"Sekarang aku sedang menulis cerita tentang remaja Indo yang sekolah di Denver. Lucunya, dia mengenakan kebaya di pesta prom sekolah meskipun satu sekolah menertawakannya," ujar Elaine panjang lebar, ia sedang bercerita pada Kiano tentang tulisan terbarunya.
Kedai makanan Korea dekat kantor begitu lengang siang ini, hanya segelintir karyawan yang makan siang. Elaine duduk di pojok, makan mie jajangmyeon dan teh tawar bersama Kiano. Dia tak bergeming mendengar ceritaku lalu ia menarik nafas.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanyanya tanpa membalas perkataanku.
"Baik," jawabku datar. Dia memang tidak pernah menghargai hati seorang penulis.
"Tidak perlu menulis dulu, fokus dengan pekerjaanmu," nasihatnya. Aku tersinggung, apa salahnya menulis? Lagipula itu kegiatan positif. Aku mengaduk-aduk mie sambil menatapnya kosong. Sulit memang, membangun impian tanpa dukungan orang terdekat. Akupun bingung harus melakukan apa agar impianku bisa terwujud. Impianku sendiri. Aku merasa terpenjara, cita-citaku dikekang, dia membatasi kebebasanku bermimpi setinggi-tingginya bahkan untuk menjadi diri sendiri saja begitu sulitnya.
Malamnya aku mencoba berselancar di dunia maya untuk mencari penerbit. Naskahku sudah banyak, kira-kira delapan, aku harus mengirimkannya ke penerbit. Tiba-tiba aku terkejut mendengar dering telepon yang begitu nyaring. Dari ibuku.
"Iya, Ma," sapaku.
"Sayang, bagaimana pekerjaanmu?" tanya mama.
"Lancar," jawabku.
"Elaine, kau sudah lama bersama Kiano, lantas kapan dia melamarmu?" tanya mama terus terang. Aku tercekat. Jujur, aku belum terlalu yakin pada Kiano. Dia tidak bisa menghargaiku sepenuhnya, sejak seminggu yang lalu memang hubungan kami terasa datar. Ikatanku dengannya sudah hilang termakan waktu. Jangankan tunangan, pacaran aja aku malas.
"Entahlah, Ma. Kami nggak pernah membahasnya."
Aku menyisir poniku ke belakang dengan jari-jari tangan, sekedar mengalihkan kegundahan dalam hati.
"Mama sudah ingin menggendong cucu," ujarnya.
"Elaine nggak suka anak-anak," sanggahku.
"Hush, jangan melawan kodrat. Wanita pasti punya anak kecil," ujar ibuku. Aku hanya geleng-geleng kepala. Aku masih dua puluh empat tahun, perjalananku masih panjang, aku juga belum memberanikan diri untuk mengirimkan naskahku pada penerbit. Nantinya, kalau aku menikah, apa aku masih bisa menulis?
"Kamu bicarakan dengan Kiano dulu, ya, biar dia bilang sama orang tuanya," potong mama. Seketika aku terpaku mendengarnya. Pertemuan keluarga? Lamaran? Semuanya terdengar asing di telingaku. Aku merasa belum yakin dengan Kiano. Rasanya bukan dia pria yang tepat untuk mendampingiku. Aku mencintainya namun aku terlampau ragu untuk melangkahkan masa depan bersamanya. Mau makan apa juga, dia pengangguran begitu.
*****
Hari demi hari aku menyembunyikan permintaan mama tempo hari. Terasa jengah untuk mengungkapkannya pada Kiano. Jujur aku belum siap melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin hari hubungan ini terasa hambar. Aku mulai jarang terlihat bersamanya, dia juga sedang sibuk mencari pekerjaan lagi setelah keluar dari perusahaan perbankan tempat ia bekerja. Biarlah, aku mencoba menyibukkan diri pula dengan menjelajahi media sosial dengan mencari celah untuk penerbitan buku sampai akhirnya aku penasaran dengan satu platform Aksara.id
Tampilan situs platform dipenuhi dengan warna-warna kalem, seperti krem dan kuning muda. Logo penerbit berwarna jingga dengan bentuk kobaran api menggambarkan semangat yang menyala-nyala. Tertulis slogan "Tuliskan imajinasimu bersama Aksara.id! Earn Money!" di bagian atas. Semangatku jadi ikut tersulut saat melihat tampilan cover dengan sampul lucu terbitan Aksara.id. Akupun penasaran, kubaca syarat kirim naskah dengan seksama. Rasa penasaran meletup-letup dalam diriku. Aku langsung membuka naskahku kembali dan bergegas menyelesaikannya tanpa peduli besok kembali bekerja.
