Chereads / A Night With CEO / Chapter 6 - Dari Elaine

Chapter 6 - Dari Elaine

Di sini, di gedung ini, sebuah hotel mewah pusat perkantoran yang menjadi tempat kerjaku. Senyumku selalu menghiasi wajah saat bertemu dengan rekan kerja maupun tamu hotel. Tiada satupun yang tahu isi hatiku, senyum itu sebenarnya adalah topeng untuk menutupi diriku sebenarnya. Aku harus bangun di pagi hari, mandi dan berdandan rapi. Alas bedak yang tebal itu menutupi kekurangan di wajahku sekaligus memalsukan jati diriku sebenarnya. Aku harus dua kali menjalani treatment kecantikan yang menyakitkan demi memperbaiki penampilan luar agar terlihat cemerlang. Aku bukan lagi Elaine yang cuek. Dandanan itu menjadi lapisan kulit luarku, memalsukan apa adanya diriku.

Hatiku lelah saat melihat perempuan berbalut blazer hitam rapi di depan cermin. Perempuan itu bukan diriku. Akupun harus menyembunyikan sikap asliku yang periang. Aku harus menjaga tawa, dilarang tertawa terbahak-bahak, cara bicara harus lembut, perlahan, tapi tegas. Aku kehilangan diriku yang cerewet. Sejak bekerja di sini aku benar-benar menjaga citra diri, aku merasa berbeda, seperti bukan diriku. Aku benar-benar muak menjalaninya.

Kurasakan lelah luar biasa. Pekerjaan menumpuk membuatku muak. Pikiranku seperti terhimpit. Aku kira dulu bebas memilih pekerjaan setelah lulus kuliah, ternyata semua sudah diatur orang tuaku. Aku harus menjadi pegawai kantor. Sesalnya, aku sulit untuk menghadapi orang, aku lebih suka berada dibalik layar. Namun aku dinilai layak berada di depan layar karena penampilanku yang menarik. Kiano memang menyemangati dan membuatku percaya diri dengan segala kekuranganku setidaknya sebelum dia kehilangan pekerjaan dan pasca pertengkaran kemarin. Dia menguatkanku bertahan sebagai sekertaris, dari perkataannya dia terkesan memaksaku untuk tetap menjalani pekerjaan membosankan. Dia bahkan enggan memahami mimpi terpendamku, menjadi seorang penulis.

Akupun mematikan komputer, kepalaku pusing melihat diagram tamu yang menginap di hotel. Aku ingin pulang ke apartemen lalu mandi agar tubuhku segar dan pikiran berat itu sedikit ringan larut dalam air. Aku segera keluar ruangan untuk menemui Kiano. Iya, aku mampu bertahan dengannya setelah kelakuan kasarnya padaku.

"Tolong antarkan aku ke toko buku," pintaku padanya setelah sampai di mobil

"Buat apa?" tanyanya sambil menekan persneling.

"Aku ingin jalan-jalan," bujukku.

"Jalan-jalan itu nonton, ke mall, main ke taman, minum di kafe, sayang. Ke toko buku malah bikin kamu makin pusing," tolaknya.

"Aku ingin membaca buku," bujukku keras kepala.

"Sudahlah, kita ke mall baru aja melihat air mancur dalam gedung. Sepertinya menyenangkan," ujarnya

"Nggak perlu. Sebenarnya ini mobil siapa sih?" keluhku.

Selalu begitu, Kiano selalu menolak diajak ke toko buku dengan berbagai alasan. Ini adalah mobilku, aku mencicil mobil ini dari gaji pribadi. Dia nggak ada ikut membayar tapi malah seenaknya memakai mobil dan mengatur kemana aku pergi. Aku kerja dari pukul delapan sampai pukul lima, dia ngapain aja?

"Kamu ngapain aja seharian?" tanyaku bermaksud ingin tahu kegiatannya selama memakai mobilku. Dia tidak menjawab, hanya menyetir cuek. Astaga, mana tanggung jawabnya ih, benalu.

*****

Malam itu aku melanjutkan tulisanku tentang kehidupan seorang gadis remaja polos di Denver, Amerika Serikat. Perkembangan tulisanku makin pesat saat kuliah karena aku memiliki sebuah laptop pribadi. Naskah novelku semakin banyak. Hanya itu saja. Aku tak pernah berani melempar ke penerbit. Aku punya dua alasan. Pertama, aku takut sekaligus malu jika karyaku ditolak. Kedua, orang tua dan kekasihku tidak pernah setuju dengan cita-citaku ini.

