Chereads / A Night With CEO / Chapter 7 - Naik Jabatan

Chapter 7 - Naik Jabatan

Rasanya menerima kabar akan pindah jabatan tidak sebanding dengan bahagia saat cerpen dimuat di website. Kinerjaku dinilai baik setelah setahun bekerja tapi aku merasa biasa saja, tanpa satupun hal istimewa yang aku perbuat. Semua seperti adanya, memang pakemnya begitu, lurus tanpa tantangan sedangkan kalau mengirim naskah ke platform, ada dua kemungkinan diterima atau ditolak. Aku mampu merasakan seru dan berdebarnya menunggu keputusan mereka. Sejak saling kontak intens dengan Irgi, aku mulai giat mencari penerbit tujuan termasuk Aksara.id. Butuh waktu lama untuk mendapat jawaban tapi biarlah, aku akan terus berkarya sambil menunggu jawaban pengiriman naskah itu.

Perasaan Kiano malah berbanding terbalik dengan perasaanku. Dia sangat bahagia begitu tahu aku akan segera seminar untuk pindah jabatan menjadi bagian supervisor padahal aku belum tentu lolos presentasi.

"Sayang, aku senang banget kamu akan pindah jabatan!" ujarnya begitu membuka map merah berisi surat-surat kontrak kerja.

"Entahlah bakal ngomong apa pas presentasi lagipula aku juga belum tentu diterima," ujarku pasrah.

"Kamu pinter, kamu pasti bisa," ujarnya meyakinkanku. Dia memegang kedua tanganku erat dengan mata berbinar, pancaran semangatnya terasa di genggaman tanganku, seharusnya reaksinya begini juga saat mendengar karyaku dipublikasikan.

Sepulang dari kantor, aku iseng jalan-jalan ke toko buku terdekat di kantor. Seperti biasa, aku berjalan ke sudut rak novel, mencari nama Irgi Andreas di deretan buku-buku novel yang tersedia.

"'Dawai Dua Nada', 'Rindu Ayah', 'Simfoni Tiga Insan,' 'Hanya Cinta'," aku membaca satu per satu judul bukunya. Banyak sekali, kalau misalkan aku beli semua nanti uang bulananku bisa habis. Aku harus memilih salah satu tapi sepertinya semuanya bagus, jadi bingung.

Dengan berbagai pertimbangan, aku memilih novel berjudul Simfoni Tiga Insan yang bercerita tentang kehidupan tiga pemain biola yang berjuang mewujudkan mimpi mereka meskipun untuk membeli biolapun mereka harus berjuang mati-matian dari mengamen hingga bekerja serabutan. Aku penasaran bagaimana Irgi menuliskan cerita dalam novelnya. Barangkali aku bisa mengikuti jejaknya.

**

Ya Tuhan, aku kesiangan, seharusnya aku ke kantor pukul delapan untuk presentasi naik jabatan tapi aku malah bangun pukul 10 karena membaca buku Irgi sampai tamat hingga subuh. Setting musim hujan di Bandung dikemas menarik. Kata-kata yang dia jalin terjalin rapi sampai aku merasa sayang untuk berhenti. Dan Simfoni Tiga Insan adalah novel pertama yang aku habiskan tanpa jeda. Serius.

Akupun memutuskan untuk menelepon kantor dan izin tidak masuk kantor karena sakit. Aku tahu akan kena marah karena meremehkan rapat penting tapi apa boleh buat sudah bangun kesiangan. Terpaksa aku harus membeli surat keterangan sakit di klinik. Hanya sakitlah alasan yang paling rasional untuk bisa dimaafkan. Masalah pindah jabatan aku kurang memperdulikannya, yang penting aku masih mendapat gaji.

Aku langsung mengirim pesan pada Irgi beberapa saat kemudian. Entah kenapa wajahnya langsung terngiang di benakku saat aku terlambat tadi. Memang bukan salahnya, tapi karena aku yang terlalu larut dalam cerita novelnya.

Elaine : Novelmu bikin aku terlambat ke kantor

Irgi : ?????

Elaine: Aku larut dalam novel sampai nggak tidur semalaman.

Irgi: Lalu itu salahku?

Elaine: Bukan. Aku aja yang teledor.

Irgi : Syukurlah

Elaine: Sibuk?

Irgi : Sedang membaca naskah yang baru upload ke web.

Irgi : Kepalaku sampai pusing.

Elaine : Nanti aku beri obat.

Irgi: Aku tidak biasa minum obat.

Elaine : Lantas?

