"Mbak, aku tadi ketemu mbak fitri." Ucap Novy menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hah.. ketemu dimana? Terus ngomong apa?" Tanya ku penasaran. Jujur aja ada rasa takut di hatiku tapi aku sendiri juga penasaran tentang sosok mbak Fitri, nyata kah atau hanya karangan adikku semata.
"Di depan rumah budhe Wiji, aku kan mainan petak umpet sama luluk, Rama, Anita. Terus aku sembunyi di bawah pohon bambu belakang rumah budhe Wiji itu loh mbak, eh aku lihat mbak fitri lagi nangis di dalam kamarnya."
Aku terbengong, ga tau harus komentar apa akan ceritanya.
"Kamu gak sedang menghayal kan dek? Udah deh gak usah sebut sebut nama Fitri. Kata ibuk yang namanya Mbak Fitri itu gak ada." Karena geramnya, tanpa sadar aku membentaknya dan mata Novy pun merebak, aku lupa jika hatinya begitu halus.
Aku yang melihatnya pun menjadi trenyuh.
"Gak ada yang mau percaya sama aku, jelas jelas mbak Fitri itu ada mbak. Aku juga ngobrol sama dia. Katanya, dia mau minta tolong." Ucapnya sesenggukan.
"Iya, iya maaf.." ku elus dan kucium kepala adik kesayanganku itu.
"Dia mau minta tolong apa?" lanjutku memangkunya.
"Katanya nanti malam mau maen kerumah, mau ketemu mbak sari langsung."
Deg !! Hatiku gak karuan rasanya, rasa takut yang kemaren saja masih belum hilang, mau di tambah lagi.
"Moh Moh ah, apa apaan, engga. Bilang aja mbak sari ga mau." Ucapku lari masuk kamar.
"Katanya cuma mbak sari yang bisa bantu dia." Novy menyusulku ke dalam kamar.
Aku meringkuk di atas kasur, terbayang bayang wajah seram wanita jail itu.
"Moh dek, mbak ga mau. Bilang mbak Fitri suruh cari orang lain." Ucapku menarik selimut.
"Kata Mbak Fitri , sudah sering mencari bantuan orang lain mbak, katanya setiap malam dia keluar mencari bantuan, tapi ga ada yang bisa bantu. Yang ada mereka malah lari ketakutan, katanya mereka lihat mbak fitri melayang layang." Novy menarik selimutku dengan nada memelas dia memohon.
"Ayo mbak, kasihan mbak Fitri. Dia menangis terus." Lanjutnya.
Aku masih kekeh gak mau, hiii... Apa apaan itu, bagaimana bisa aku menemuinya. Membayang kan saja aku ga bisa.
"Yaudah kalau mbak gak mau, aku tak bilang mbak Fitri, semoga mbak berubah fikiran." Ucapnya melangkah pergi meninggalkan kamarku.
Bayang bayang nama Fitri sangat sulit hilang dari ingatanku, seumur umur baru kali ini ada hantu minta tolong, kenapa harus hantu? Kenapa gak kucing atau hewan lain yang lucu dan imut.
Jam menunjukkan pukul 22.30
Aku yang tidur dari sore mendadak terbangun ingin buang air kecil. Kamarku paling depan menghadap ruang tamu, sedangkan kamar Novy dan ibu di belakang. oh iya, jangan tanya dimana ayahku? aku sudah tidak punya ayah dari SMA.
"Kraak.." aku mendengar sesuatu yang bergeser di ruang tamu, seperti kursi kayu yang di seret.
Berhubung rasa pipis yang tak bisa di tahan, jadi aku abaikan saja suaranya.
"Greeekk.. kraaaak.." suara itu datang lagi dan lebih panjang. Ku nyalahkan lampu ruang tamu setelah kembali dari kamar mandi, Tapi ruang tamu kosong, ga ada siapapun.
"Dek.. mau kemana?" Aku terkejut melihat Novy keluar dari kamar dan membuka pintu depan tanpa menjawab pertanyaan ku.
"Dek.. dek.. stop! Mau kemana ?" Kuguncang guncang kan tubuhnya. Ini bukan kali pertama dia tidur sambil jalan. Kejadian terakhir, dia ibu temukan tidur di samping sumur belakang, Dengan badan yang kotor penuh tanah.
Aku pasrah, percuma membangunkannya, dia tidak akan bangun. Aku hanya bisa mengikuti kemana arah langkahnya.
"Bruk..!" Tiba tiba Novy jatuh di depan halaman budhe wiji. Aku yang belum sadar di mana kami berhenti hanya bisa mencoba membangunkan Novy kembali.
"Dek.. ayo pulang." Ku angkat tubuhnya, jujur untuk seusia Novy, tubuh ini terlalu berat.
"Tolooooong..." Sayup sayup terdengar rintihan wanita minta tolong.
Astagaaaa... Apa ini ? Tiba tiba aku teringat pesan Novy tadi siang. "Mbak Fitri minta tolong."
"Dek.. ayo.. ya ampun, kamu tuh kecil tapi berat banget." Ku paksa tubuhnya naik ke atas punggungku, tapi sayang tenagaku tak sekuat dugaanku. Kami terjerebab jatuh bersamaan, kudengar kembali suara rintihan wanita.
"Tolooooooong.." suara itu semakin nyaring dan dekat.
" Siapa? Fitri kah?" Entah aku dapat keberanian dari mana. Yang ada di otakku hanya, bagaimana caranya aku bisa membawa Novy pulang.
Samar samar, aku melihat sosok wanita di dalam rumah. Yah rumah kosong itu berpenghuni. Seorang wanita muda dengan memar biru di leher dan bekas sayatan di bawah mata kanannya persis seperti cerita Novy kemaren malam.
"Ka- kamu siapa? Kamu mau apa?" Tanyaku gagap.
"Aku Fitri, aku mau minta tolong." Mulutnya tertutup rapat, tapi entah bagaimana aku bisa mendengar suaranya. Sosoknya menembus pintu dan menghampiriku.
Lalu ku lihat pintu samping rumah budhe Wiji yang selama ini terkunci dan tak ada seorang pun yang bisa membukanya, tiba tiba terbuka lebar. Dia berjalan cepat dan seolah olah dia ingin aku mengikutinya.
"Tunggu fit." Ku gendong Novy, tubuhnya terasa ringan, tidak berat seperti beberapa menit lalu.
Fitri berhenti di bawah rerimbunan pohon bambu, hanya orang nekatlah yang berani keluar jam 11 malam dengan suasana yang menyeramkan seperti ini.
Fitri menunjukkan sebuah gundukan kecil di ujung tembok. Pohon pohon bambu itu di tanam di dalam halaman samping rumah. Entah untuk apa budhe Wiji dan keluarga menanamnya disana.
"Tolong aku." Ucapnya tetap menunjuk gundukan itu.
Aku pun bingung harus memakai alat apa untuk menggali gundukan itu.
Lalu kulihat kayu kecil, ku gali gundukan itu dengan kayu kecil pipih tersebut. beberapa menit kemudian, aku melihat benda berkilau di dalam lubang yang aku gali, padahal aku menggalinya tak begitu dalam.
"Keris.." gumamku. Ku perlihatkan pada fitri, dia hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Keris kecil sepanjang jari telunjuk, dengan ukiran ukiran aneh. Ku toleh lagi ke arah Fitri, tapi sosoknya sudah tidak ada disana.
"Lalu aku apakan benda ini?" Bisikku sendiri. Tiba tiba tubuhku meremang, ketakutanku mulai muncul. "Cah edan, ngapain disini sendirian" gumamku berlari dengan menggendong Novy keluar halaman tetangga.