Dering telepon memecahkan keheningan malam di apartemen tempat aku tinggal. Dari Kiano.

"Ya, Sayang," ujarku.

"Kau sedang apa?" tanyanya dari seberang.

"Emmm…" aku berpikir, aku tidak mungkin bilang kalau sedang menulis. "Aku… aku sedang santai" jawabku asal-asalan.

"Lihat dari jendela," ujarnya. Akupun segera melihat dari jendela. Kebetulan kamarku berada di lantai lima dan menghadap langsung ke jalan. Dan, lagi, kejutan itu datang. Kiano ada di bawah sambil membawa buket bunga mawar merah. Aku tersenyum, dia selalu memberi kejutan padaku.

******

"Mawar dari kekasih, oh indahnya…" sapa Una, teman sebelah rumahku. Perlakuan Kiano membuat banyak teman-temanku iri. Dia memang pria romantis idaman wanita. Ada sepintas rasa bangga saat wanita lain menatap iri padaku. Namun semua itu hanya sesaat, aku merasa kekosongan yang amat dalam. Dia hanya mencintai aku dari luar, dia bahkan enggan menganggap mimpi besarku sebagai sebuah cita-cita. Dia tak sedikitpun menyentuh tulisanku. Buatku, semua tindakan romantisnya percuma saja saat dia tidak menghargai karyaku.

"Mungkin dia bakal ganti profesi jadi tukang antar bunga," candaku.

"Akupun mau kalau pengantar bunganya setampan itu," ujar Una. Aku hanya tertawa lalu kembali ke kamar untuk menyelesaikan tulisanku yang sudah memasuki bab lima. Aku berjalan santai ke meja belajarku. Tangan kananku meraih mouse lalu menggerak-gerakkannya. Tak ada gambar, layar hitam gelap tanpa cahaya. Aku terhenyak, ternyata aku lupa menyambungkan kabel charger untuk mengisi ulang baterai. Tadi aku sudah menulis sebanyak 10 halaman dan belum aku simpan. Emosiku naik ke titik didih. Aku melempar mawar pemberian Kiano ke lantai. Gara-gara mawar itu aku lupa pada karyaku. Aku lebih peduli pada tulisan yang belum aku simpan. Semoga sistem berbaik hati untuk menyimpan tulisanku.

**

Kiano dan Elaine tidak pernah ada chemistry untuk menyukai hal yang sama, selera mereka berbeda bahkan untuk makanan sekalipun.

Jika dipaksakan, akan ada sesuatu yang kurang mengenakkan bagi mereka.

Tangan Kiano yang kasar, tak sebanding dengan tangan lembut Elaine. Dirinya butuh sosok yang penyayang, bukan sosok tinggi, tegap dan kuat seperti tentara itu. Kadang tak jarang Kiano bersikap kasar pada Elaine, dengan sadar ia juga membawa mobil Elaine ke mana-mana sementara Elaine kerja.

Tak heran Elaine sedikit kehilangan rasa nyaman saat bersama dengan Kiano. Pria itu telah jauh berubah, tidak seperti awal menjalin asmara. Dulu Kiano begitu lembut, mereka tidak pernah bertengkar di awal pacaran. Setiap kali Elaine marah, Kiano selalu diam dan mengalah bahkan minta maaf meski bukan dirinya yang salah.

Namun semua berubah setelah mereka sama-sama lulus kuliah lalu Elaine lebih dulu yang dapat kerja di hotel bintang lima. Mungkin karena gengsi atau merasa Elaine jauh di atasnya, sikap Kiano berubah. Dirinya jadi kurang percaya diri lalu melampiaskan dengan kasar. Wajar jika Elaine tidak nyaman karena dirinya juga tidak menyangka dapat pekerjaan secepat itu padahal ia lebih ingin menulis daripada bekerja di kantor.

Tentang keinginannya itu, sudah ada ancang-ancang platform aksara.id akan jadi sasaran untuk dirinya mengembangkan hobi menulisnya apalagi ia bisa mendapat uang dari situ. Terlebih ada sosok penulis bernama Irgi yang membuatnya kagum baik dari tulisan maupun secara fisik.