Irgi: Tidur.

Aku tertawa terbahak-bahak, gemas dengan bahasa chat pendek-pendek terkesan sok cuek. Aku tahu dia sedang sibuk membaca naskah sehingga butuh konsentrasi.

Kiano : kamu lagi sakit?

Ada pesan dari Kiano. Aku sampai lupa dia belum aku hubungi sejak tadi. Dia pasti mencariku. Sebenarnya tak perlu panik, dia memasang perangkat lunak di ponsel untuk melacak keberadaanku. Entah apa yang dia gunakan. Aku jadi risih sendiri, ini pacaran apa tahanan kota, sih?

Elaine : Yuhuu...

Kiano: Kemana saja?

Elaine : Kamar.

Kiano : kok nggak telpon?

Elaine :Aku bangun terlambat jadi minta temanku membuat surat dokter.

Kiano :Ya sudah, yang penting kamu baik-baik saja.

"Mobil gue balikin,woy!" umpatku pada ponsel tidak bersalah.

Aku melempar ponselku ke karpet lalu merebahkan tubuh lelah di kasur. Hubungan basi selama bertahun-tahun itu sebenarnya sudah tak layak diperhatikan. Rasa cintaku pada Kiano hilang tak berbekas setelah di meninggalkanku sendirian di jembatan kala itu. Salahku hanya sepele, kami berdebat masalah pekerjaan lalu aku membentaknya karena dia tak kunjung mengerti. Saat itu juga dia menurunkanku dari mobil. Dia bilang kalau seorang istri dilarang membentak suami. Sebentar, istri yang mana suami yang mana? Kiano memang suka mengada-ngada.

Ada bunyi bel depan pintu, aku membukanya.

"Masuk," ujarku. Alya datang, matanya sembab, wajahnya murung, sepertinya dia sedang ada masalah besar. Aku menghampirinya, memegang bahunya, sekedar menenangkan dirinya.

"Loh, kenapa Al?" tanyaku bingung.

"Elaine, janji jangan bilang siapa-siapa, ya?" ujarnya dengan suara bergetar tanpa menggubris pertanyaanku.

"Iya, Alya. Kamu kenapa?" tanyaku prihatin. Aku merangkulnya lalu mengajaknya duduk di sofa.

"Aku sakit, Elaine."

"Sakit apa?"

"Ada tumor di mataku. Aku akan buta nantinya," ujar Alya sembari meneteskan air mata. Aku memeluknya, memberi dia sedikit ketenangan. Hatiku masih terkejut hingga bibirku terbungkam, aku tidak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun. Alya memang berkacamata tapi dia selalu terlihat sehat, tanpa ada tanda-tanda penyakit bersarang di tubuhnya.

"Alya, Alya, tenang dulu, ceritakan satu per satu mengapa kau tiba-tiba berkata mengenai tumor? Siapa yang ngasih vonis?" tanyaku memastikan.

"Belakangan ini mataku sering sakit, berkunang-kunang, kepalaku terasa pusing, dan menghimpit lalu aku periksa ke dokter. Beliau mengatakan ada tumor bersarang di mataku," ujarnya sambil memelukku lebih erat.

"Apa mungkin dokternya salah diagnosa?" tebakku.

"Tidak mungkin, dia dokter Sadewa, dokter paling terkenal di rumah sakit Medika. Aku sengaja memilih dokter terbaik agar aku bisa segera tahu penyakitku," jelas Alya.

"Alya, tenanglah dulu. Pikir positif, semua akan baik-baik saja," ujarku untuk mendukungnya. Paling tidak, kesedihannya berkurang.

"Bahas yang lain saja. Aku ingin sejenak melupakan penyakitku ini," ajak Alya. Aku melepas pelukan lalu tersenyum padanya.

"Aku kenalkan sama Irgi."

"Siapa dia?"

"Penulis sekaligus pemilik web Aksara.id. Dia orang baik, menyenangkan, dan tampan tentunya!" ujarku ceria.

"Jangan-jangan kamu suka karena ganteng?" goda Alya.

"Tentu saja tidak," jawabku lirih. Entah kenapa pipiku terasa hangat saat mengingat wajah tampan sepintas mirip aktor Songkang itu.

"Wah, kenapa pipimu jadi merah?" goda Alya lagi. Aku sadar, suara Alya terkesan dipaksakan agar terdengar ceria. Aku meneruskan candaan ini, setidaknya dia bisa sejenak melupakan pikiran tentang penyakitnya. Tentang Irgi memang tiada habisnya.

**