Alfian merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama perempuan yang ditaksirnya, Sesampai di apartemen pria bersenandung.
Ardian Seumur-umur mengenal pria itu belum Pernah melihat tingkah Alfian begitu sesenang ini.
Mengambil sofhdrink dalam kulkas, Menikmati udara malam diatas balkon.
"Kayaknya lagi ada yang Happy nih." kata Ardian ikut duduk nimbrung menikmati udara malam sambil melihat lalu lintas padat di jalan raya.
Apartemen mereka di lantai 5 jadi masih bisa dengan jelas melihat pemandangan sekitar apartemen, termasuk lalu lintas jalan.
Setiap kali jenuh atau ingin mencari udara segar dua pria itu pasti memilih duduk santai di balkon menikmati pemandangan atau angin malam yang sejuk.
"Gimana kencannya? lancar? "Sambung Ardian menengak sofhdrink.
"Lancar dan menyenangkan, cuma satu kekurangannya. Kurang lama." Raut wajah Alfian begitu bahagia, Tersenyum.
Giliran pria itu menengak sofhdrink.
Memandang langit malam yang tengah dihiasi bintang-bintang.
Momentum langkah di kota Jakarta.
"Makanya ajak kencannya dari pagi, Bawa ke tempat2 seru yang bikin kalian banyak berinteraksi."
"Banyak berinteraksi." Beo Alfian tak mengerti.
"Iya, contohnya fitness bareng, renang bareng, olahraga bareng asal jangan mandi bareng aja. Berabe ntar aja kalo udah pacaran."
Keduanya tertawa bersama...
Meski bersahabat dan sama-sama pria tapi keduanya mempunyai karakter juga cara hidup berbeda.
Alfian kembali menegak minumannya.
"Tapi gue rasa dia udah punya pacar, soalnya tingkahnya terkadang ganjil kayak lagi nutupin sesuatu. Dan gue rasa statusnya bukan jomblo kayak gue."
"Terus kalo ternyata dia beneran udah punya pacar, lo bakal apa?" Pancing Ardian lalu melempar pandangan kepo.
Tak sabaran menunggu jawaban pria yang duduk disampingnya ini.
Alfian menengak sisa sofhdrink lalu meremuk kaleng bekas minumnya itu hingga gepeng.
Melihat langit malam beberapa saat, menoleh pada Ardian dengan raut serius. "Gue bakal buktiin ke dia bahwa gue jauh lebih baik dari pacarnya bikin dia jatuh cinta sama gue dan akhirnya dia ninggalin pria itu."
***
"Tolong lepaskan aku Al!! Pergelangan tanganku sakit." Monika memasang raut memelas.
Tentu saja volume suara masih terkontrol.
Meski dalam hati merasa ketakutan karena sikap kasar pria itu yang tak biasa.
Selama mengenal pria berstatus suaminya ini belum pernah mendapati situasi seperti saat ini.
Seringaian tercipta pada sudut bibir Alfando, Bahkan urat-urat saraf leher pria itu semakin terlihat jelas saking emosi.
"Kau sudah MEMBOHONGIKU! Katakan padaku siapa pria yang menjemputmu di Halte tadi sore?Kau berselingkuhkan dengan siapa?!" Bentak Alfando, Semakin meremas pergelangan tangan Monika sehingga perempuan itu merintih kesakitan.
Dalam benak Monika tersimpan tanda tanya mengapa pria itu sampai mengetahui hal ini?
"Aku, Aku tidak berselingkuh!" Bentak Monika akhirnya bisa membuka suara.
Menginjak kaki Alfando keras dengan satu hentakan, Tindakan tak terduga itu sukses membuat Alfando melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Monika.
Refleks mengangkat kaki kemudian mengusap jari-jari kakinya.
Pria itu merintih kesakitan.
Duduk diatas sofa.
Semakin murka pada Monika karena berani-beraninya menginjak kaki pria itu.
"KAU...Arrrggggghhh." celoteh Alfando masih sibuk menngusap jari-jari kakinya yang telah menjadi korban high heel sang istri.
"Jangan salahkan aku jika aku kasar." Bentak Monika meluapkan emosi dalam hati.
Melempar tatapan benci.
Dia tak mempedulikan Alfando lalu memutuskan naik ke lantai atas.
Mengambil koper memasukan pakaiannya ke dalam.
Turun kembali ke lantai bawah.
"Kau mau ke mana?" sekarang Alfando yang gantian panik, tak menyangka perempuan itu akan minggat.
Dengan cepat beranjak dari sofa lalu berjalan terengah-engah menuju sang istri dan berhenti tepat dihadapan Monika, menghalangi perempuan itu untuk pergi.
"Aku sudah tidak tahan, aku rasa sebaiknya kita berpisah saja!" Wajah Monika sudah menampakkan kemurkaan luar biasa.
"Kau mau kabur?!"
"Iya aku mau kaburrrr... Kau sudah keterlaluan! Aku tidak berselingkuh, aku sudah muak dengan semua ini jika kau ingin memecatku silakan dan jika kau mau menceraikanku tak masalah!" sambung Monika berapi-api.
