Chereads / Soya / Chapter 6 - #6 Pertemuan Keluarga

Chapter 6 - #6 Pertemuan Keluarga

"Soyaa...Soyaa!!" teriak Bastien yang selalu menjadi alarm Soya setiap pagi.

"Iya Bastien. Kamu membuat temanku kaget." gerutu Soya sembari membukakan pintu.

"Temanmu menginap? Apa dia cantik?" tanya Bastien bersemangat.

"Tentu saja! Hari ini tidak perlu masuk ya." sergah Soya sembari merentangkan tangannya menghalangi jalan.

"Kamu tidak seru!" protes Bastien yang sebal karena tidak diizinkan masuk.

"Terimakasih makanannya!" teriak Soya saat Bastien menuruni tangga.

Soya tidak pernah sesenang ini, bahkan semalam ia tidur hingga larut karena asyik bercerita dengan Yura. Dia adalah gadis yang baik, pikir Soya. Memiliki seorang sahabat ternyata memang menyenangkan.

"Soya, siapa yang datang?" tanya Yura penasaran.

"Oh, Bastien mengantarkan sarapan untuk kita." jawab Soya santai.

"Kenapa Bastien selalu membuatkan makanan untukmu?" tanya Yura penasaran.

"Karena itu tugasnya." jawab Soya sembari menata makanannya di meja. Membuat Yura bingung.

"Dia memang bertanggungjawab atas makanan penghuni kost ini. Dia adalah anak laki - laki pemilik kost." tambah Soya, membuat Yura mengangguk - angguk paham.

Pukul 08.00 Yura pamit meninggalkan kost Soya. Setelah perdebatan yang cukup panjang karena Soya memaksa Yura memakai pakaiannya karena Soya tidak ingin Yura memakai pakaian kemarin untuk ke kampus, dan Yura berusaha menolaknya. Menurut Yura, gaya berpakaian Soya sangat feminin dan tidak cocok dengan Yura yang tomboy. Namun akhirnya Soya menemukan pakaian yang sesuai dengan Yura dan membuat Yura tidak bisa mengelak lagi.

"Terimakasih untuk semuanya Soya." kata Yura tulus sebelum ia meninggalkan kost Soya. Yura tidak tahu jika Soya adalah orang yang menyenangkan dan sangat baik. Selama ini Yura memang tampak lebih ceria dari Soya, tapi Yura memang tidak banyak bergaul dengan orang-orang di sekitarnya.

Setelah Yura berangkat rasanya kamar Soya menjadi sepi. Ia tidak memiliki rencana apapun hari ini.

"Triiing...triiiiing...." suara ponselnya berdering nyaring. Soya segera mengambil hpnya dan melihat siapa yang telepon pagi - pagi begini.

"Soya, kamu kuliah hari ini?" tanya seseorang di ujung telepon yang lain.

"Tidak pa. Ada apa?" tanya Soya pada papanya.

"Papa sedang ada urusan di dekat kampusmu, nanti kamu kesini dengan Bastien ya. Papa share lokasinya." jelas papanya singkat dan segera menutup panggilan.

Soya berpikir cukup lama, papanya sudah mengirimkan lokasinya pada Soya, tapi ia masih tidak bergeming sedikitpun. Soya masih sangat mengingat kali terakhir ia bertemu dengan orangtuanya yang berujung pertengkaran. Bastien disalahkan karena itu, dan Soya sangat malu atas kejadian tersebut. Untunglah Bastien orang yang santai dan bukan pendendam, lalu untuk apa sekarang ayahnya memanggilnya dan Bastien? Pikiran buruk terus saja berlalu lalang di benaknya.

"took..took..took..!!"

"Bastien. Ada apa?" tanya Soya saat mengetahui Bastien yang mengetuk pintu.

"Kamu belum siap?" tanya Bastien sembari melihat Soya yang masih mengenakan piyamanya.

"Cepat ganti baju!" perintah Bastien sambil mendorong Soya masuk dan membiarkannya terburu - buru sementara dia duduk santai di ruang tamu.

Dengan cepat Soya mengganti bajunya dan berdandan alakadarnya, dia masih kebingungan dengan kedatangan Bastien yang tiba - tiba.

"Mau kemana?" tanya Soya memastikan.

"Kan tadi diundang sama papamu." jawab Bastien santai.

"Tahu darimana?" tanya Soya masih bingung.

"Papamu telepon aku juga, suruh jemput kamu." jawab Bastien, sekarang dia sudah siap berjalan keluar. Soya mengekor di belakang Bastien, masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

Sepanjang perjalanan Bastien menjelaskan pada Soya bahwa saat itu Bastien menyerahkan kartu namanya pada papa Soya untuk membuat papanya percaya, juga untuk berjaga - jaga jika mereka mmbutuhkan bantuan Bastien.

"Kamu terlalu baik." kata Soya ketus. Kadang Bastien memang terlampau sabar dan ramah.

"Yaaah, kadang kita harus mundur satu langkah untuk melompat lebih tinggi." kata Bastien sembari memarkir mobilnya.

