Tengah hari jumat.
Murni terkejut mendengar teriakan Maulana.
"Bunda.... ada biawak... bunda...!", Maulana berteriak di tangga teras rumah. Muni turun dari tempat tidurnya dengan tergesa-gesa tapi kakinya menginjak mobil-mobilan." Aaaahhh! ia terjatuh. Ia merasakan sakit luarbiasa di punggungnya, berusaha bangkit tetapi kakinya keram dan berat. Dengan susah payah ia mencoba mengambil hanphone di meja kecil dekat ranjang. "Mbo! tolong!". Pinsan. Mbo Minah terkejut. Ia takut terjadi sesuatu terhadap Murni. Saat itu ia sedang memasak, dengan segera ia mematikan kompor dan berlari ke rumah depan. Saat itu sedang orang sholat jumat. Di dalam rumah dia mendengar teriakan Maulana memanggil-manggil bundanya. Pastilah terjadi sesuatu. Sebelum sampai rumah dia menelpon Hasnah, telponnya sibuk.Radiah, nyambung.
"Tolong kesini cepat!" Radiah ini berlari meninggalkan jahitannya. Mengambil motor. Pergi tanpa menghiraukan teriakan Rita yang marah motornya di pakai. Mereka selalu ribut aja rebutan sepeda motor.
Mbo Minah berusaha menyadarkan Murni.Memberi minyak kayu banteng¹ ke hidung dan tengkuknya. Para lelaki belum ada yang pulang dari mesjid. Om Jhon. Ya om Jhon tidak sholat jumat dia Kristen. Mbo Minah menelpon om John. Tetangga baik hati datang dengan cepat. ia Mengangkat Murni ke mobil membawanya ke rumah sakit bersama Mbo Minah. Di rumah Maulana menangis. Radiah memeluk dan membujuknya.
Tak lama kemudian Richman dan om Aji datang. Radiah menjelaskan keadaan Murni. Richman bergegas ke rumah sakit. Om Aji menemukan biawak yang bersembunyi di bawah tangga. Di bantu Hanafi dan Hambali mereka mrnangkap Mahkluk itu dan melempasnya ke rawa-rawa yang banyak ikannya.
Di rumah salkit Murni sudah siuman. Richman mengucapkan terima kasih kepada om Jhon
Pihak rumah sakit memberikan pertolongan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi Murni harus segera dipindahkan ke rumah sakit yang besar. Sore itu juga Murni dibawa ke Samarinda. Richman ikut di ambulans yang membawanya. Mbo Minah menyusul dengan Om Aji membawa keperluan Murni.
Murni melahirkan putra keduanya dengan selamat melalui operasi Caesar.
Richman menatap wajah berseri Murni yang masih pucat. Ia sudah mendapatkan tranfusi darah. Perlahan-lahan wajahnya menjadi memerah kembali dan sudah bisa membuka matanya. Ia menangkap bayangan Richman disisinya. "Rich... aku tak bisa melihatmu," Murni merintih lemah. Richman menghapus cepat-cepat airmatanya, menggenggam tangan Murni. Richman tak bersuara tak Murni mendengar suaranya yang bergetar. Ia mencium kening dengan lembut dengan lembut.
Richman menunjukkan ketabahannya di depan semua orang, ia tak melemahkan harapan semua orang.
"Ibu Murni mungkin mengalami kelumpuhan sementara, tetapi dengan perawatan dan terapi secars intensif, akan membantu kesembuhannya dengan cepat", penjelasan dokter Bambang membuat lantai dipijaknya serasa runtuh. Murni yang lumpuh tetapi ia yang tak mampu berjalan.