Mendorong paksa pria itu agar segera menyingkir dari hadapannya, Dan berhasil.
Dengan semangat mendorong koper, Tapi lagi-lagi Alfando menahan.
Pria itu kembali menghadang jalan Monika.
"Harusnya aku yang marah, Oh aku tahu kau akan menemui pria berengsek itu kan?! Aku sungguh tak menyangka kau membuatmu merasa BODOH karena percaya kau tidak mungkin mengecewakanku." Sekarang seenaknya menuduh Monika.
Monika mengacak rambut panjangnya karena emosi.
Menarik nafas lalu menghembuskannya, setidaknya cara ini berhasil membuat lebih baik.
Memegang kedua bahu Alfando, Menggoyang-goyangkan bahu suaminya ini dengan emosi.
Hingga pria itu bergerak maju-mundur.
"Aku membencimu, kau dengar!! Kau egoisssss... Pemarah.. Tukang ngatur dan Selalu membuatku serba salah!!"
Mendengar ucapan sang istri, Alfando termenung.
Jelas sekali Monika tampak frustrasi.
"Aku mohon biarkan aku pergi, lagipula setelah aku melahirkan kita juga akan berceraikan, Jadi menurutku mulai sekarang kita harus membiasakan diri."
Perempuan cantik ini mencoba memberikan pengertian, Alfando masih membisu
Monika menganggap diamnya Alfando berarti "Setuju."
Tapi...
Saat Monika menbuka knop pintu, Alfando memegang jemari lentik perempuan itu.
Pria itu tidak lagi tampak emosi, bahkan rautnya berubah panik.
"Jangan pergi, tetaplah disini."
Monika menggelengkan kepala, menyingkirkan tangan pria itu lembut lalu tersenyum.
"Aku rasa kita ini sudah benar, Jika tidak ada aku maka kau bebas menemui Radit dan menghabiskan waktu bersamanya lebih banyak bahkan kau bisa mengajaknya tinggal disini bersamamu."
"Dan kau akan tinggal dengan pria itu?" kata Alfando sarkastik.
"Tidak, aku akan mencari tempat tinggal tidak jauh dari kantor." Monika dengan cepat membalas ucapan Alfando.
"Tidak, Jangan pergi " Alfando kembali mengulang kalimat.
"Aku tak peduli, aku akan tetap pergi." Tidak ada raut ketakutan sama sekali dari Monika.
Alfando semakin panik. "Monika, Jangan pergi."
Alfando bergetar kuat, Kepalanya pusing.
Tiba-tiba bayangan akan masa lalu muncul kembali.
Bayangan dimana Mommy-nya memutuskan pergi dan hanya membawa Alfian seorang.
Alfando memohon untuk ikut tapi Mommy-nya menolak, Mengatakan dia harus tinggal bersama kakek-nenek.
Alfando menangis, Memohon untuk tidak ditinggalkan.
Dia masih SMP dan membutuhkan sosok ibunya.
Tapi Ibunya masih tak bergeming, tetap memutuskan untuk pergi dan tak mempedulikan Alfando yang tengah merengek.
"Aku membencimu,Mom. Kau jahat." Kata Alfando remaja menangis histeris.
Bayangannya kembali saat dia masih di SMA, iya sebenarnya diam-diam Alfando pernah mencoba untuk sembuh dengan berpacaran beberapa kali dengan perempuan .
Tapi lagi-lagi dia dikecewakan, ternyata pacarnya berselingkuh, Meninggalkannya begitu saja karena lebih memilih cowok lain.
Dengan aneka macam alasan.
Padahal selama ini dia sudah mencoba jadi pacar terbaik, Tapi akhirnya tetap sama.
Beberapa kali berpacaran dengan lawan jenis, Berakhir sama yaitu dikhianati jadi dia harus menelan pil pahit ditinggalkan lagi...lagi...dan lagi.
Radit mengatakan bahwa semua perempuan egois, Mereka akan membuang pacarnya jika sudah menemukan pria yang lebih baik dan nyaman.
Dan dari situ Alfando tidak tertarik untuk sembuh, Semua perempuan yang bersamanya pada akhirnya akan pergi tanpa mempedulikan dirinya.
Alfando melepaskan tangan Monika, menatap tajam Monika dengan mimik wajah kecewa.
Mengangkat dagu Monika, Menyeringai. "Pergilah, Kau membuatku kembali mengingat apa yang pernah dikatakan Radit. Aku menyesal pernah ingin berubah demi dirimu. Jika kau pergi artinya kau menang tidak pernah peduli padaku untuk apa aku mempertahankan seseorang yang bahkan tidak mau bersamaku."
Alfando menbuka pintu memaksa Monika agar keluar, Langsung mengunci pintu.
Duduk bersandar pada pintu, Merangkul kedua kakinya.
Menunduk lemas, Perasaannya sungguh kacau juga berantakan saat ini.
Dia hanya ingin bahagia tapi mengapa terasa begitu sulit?
Dia mengira Monika akan berbeda tapi nyatanya sama saja.