*****
Hari ini aku bebas, Kiano pergi ke Bandung selama tiga hari untuk mencari pekerjaan. Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan berpakaian rapi untuk mengunjungi toko buku sekedar mencari bacaan baru bulan ini. Kusemprot parfum aroma vanila di belakang telinga sebelum melangkahkan kaki dari kamar.
Aku membiarkan angin dan matahari musim panas menyapa kulitku. Dengan santainya aku berjalan ke toko buku terdekat sekedar ingin mencuci mataku dari efek radiasi komputer dan berkas-berkas penuh tanda tangan. Sengatan panas matahari seolah memecut permukaan kulitku. Biarlah, aku merindukan sinar matahari. Paparan air conditioner setiap hari membuat kulitku kering, aku ingin sinar alami menyapaku, membuatku kulitku sedikit lebih gelap.
Sesampainya di toko buku sekitar 1 km dari tempat tinggalku, aku segera menuju ke sudut rak novel. Aku butuh bacaan untuk memperkaya kosa kata di tulisanku. Aku mengambil sebuah buku secara acak lalu membawanya ke kasir. Dan saat itu untuk pertama kali aku mendengar suaranya.
"Kalian bisa endapkan naskah jika sedang bosan menulis cerita yang sedang kalian kerjakan."
Aku mengikuti arah suara itu ke tengah ruangan. Ada banyak orang berkumpul di sana. Aku mengedarkan pandanganku ke banner di depan rak buku bertuliskan :
"Tuliskan imajinasimu bersama Aksara.id! Earn Money!"
Aksara.id? bukannya itu platform menulis yang aku kunjungi situsnya semalam?
Akupun ikut bergabung di kursi kosong untuk menyimak perbincangan itu. Semoga saja belum terlambat. Aku memperhatikan pembicara yang berdiri di tengah. Seorang laki-laki yang postur tubuhnya tinggi tegap. Tatapannya tajam bersinar dari mata sipitnya. Dibalut pakaian kemeja ungu muda dia menjadi pusat dari semua mata. Pria berbicara begitu lugas. Akupun merekam video dari ponsel. Aku tidak akan sempat mencatat ilmu kepenulisan sebanyak itu.
****
"Hai, aku Elaine, senang bertemu denganmu," ujarku mendekatinya begitu perempuan-perempuan yang mengerumuninya sudah berkurang. Wajahnya cukup tampan untuk seorang penulis, tak heran jika banyak yang menyukainya.
"Irgi Andreas, panggil saja Irgi," ujarnya sambil tersenyum ramah. Kami saling berjabat tangan. Diam-diam aku menyelami keindahan mata hitam itu. Ada sorot mata ramah di situ meskipun kantung matanya kehitaman. Wajar, penulis mana yang kantung matanya cerah? Dia pasti sering begadang sepertiku.
"Kantor Aksara.id di mana?" tanyaku setelah bersalaman.
"Lantai 8 hotel Angkasa," ujarnya.
"Dekat sini ternyata,"
"Irgi boleh minta nomor kontakmu untuk korespondensi? Kebetulan aku ingin bertanya tentang penerbitan naskah," pintaku.
"Boleh," ujarnya mantap. Aku mendapat nomornya, siapa tahu suatu saat butuh. Aku juga ingin mencari uang dari dunia kepenulisan. Siapa tahu dengan mendapat uang dari penulisan aku bisa keluar dari dunia kantor.
******
Pertemuan itu adalah awal dari perubahan dalam hidup Elaine. Kisah cinta yang ia kira berhenti di Kiano ternyata berlanjut kepada seorang CEO yang menyamar sebagai penulis Aksara.id, selain bisa jadi platform menulis untuk Elaine, sambil menyelam minum air ia juga mendapat pengalaman baru bersama Irgi.
Elaine masih ingin memaksimalkan masa mudanya untuk berkarya dan mencinta selama jantungnya masih berdetak.
Elaine sudah putus asa dengan Kiano, dia terlihat pemalas dan tidak bertanggung jawab. Mana mungkin Elaine menikah saat dirinya harus jadi tulang punggung keluarga?