nek, saya bantu," tawarku, mencoba terlihat ramah.

Ketika melihat wajahku, si nenek langsung berlari dengan sangat cepat.

*Wuiinggg!!

Lari si nenek sangat cepat, mungkin setara dengan kecepatan cahaya. Kapal Jet tidak ada apa-apanya.

Aku terus saja berjalan-jalan, tanpa arah dan tujuan yang jelas. Tapi, berjalan-jalan di hari minggu yang cerah ternyata tidak buruk juga. Aku bisa melihat pemandangan yang biasanya tidak aku lihat saat hari-hari biasa. Minggu depan mungkin aku akan melakukannya lagi.

Langkahku terhenti di sebuah pasar tradisional, di sini aku bertemu dengan Maggiana. Dia sedang melakukan pekerjaan sambilan sebagai penjaga pasar. Ya, karena ada aktivitas sekolah, pekerjaan Maggiana hanya terjadwal saat hari Sabtu dan Minggu saja.

Dulu, aku pernah bertemu Maggiana di pasar ini, saat kami belum saling mengenal. Saat itu, aku berniat untuk belanja, tapi Maggiana menghadang dan melarangku untuk masuk ke dalam. Dia mengira kalau aku akan merampok.

Saat itu, moodku sedang jelek, aku memaksa menerobos masuk. Lagipula, penjaganya hanya seorang gadis SMP biasa. Namun, tiba-tiba tubuh gadis itu berubah menjadi raksasa setelah dia melepas kacamatanya. Seketika, aku dihajar dan dibuat babak belur oleh dia. Itu adalah pertama kalinya aku kalah dalam sebuah perkelahian.

Saat masuk SMA, aku bertemu lagi dengan Maggiana, aku sedikit merinding melihatnya. Tapi, Maggiana terlihat biasa saja, sepertinya dia sudah melupakanku. Wajar saja sih, Maggiana sudah menghajar berpuluh-puluh preman. Dia pasti tidak bisa mengingat wajahnya satu persatu. Ya, begitulah pertemuan pertamaku dengan Maggiana.

Maggiana langsung menyapa ketika dia melihatku.

"Halo Preman!" sapa Maggiana.

"Halo pacarnya Kensel," balasku.

Muka Maggiana tiba-tiba merah. Dia pasti kaget karena aku tahu mereka berdua telah berpacaran.

Maggiana langsung menarik tanganku dan membawaku ke tempat yang sepi.

"Kamu tahu dari mana aku berpacaran dengan Kensel? Tahu dari Kensel, Shino, atau dari Mas Kripik?" Muka Maggiana masih merah.

"Aku tahu sendiri. Aku mengintip kalian berdua saat sedang malu-malu kayak monyet dikasih pisang," jawabku.

"RAHASIAKAN!!! Awas ya kalau kau memberitahu orang lain, aku akan membunuhmu!" ancam Maggiana sambil memegang kacamatanya.

"Iya, santai saja. Aku bukan si ember Nana," jawabku santai.

Ekspresi Maggiana sekarang sudah kembali normal.

"Ada urusan apa kau ke pasar?"

"Tidak ada. Aku hanya berjalan-jalan."

"Hmm... karena kau sudah di sini, ayo ikut aku. Aku akan memperkenalkanmu pada semua warga pasar. Kamu tak akan bisa berbelanja dengan wajah menyeramkan seperti itu." Maggiana kemudian menyeret tanganku.

"Kenapa aku harus berkenalan?"

"Bukankah tak kenal maka tak sayang? Aku yakin, setelah mereka mengenalmu, mereka tidak akan ketakutan lagi saat melihatmu."

"Hmm... baiklah. Oke," jawabku.

Di Minggu pagi menjelang siang itu, aku berkeliling pasar bersama Maggiana. Aku dikenalkan olehnya pada para pedagang. Awalnya para pedagang sangat ketakutan ketika melihatku, tetapi setelah Maggiana mengenalkanku, mereka jadi tampak lebih ramah. Syukurlah.

Berjalan-jalan di hari minggu memang sangat bermanfaat!