***
Hari itu,_
Hambali dan Hanafi karyawan Richman sedari dia memulai usaha duduk diam di depan menunggu apa yang dikatakan Richman. Sementara Richman masih duduk memandang jauh je sungai. Dua bersaudara kembar itu saling memandang. Mereka takut berbicara. Sudah 30 menit mereka duduk diam seperti itu.Hening. Bahkan suara Bekantan di seberng sungai pun terdengar dengan jelas. "Fi, Ham!" Suara Richman mengagetkan dua bersaudara itu, hingga terlonjak dari kursinya.
"Iya Juragan!" mereka menyahut bersamaan. "Tambang pasir itu, ambil untuk kalian" .
"Maksud juragan?' Mereka bingung.
"Ku hibahkan untuk kalian? "Ma...maksud ju.. juragan?" Mereka belum mengerti dan memang mereka lambat loudingnya.
Richman menarik nafas panjang.
"Tambang pasir itu kuserahkan pada kalian berdua. Kapalnya, hasilnya, semuanya, ambillah untuk kalian berdua saja?" Mereka saling pandang kebingungan. "Siap juragan! Tapi juragan... kami masih bingung... terus gimana dengan juragan? " Hambali yang bicara, Hanafi mengiyakan.
"Jangan fikirkan aku, mulai sekarang aku bukan bos kalian lagi, kita impas, aku tidak berutang lagi dengan kalian".
"Tapi gan, hutang apa? juragan tidak berhutang apa-apa dengan kami", kedua bersaudara itu masih bingung.
"Selama ini kalian bekerja denganku...tanpa pamrih... kalian sangat berjasa padaku... hingga aku bisa seperti sekarang. Aku berhutang banyak jasa dengan kalian. Karena itu tambang itu kuserahkan penuh pada kalian". Kedua bersaudara itu menjatuhkan dirinya ke lantai bersujud penuh syukur. Mereka berpelukan dengan haru. ' Terima kasih juragan", Richman mengangkat tangannya,
"Jangan panggil aku juragan!".
"Siap ju... siap pak haji".
" Ada satu syaratnya!" Mereka menatap Richman, bingung lagi.
"Lahan penampungan pasir itu hanya kupinjamkan saja, kalian boleh memakainya sampai batas waktu yang ditentukan!" Richman meninggalkan kedua bersaudara yang penuh kebahagiaan itu. Richman menarik nafas lega. Dia rela memberikan apapun hartanya, kehormatannya asal Murni kembali, kembali jiwanya, kesadarannya, kesehatannya.
Richman mengapus airmatanya yang ditahannya sedari tadi. Ia memasuki KM Saribulan membawanya berjalan jauh ke hulu kesebelah barat, kemudian ia berjalan kaki tanpa berhenti di sebuah tempat yang sunyi di pegunungan Muller*. Ia seperti orang hilang. Berhari-hari tanpa mandi dan makan. Dia sudah menjadi Richman yang dulu, Richman si anak hilang.
Richman berlari diantara kabut pegunungan, Murni berjalan ringan laksana terbang. Ia tersenyum manja, Richman menghampirinya mereka bergandengan tangan duduk di tepi danau. Menjulurkan kaki ke danau yang sejuk. Murni tersenyum lembut, matanya bening tenang seperti danau.
"Kapan kamu pulang? aku rindu? Kenapa kamu masih disini? Richman tak mampu berkata, suara Murni terasa jauh dan samar. Dadanya sesak penuh haru. Murni berjalan menjauh. "Murni...jangan pergi...! Richman mengejarnya. "Pulanglah aku menunggumu", Suara Murni semakin menjauh bersama tubuhnya yang berjalan ringan diantara kabut.
"Murni!" Richman terbangun. Ia berada di sebuah rumah bambu beratap daun nipah. Seorang wanita tua duduk menggadap tungku dapur memasak nasi rempah.
"Dah bangun kau Man?" tanyanya tanpa menoleh.
"Mamak". Richman mengucek-ngucek matanya.
"Masih ingat kau ke Mamak", katanya sambil mengisap rokok.
"Kenapa aku disini Mak?.
