Chereads / A Night With CEO / Chapter 3 - Benalu

Chapter 3 - Benalu

Kembali ke masa kini saat Irgi masih menangisi apa yang pernah ia perbuat bersama Elaine. Malam itu tanpa ia rencanakan, dirinya tergoda dengan kemolekan tubuh Elaine sampai mereka melakukan sesuatu di luar batas sebagai lelaki dan perempuan. Sulit untuk dijelaskan saat dirinya mulai memanjat tubuh Elaine penuh hasrat dan gelora. Semua terjadi begitu saja tanpa pengaruh alkohol sedikitpun. Sebuah kejadian yang berlangsung beberapa menit saja namun mampu membuat hidup berubah.

Dampak dari kejadian itu adalah kacau balau di hidup Elaine dan pernikahan Irgi dengan Karina terancam batal. Ini artinya perusahaan Aksara atas nama Karina ini akan kembali menjadi miliknya.

Skandal itu belum banyak yang tahu, ia masih menyimpan rapat-rapat kecuali orang terdekat yang saat itu satu hotel dengannya. Kalau sampai tersebar, karirnya terancam. Perusahaan Aksara.id adalah milik Karina, tunangan sekaligus sahabatnya dari SMP. Karina lahir dari keluarga yang sangat kaya, ia mendapat ide untuk membuat platform menulis online saat di Jepang. Namun dirinya memiliki keinginan untuk lanjut kuliah setinggi-tingginya jadi Irgi dan Inara-lah yang lanjut memimpin Aksara.id.

Irgi memandangi tubuh Elaine yang masih penuh dengan peralatan untuk menunjang kehidupannya. Ia kehilangan banyak darah, luka dalam tubuhnya juga banyak karena dia terpelanting jauh. Irgi berharap masih ada harapan hidup untuknya agar Irgi dapat diberi kesempatan untuk menebus kesalahannya. Sementara itu jauh di dalam lipatan otak Elaine masih berputar juga memori masa lalu yang pernah ia jalani.

******

Neuron dalam otak Elaine masih bercerita tentang masa yang telah lalu.

Di sini, di gedung ini, sebuah hotel mewah pusat perkantoran yang menjadi tempat kerja Elaine. Senyumnya selalu menghiasi wajah saat bertemu dengan rekan kerja maupun tamu hotel. Tiada satupun yang tahu isi hatinya, senyum itu sebenarnya adalah topeng untuk menutupi diri sebenarnya. Ia harus bangun di pagi hari, mandi dan berdandan rapi. Alas bedak yang tebal itu menutupi kekurangan di wajah sekaligus memalsukan jati diri sebenarnya. Dia harus dua kali menjalani treatment kecantikan yang menyakitkan demi memperbaiki penampilan luar agar terlihat cemerlang. Elaine tak lagi cuek seperti saat kuliah dulu. Dandanan itu menjadi lapisan kulit luar untuk memalsukan apa adanya diri Elaine.

Hatinya lelah saat melihat perempuan berbalut blazer hitam rapi di depan cermin. Perempuan itu bukan dirinya. Iapun harus menyembunyikan sikap asli yang periang. Ia harus menjaga tawa, dilarang tertawa terbahak-bahak, cara bicara harus lembut, perlahan, tapi tegas. Dia kehilangan sifat asli yang cerewet. Sejak bekerja di sini dia benar-benar menjaga citra diri, dia merasa berbeda, seperti bukan diri yang sebenarnya. Elaine benar-benar muak menjalaninya.

Rasanya lelah luar biasa. Pekerjaan menumpuk membuat dirinya pusing. Pikiran seperti terhimpit. Orang tua Elaine yang menentukan dirinya harus bekerja di mana. Dengan koneksi orang dalam, ia bisa kerja di Hotel Aventure dengan mudah. Ia harus menjadi sekertaris general manager. Sesalnya, sulit baginya untuk menghadapi orang, ia lebih suka berada dibalik layar. Namun dia dinilai layak berada di depan layar karena penampilan menarik. Kiano memang menyemangati dan membuatku percaya diri dengan segala kekurangan setidaknya sebelum dia kehilangan pekerjaan dan pasca pertengkaran kemarin.

Dulu dia menguatkan Elaine untuk bertahan sebagai sekertaris, dari perkataannya dia terkesan memaksa untuk tetap menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Dia bahkan enggan memahami mimpi terpendam Elaine yakni menjadi seorang penulis.

Elaine mematikan komputer, kepalanya pusing melihat diagram jumlah tamu yang menginap di hotel. Ia ingin pulang ke apartemen lalu mandi agar sekujur tubuhnya segar dan pikiran berat itu sedikit ringan larut terbuang bersama air. Ia segera keluar ruangan untuk menemui Kiano. Iya, masih bersama Kiano setelah semua yang sudah ia lakukan. Sepertinya benar, mobil itu adalah jaminan agar Elaine tetap di sisinya.

