Aska menatap Karin yang berjalan mendekatinya. Karin mencium kening Aska, tanpa malu di lihat dokter irwan dan dua perawat lainnya. Wajah Aska memerah pucat, antara malu dan bahagia.
"Sejak kapan Tuan Aska Aliando menjadi seorang yang pemalu...hem?" bisik Karin lembut di telinga Aska.
Aska menatap wajah Karin, wajah yang selalu di rindukannya. Dengan senyum lemah, Aska berbisik pelan.
"Temani aku di sini, aku takut jarum suntik itu menusukku lagi." Sorot mata Aska memelas.
"Pejamkan matamu, dan hanya dengarkan suaraku saja." ucap Karin masih dengan berbisik. Mata Aska berlahan mulai terpejam.
Karin memberi kode pada dokter Irwan untuk proses kemonya.
"Tetaplah mata kamu terpejam ya...aku akan memberitahu suatu kabar baik. Kamu tahu Ka, Edo sudah menerima hubungan kita. Bahkan dia ingin aku selalu untuk menjagamu, merawatmu dan mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Dia ingin sekali bertemu denganmu, ingin bertemu dengan seorang laki-laki yang telah mampu memikat hatiku." Cerita Karin yang memang sebenarnya terjadi mampu menenangkan hati Aska dari rasa ketakutannya.
Berkali- kali Karin mengusap jari panjang Aska, agar Aska lebih fokus pada sentuhannya dari pada jarum suntik dokter Irwan.
Proses kemo pun telah di lalui Aska dengan lancar. Dokter Irwan dan perawat laimnya meninggalkan Karin dan Aska.
Dokter Irwan memberitahu pengaruh kemo akan hilang setelah dua sampai tiga jam. Dalam waktu dua tiga jam itu, Aska akan mengalami rasa kesakitan yang sangat, jika tidak di bantu dengan obat anti nyeri yang berdosis tinggi, bisa di pastikan Aska tidak akan kuat melewati rasa sakit itu.
"Aska, bangun sayang." panggil Karin lembut di telinga Aska.
"Kamu bisa bangun sekarang."
Karin mengusap lembut pipi Aska yang semakin tirus.
Wajah Aska terlihat begitu lelah dan sangat pucat. Tubuhnya semakin hari semakin kurus. Hati Karin sangat terenyuh melihat keadaan Aska yang sangat di cintainya.
Setitik Airmata Karin jatuh membasahi dada Aska. Aska membuka matanya berlahan. Di lihatnya mata yang berlinang di mata Karin. Tangan Aska terulur meraih wajah Karin, dan menghapus airmata Karin dengan jari yang gemetar.
"Jangan menangis lagi, aku tidak sanggup jika melihatmu menangis. Apalagi menangis karena sakitku, jika kamu menangis, bagaimana aku akan bisa kuat? please." ucap Aska menatap wajah Karin sendu.
Hati Karin semakin menjerit, dada ini kenapa begitu sakit. Kenapa aku tidak bisa kuat melihat Aska seperti ini? kenapa aku tidak bisa tegar lagi?
Karin mengecup jemari Aska dengan sepenuh perasaan.
"Aku sangat mencintaimu, aku sangat mencintaimu Aska." lirih suara Karin.
"Aku juga sangat mencintaimu Rin, sangat mencintaimu." balas Aska dengan senyumnya yang semakin terlihat lemah.
"Kamu tidur ya sayang, aku di sini akan menjagamu." ucap Karin mengusap rambut kepala Aska.
"Kamu sangat terlihat tampan jika sedang tidur." goda Karin dengan mata yang berkedip.
"Benarkah?" bibir Aska tersenyum senang mendengar pujian Karin.
"Ya benar, kamu masih ingat? sudah berapa kali aku menciummu, dan aku selalu melakukannya di saat mata kamu terpejam."
"Sudah berapa kali Rin?" tanya Aska balik,
"Emmmm berapa kali ya Ka? empat kali mungkin ya." jawab Karin menatap dalam wajah Aska.
"Baru empat kali kan? belum yang lima ke enam..." sebelum Aska selesai bicara jari telunjuk karin sudah menutup bibir Aska.
"Apakah kamu ingin yang ke lima?" tanya Karin menatap lembut mata Aska yang mulai meredup.
"Hmm." balas Aska dengan lirih. Merindukan sentuhan bibir Karin yang memagutnya lembut.
"Mau?" suara Karin semakin lirih dengan wajah yang semakin mendekat ke wajah Aska.
"Hmm." Aska menatap bibir Karin yang mulai menyentuh bibirnya. Mata Karin terpejam, dengan hati yang penuh rindu dan sejuta rasa sedihnya melihat Aska terbaring lemah.
Karin memagut bibir bawah Aska dengan sangat pelan seakan tidak ingin menyakiti sedikitpun bibir Aska.
Aska membuka bibirnya sedikit, memberinya acses pada Karin agar bisa masuk ke dalam mulutnya.
Karin melumat dan memagut lidah Aska dengan sangat hati-hati, Askapun berlahan membalas lumatan bibir Karin yang bermain dalam mulutnya.
Nafas Aska terlihat tersengal, Karin memberikan ruang buat Aska untuk bernafas dengan membiarkan sejenak bibirnya berdiam menempel di bibir Aska.