"Nah, kamu sudah siap?" tanya Bastien lembut. Soya hanya mengangguk pelan. Sudah terlanjur disini, jadi harus dihadapi, pikir Soya. Mereka masuk ke restoran dan menyebutkan nama papa Soya pada waiters yang dengan patuh mengantarkan Soya ke sebuah gazebo di dekat kolam ikan.

"Selamat siang om." sapa Bastien saat mereka sampai.

"Halo pa." sapa Soya kemudian. Soya memeluk papanya dan duduk di sebelah Bastien.

Soya diam, menunggu papanya membuka percakapan. Dengan sigap papanya meminta Soya dan Bastien memesan makanan untuk mereka.

"Papa minta maaf Soya. Dulu papa bersikap kurang baik pada kalian." kata papa Soya pada putri kecilnya.

"Dan juga pada Bastien, terimakasih karena mau membuka hati untuk om." imbuhnya lagi. Kata - katanya terdengar takut - takut, sorot matanya penuh sesal.

"Bukan masalah om, semua om lakukan karena om sayang Soya." kata Bastien dengan bijak, seperti biasanya.

Bastien bercerita banyak hal, tentang usahanya dan begitu pula papa Soya. Sepertinya mereka berdua cocok berbincang-bincang, hingga melupakan keberadaan Soya diantara mereka.

"Jadi, papa mau bahas apa?" tanya Soya sudah tidak sabar.

"Kata Stefan, kamu sudah punya pacar?" tanya papanya sembari menatap Soya. Kali ini tatapan yang lembut dan penuh dengan perhatian. Perasaan Soya menjadi sedikit lebih tenang.

"Memangnya apa saja yang diceritakan laki - laki itu?" tanya Soya tanpa berusaha menyembunyikan cemoohan dalam suaranya.

"Kenapa kamu tidak menyukai Stefan?" tanya papanya mencoba menenangkan diri.

"Ada hal - hal yang memang tidak bisa Soya terima." kata Soya pelan, enggan membahasnya lebih lanjut.

"Kamu hanya tidak bisa terima dia lebih memilih untuk bersamaku kan!" sambar suara yang mengagetkannya. Soya menileh cepat, bersamaan dengan Bastien. Ada Shiena yang berjalan mendekat dengan Stefan dan ibunya di belakangnya.

"Apa itu yang dikatakan suamimu padamu kak?" tanya Soya acuh tak acuh.

"Jadi rencana papa adalah untuk mempermalukan Soya disini?" tanya Soya sinis, tapi mukanya masih datar.

"Tidak nak, papa memang benar - benar merindukanmu, papa tidak tahu mereka akan menyusul." kata papanya meyakinkan.

Keluarga itu akhirnya berkumpul, namun dengan keadaan yang kurang baik. Bastien mengamati keadaan di sekitarnya untuk memastikan Soya akan baik - baik saja, namun melihat kilatan di mata Stefan, Bastien merasa ia perlu untuk bermain - main sebentar. Semua tahu Bastien adalah orang yang baik dan ramah, tapi semua tidak tahu jika Bastien adalah orang yang sangat tajam dan tidak kenal ampun saat dibutuhkan.

"Jadi bagaimana di kampus? Sepertinya kamu cukup bersenang-senang dengan banyak laki - laki." kata Shiena sinis menatap ke arah Bastien yang dibalas dengan senyuman oleh Bastien.

"Shiena! Jaga sopan santunmu! Jangan lancang dan melewati batas!" bentak papanya yang seketika membungkan mulut Shiena. Ia tidak pernah tahu jika papanya telah dipermalukan oleh suaminya sekali dan tidak ingin itu terulang kedua kalinya, lebih - lebih terhadap Bastien yang ia sudah ketahui siapa sebenarnya.

Soya masih memegang kendalinya untuk tetap diam dan tidak menimpali omongan kakaknya. Dia merasa tidak perlu membuang - buang tenaga untuk sesuatu yang memang tidak perlu. Shiena hanya menggali kuburnya sendiri. Ia telah dibutakan oleh cintanya pada Stefan.

"Silahkan duduk tante." kata Bastien ramah sembari menggeser duduknya dan meminta Soya untuk bergeser.

"Terimakasih nak." balas mama Soya tulus. Wanita itu memeluk dan mencium Soya sekilas, lalu membisikkan sesuatu pada Soya.

Kakaknya memandang Soya dengan sinis sambil mencibir perhatian kecil yang diberikan mamanya.

"Sebaiknya Soya pulang pa, ma." kata Soya dengan wajah acuh tak acuh.

"Kenapa?" tanya mamanya kecewa.

"Ada tugas kulih ma. Kerja kelompok." kata Soya datar.

"Kalau begitu saya juga pamit om, tante." pamit Bastien mengikuti Soya.

Papa Soya nampak tidak setuju dengan kepergian mereka, namun usahanya untuk berbicara dengan putri bungsunya telah digagalkan oleh putrinya sulungnya sendiri. Shiena masih terlihat kesal dan ingin memprovokasi Soya, namun ia dihentikan oleh tatapan tidak menyenangkan dari orangtuanya.