"Mamak Ping mematikan rokoknya.
"Mamak mengeriau¹mu, kalau nda gitu kau tak datang", mamak mengambil madu dan menuangnya ke gelas seng. "Minumlah". Richman meminumnya. "Pelan-pelan", mamak menegurnya. Richman meraba bibirnya yang kering dan manis. Mamak mengoles bibir Richman dengan madu hutan selama dia pinsan.
"Kapalmu sudah di Barong, Uceng dan Loi membawanya kesana, Loi membawamu dari hutan kesini. Sudah 3 hari kau tak sadar". Mamak memberi penjelasan. Mamak sudah membaluri Richman di seluruh tubuhnya dengan daun dan rempah hutan. "Mamak menunggumu". "Meski tak berniaga lagi, kau harusnya bisa datang ketemu Mamak". Mamak berkata seperti marah, yang sebenarnya rindu.
"Maafkan saya mak, saya salah!" Richman mencium tangan mamak. Kabut di Gunung Lianpram² semakin memudar oleh Matahari. Terdengar suara aneka primata di kejauhan, mereka ribut berebut makanan.
Luka-luka di tubuh dan kaki Richman belum kering. Ia telah menempuh jalan yang jauh selama berhari-hari tanpa sadar, hanya satu tujuan mendatangi suara yang memanggilnya, suara Mamak.
"Mamak....istriku!" "Istrimu baik-baik saja, ia hanya tidur. Kita akan panggil dia pulang, jiwanya di sembunyikan".
mamak mengetahui semua yang terjadi padanya tanpa harus bicara. Mamak menatap jauh ke gunung, ia akan membuat tindakan sesuai adatnya. Ia lalu mengambil air di piring, membaca mantra.
Richman mengenal mamak Ping, 17 tahun yang lalu, ketika ia masih remaja sebagai Anak Buah Kapal di KM Sari Bulan. Mamak sekali sebulan berbelanja ke Barong Tongkok membeli kebutuhan pokok hidupnya yakni tembakau dan garam. Mamak juga membawa barang dagangan untuk orang kota yakni bawang hutan dan biji vanili¹.
Richman membantu mamak menjualkan vanili dagangannya ke beberapa pengusaha china di Samarinda.
Richman sering ikut ke kampung Mamak di pegunungan Liangpram berburu Pelanduk² dan Payau³.
Mereka kemudian menjadi sangat dekat seperti ibu dan anak.
Mamak selalu memantau Richman dari kejauhan secara gaib, ia melihat kejahatan terselubung yang bakal menyakiti keluarga dan kehidupan Richman. Kejahatan seperti angin hitam yang masuk ke tubuh manusia menyakiti tanpa bentuk dan rupa, tetapi sanggup mencuri dan melenyapkan jiwa.
Mamak Ping hidup seorang diri di gunung, ia mempunyai kemampuan sebagai seorang yang ahli pangobatan supranatural, tetapi ia tak mau di panggil dukun sekalipun pekerjaannya seperti dukun. Ia dibantu dua orang anak angkatnya Uceng dan aloi.
Ketajaman mata bathin mamak menarik Richman pulang ke gunung untuk mengembalikan jiwa Murni yang telah dicuri.
Tak satupun mengira kalau Richman mampu menyembuhkan Murni yang sudah dikira akan mati.
_______
* Pegunungan Muller merupakan jajaran pegunungan yang berada di batas provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Nama Muller diambil dari nama seorang komandan perang Belanda yang tewas di jeram Bakang - Sungai Bungan.
¹ memanggil dengan ilmu khusus secara supranatural.
² sebuah gunung yang terletak di Kecamatan Long Pahangai, Kutai Barat, Kalimantan Timur
³ Vanili adalah tanaman penghasil bubuk vanili, yang biasa dijadikan pengharum makanan atau minuman.
⁴ hewan sejenis kancil
⁵ Kijang Kalimantan
_________