"Soya..soya.. bangun!!" Suara teriakan dibarengi gedoran pintu terdengar bising di luar kamar Soya.
"Berisik!" bentak Soya pada Bastien, lelaki pemilik kafe yang juga anak dari pemilik gedung tempat Soya kost.
"Akhirnya si kebo bangun juga." kata Bastien dengan senyum pasta giginya. Di tangannya sepiring pancake mengepul dengan aroma madu dan pisang. Mata Soya yang tertuju pada pancake membuat Bastien mengarahkan pandangannya pada makanan yang dibawanya.
"Ini sarapan untukmu." kata Bastien girang.
"Masuklah." kata Soya mempersilahkan lelaki itu menerobos ke dalam kamarnya. Dengan santai ia meletakkan pancake yang dibawanya di atas meja ruang tamu.
"Jadi, kenapa kamu semalam menangis di kafeku?" tanya Bastien to the point.
"Itu hal yang memalukan, tidak perlu dibahas." jawab Soya enggan.
"Ayolah, aku ini Bastien. Sahabatmu." bujuk Bastien ingin tahu. Soya tahu, hanya dengan Bastien ia bisa terbuka dan menceritakan semuanya. Bastien orang yang sngat baik dan ia percaya sejak pertama kali ia pindah ketempat kostnya sekarang.
"Semalam itu Stefan. Dan aku melakukan hal bodoh." kata Soya mengingat kejadian semalam.
"Kamu mengakui perasaanmu? Atau kamu mengusirnya lagi?" tanya Bastien santai.
"Aku mengusirnya. Ugh.. Kenapa aku selalu bersikap bodoh? Padahal dia selalu menegaskan kalau aku ini hanya dianggap adik olehnya." gerutu Soya sambil melahap pancakenya.
"Apakah enak?" tanya Bastien yang melihat Soya memakan pancakenya dengan lahap.
"Seperti biasa, masakanmu selalu juara." puji Soya dengan sungguh - sungguh. Membuat Bastien terkekeh bangga.
"Sepertinya kau harus mencari seorang laki - laki untuk melupakan Stefan. Kamu tahu Soya, obat terbaik untuk patah hati adalah jatuh cinta lagi." kata Bastien memberikan nasehatnya untuk kesekian kali.
"Oh Bastien, sahabatku yang luar biasa. Apa kau tau nasehatmu itu tidak mudah, terutama untukku." jawab Soya gemas. Bastien tahu benar Soya adalah gadis yang tertutup dan ketus. Tidak banyak laki - laki yang berani mendekatinya meskipun mereka semua mengagumi kecantikan Soya. Soya seperti manekin di toko baju yang bisa kau lihat tapi tidak bisa kau sentuh. Ia membatasi dirinya dengan dinding kaca yang tidak bisa kau tembus. Semua orang tahu bahwa ia adalah orang yang dingin, bahkan hanya berbicara dengannya saja membuatnya gugup, meski begitu ia tidak pernah memilih - milih teman.
"Ya makanya jadi cewek jangan galak - galak!" ledek Bastien yang dibalas dengan tatapan membunuh Soya.
"Tuh kan!" teriak Bastien sambil tertawa terpingkal - pingkal melihat ekspresi Soya yang sudah mirip dengan Suzana di dalam filmnya.
Sudah pukul 08.00 saat Soya akhirnya berhasil mengusir Bastien keluar dari kamar kostnya. Ia membenamkan diri di Sofanya sembari memencet - mencet remot tv tanpa menaruh minat pada acara yang sedang berlangsung. Pikiran Soya melayang entah kemana.
"Ah, mending ke kampus aja." desah Soya yang mulai bosan.
Ia berjalan dengan cepat ke kampusnya, ia ingat ada novel yang kemarin ia lihat bertengger di rak perpustakaan dan ingin sekali ia baca.
Perpustakaan masih sepi, hanya beberapa mahasiswa yang ada di sana dengan laptop dan buku catatan, sepertinya mahasiswa tingkat akhir. Soya melenggang ke rak buku tempatnya melihat novel yang ingin ia baca, mengambil novel itu dan duduk di meja perpustakaan. Pandangannya tertuju pada seorang laki - laki agak berisi dengan wajah oriental dan mata sipit yang sedari tadi mencuri - curi pandang kepadanya.
"Oh! Laki - laki kunci." guman Soya yang menyadari bahwa laki - laki itu adalah lelaki yang sama yang menyerahkan kunci kost Soya kemarin malam.
"Boleh duduk disini?" tanya Soya pada lelaki itu. Ia hanya mengangguk membalas pertanyaan Soya. Mungkin dia malu, pikir Soya, karena ia melihat pipinya memerah seperti tomat.
"Terimakasih untuk bantuanmu kemarin, mungkin aku akan tidur di teras jika kamu tidak mengembalikan kunci itu padaku." bisik Soya pada lelaki itu.
"Sama - sama." jawab lelaki itu singkat. Soya jadi sebal mendengar jawaban lelaki itu yang singkat tanpa basa - basi. Minat membacanya lenyap seketika, dan ia pun mulai malas untuk terus duduk disitu. Soya baru akan pergi saat sebuah tangan yang lembut tapi kuat mencengkeramnya, ia melihat asal dari tangan itu yang ternyata adalah tangan lelaki yang sedari tadi mengacuhkannya.
"Mau kemana?" tanya lelaki itu. Suaranya berat dan dalam, penuh wibawa.
"Pergi." kata Soya berusaha santai. Ini adalah kali pertama seseorang menggenggam tangannya, membuat hatinya tidak karuan. Tanpa disadari ia terus melihat ke arah tangannya yang sedang digandeng oleh lelaki itu, membuat lelaki itu sadar.
"Oh, maaf." katanya segera melepaskan tangan Soya. Pipinya memerah lagi, membuat Soya menahan tawa.
"Ada apa?" tanya Soya sinis. Lelaki itu menggeleng pasrah, membuat Soya mendengus kesal dan meninggalkan laki - laki itu tanpa permisi.