"Tolong antarkan aku ke toko buku," pinta Elaine padanya setelah sampai dalam mobil.

"Buat apa?" tanyanya sambil menekan persneling.

"Aku ingin jalan-jalan," bujuk Elaine.

"Jalan-jalan itu nonton, ke mall, main ke taman, minum di kafe, sayang. Ke toko buku malah bikin kamu makin pusing," tolaknya.

"Aku ingin membaca buku," Elaine bersikeras. Ini mobilnya dan ia ingin melakukan hal yang ia sukai.

"Sudahlah, kita ke mall baru aja melihat air mancur dalam gedung. Sepertinya menyenangkan," ujar Kiano.

"Nggak perlu. Sebenarnya ini mobil siapa sih?" keluh Elaine. Mobil ini adalah miliknya ia bahkan tidak menyetirnya selama sebulan ini. Kiano tidak bergeming, sama sekali tidak tersindir dengan pertanyaannya. Ini adalah mobil Elaine, ia mencicil mobil ini dari gaji pribadi. Kiano nggak ada ikut membayar tapi malah seenaknya memakai mobil dan mengatur kemana Elaine pergi.

Selalu begitu, Kiano menolak diajak ke toko buku dengan berbagai alasan. Elaine kerja dari pukul delapan sampai pukul lima, masa Kiano nggak bisa sedikit saja menghargai kerja keras Elaine dengan menuruti kemanapun Elaine mau pergi?

"Kamu ngapain aja seharian?" tanya Elaine pada Kiano dengan maksud ingin tahu kegiatannya selama memakai mobil. Dia tidak menjawab, hanya menyetir cuek. Dia sama sekali tidak ada tanggung jawab saat memakai mobil Elaine bagai benalu yang tubuh di pohon.

*****

Malam itu Elaine melanjutkan tulisan tentang kehidupan seorang gadis remaja polos di Denver, Amerika Serikat. Perkembangan tulisannya makin pesat saat kuliah karena ia memiliki sebuah laptop pribadi. Naskah novel yang ia tulis semakin bertambah. Hanya dalam laptop saja. Ia tidak pernah berani mempublikasikan tulisan secara online. Dia punya dua alasan. Pertama, takut sekaligus malu jika karyanya ditolak. Kedua, orang tua dan kekasihnya tidak pernah setuju dengan hobi dan kegiatan ini. Menurut mereka, menulis hanya buang waktu dan tidak menghasilkan apapun. Padahal jika dikulik lagi, banyak yang jadi kaya karena menulis.

Dering telepon memecahkan keheningan malam di apartemen tempat Elaine tinggal. Dari Kiano.

"Ya, Sayang," sapa Elaine dari seberang.

"Lagi ngapain?" tanyanya.

"Um…" Elaine berpikir, tidak mungkin ia bilang kalau sedang menulis. "A-aku sedang santai" jawabnya asal-asalan.

"Lihat dari jendela," ujarnya. Elainepun segera melihat dari jendela. Kebetulan kamar Elaine berada di lantai lima dan menghadap langsung ke jalan. Dan, lagi, kejutan itu datang. Kiano ada di bawah sambil membawa buket bunga mawar merah. Elaine tersenyum untuk menghargai usaha Kiano, dia selalu memberi kejutan pada Elaine.

******

"Mawar dari kekasih, oh indahnya…" sapa Una, tetangga sebelah rumahku. Perlakuan Kiano membuat banyak teman-teman iri. Dia memang pria romantis idaman wanita. Ada sepintas rasa bangga saat wanita lain menatap iri pada Elaine. Namun semua itu hanya semu, dalam diri Elaine merasa kekosongan yang amat dalam. Kiano hanya mencintai Elaine dari luar, dia bahkan enggan menganggap mimpi besar Elaine sebagai sebuah cita-cita. Dia tak sedikitpun menyentuh tulisan Elaine. Bagi Elaine, semua tindakan romantisnya percuma saja karena Kiano tidak pernah menghargai karyanya.

"Mungkin dia bakal ganti profesi jadi tukang antar bunga," canda Elaine.

"Akupun mau kalau pengantar bunganya setampan itu," ujar Una. Elaine hanya tertawa lalu kembali ke kamar untuk menyelesaikan tulisan yang sudah memasuki bab lima. Ia berjalan santai ke meja belajar. Layar laptop gelap, tangan kanannya meraih mouse lalu menggerak-gerakkannya. Tak ada gambar, layar hitam gelap tanpa cahaya. Ia terhenyak, ternyata dia lupa menyambungkan kabel charger untuk mengisi ulang baterai. Tadi jemarinya sudah menulis sebanyak sepuluh halaman dan belum disimpan. Emosi Elaine naik ke titik didih, tangannya melempar mawar pemberian Kiano ke lantai. Gara-gara mawar itu ia lupa pada hasil ketikannya. Ia lebih peduli pada tulisan yang belum disimpan. Semoga sistem berbaik hati untuk menyimpan tulisannya, harap Elaine.

Bersambung