"Apakah sakit?" tanya Karin pelan.
Aska menggelengkan kepalanya dan tersenyum, kemudian mengusap bibir bawah Karin yang memerah dengan jemarinya.
"Bibir ini, sekarang tidak malu lagi untuk menciumku dan sudah mulai pintar." bisik Aska.
"Apakah aku sudah sepintar dirimu?" tanya Karin polos.
Aska tertawa pelan sambil memegang dadanya.
"Jika kita sudah menikah, akan aku ajari kamu bagaimana seni dalam bercinta."
Karin tertawa dengan menutup bibirnya.
"Dalam keadaam sakitpun, masih berotak mesum ya." goda Karin tak bosan menatap wajah Aska yang begitu menggoda.
"Karin." panggil Aska sedikit mulai gelisah.
"Apa sayang?" Karin mendekat lagi ke wajah Aska.
"Aku ingin pulang, bisakah aku pulang besok pagi? aku ingin di rumah." Aska menatap sendu.
"Tapi, kamu belum sembuh benar Aska."
"Aku tidak ingin jika meninggal di sini Karin Jika aku meninggal aku ingin di rumah, bersamamu, bersama Mommy dan Dady." Suara Aska mulai parau. Tenggorokannya seperti tercekat, wajah Aska mulai memucat dan tubuhnya mulai bereaksi gelisah seperti menahan rasa sakitnya.
"Karin." panggil Aska meraih tangan Karin dan menggenggamnya.
"Bisakan kita pulang?" setitik airmata menetes di susut mata Aska.
Hati Karin hancur, rasa sedihnya tak bisa di tahannya lagi. Apa yang bisa di katakannya pada Aska, agar Aska bisa tenang sedang dirinya sendiripun sudah tak kuat menahan rasa kesedihannya.
"Aska, aku mohon...jangan lagi bicara seperti itu. Itu sangat menyakitiku, kalau kamu ingin pulang, kita akan pulang. Tapi tunggu kesehatanmu membaik dulu ya? aku janji kita akan segera pulang." ucap Karin dengan isakan kecil. Tak sanggup melihat Aska yang mulai kesakitan hingga tak sadar dia mengucapkan apa.
"Karin, ini sakit sekali! apakah tidak ada dosis yang lebih tinggi lagi? ini sakit sekali Rin!" keringat dingin mulai keluar di kening Aska. Tubuh Aska meringkuk masih menggenggam tangan Karin dengan sangat kuat. Suara Aska mulai terdengar menyayat hati, rintihannya, teriakannya, tangisannya, benar-benar membuat hati Karin melemah.
"Aku tidak kuat dengan rasa sakit ini Karin." Tangan Aska meraih pinggang Karin, dan menangis.
"Panggil dokter Karin, aku tidak kuat lagi."
Tangis Karin mulai meledak tak kuat lagi menahannya. Kesakitan Aska masih satu jam, padahal kesakitan itu baru terlewati kurang lebih dua sampai tiga jam,.
"Aska kamu harus kuat Aska, di mana Askaku yang selalu terlihat kuat? Ayo Ka, tunjukkan padaku sayang." isak Karin memeluk tubuh Aska dengan sangat erat.
"Karin, panggil dokter...beri aku obat apapun, asal rasa sakit ini hilang. Sungguh aku tak kuat lagi Karin." Aska merintih kesakitan. Dengan memeluk Aska, Karin menekan tombol panggilan.
Selang kemudian Dokter Irwan datang dan memeriksa kondisi Aska. Suster tolong siapkan suntikan untuk anti nyeri dosis tinggi. Dengan cepat, suster menyiapkannya dan menyerahkannya pada dokter Irwan.
Segera dokter Irwan menyuntikkan jarum pada punggung tangan Aska.
"Karin, walaupun kita sudah menyuntikkan anti nyeri ini, tetap tidak berpengaruh banyak,karena memang rasa sakit yang di alami Aska sangat luar biasa sakitnya jadi kalau bisa alihkan rasa sakit Aska pada sesuatu agar rasa sakit Aska sedikit berkurang." jelas Dokter Irwan
Karin mengangguk paham.
"Berikan Aska cinta dan semangat, itu akan banyak membantunya." pesan dokter Irwan sebelum meninggalkan tempat.
Karin masih memeluk, tubuh Aska yang meringkuk.
Di belaianya rambut kepala Aska dengan lembut. Aska masih merintih walaupun tidak sekeras tadi.
"Aku ingin pulang Karin, bawa aku pulang." rintih Aska dengan mata terpejamnya.
Karin naik ke atas ranjang Aska, merengkuh tubuh Aska. Dengan segenap perasaan, Karin menaikkan tubuh Aska dalam pangkuannya, kemudian di dekapnya penuh tubuh Aska dalam dadanya.
"Aska, kamu dengar aku kan sayang? dengarlah detak jantungku ini, sangat kencang. Detak ini semakin kencang jika aku memelukmu seperti ini, itu detak jantung cintaku padamu. Aku mencintaimu Aska, sangat mencintaimu." bisik Karin di telinga Aska. Rintihan Aska mulai sedikit terdengar, kepala Aska menyusup dalam dada Karin dengan mata yang masih terpejam. Kedua tangan Aksa masih memeluk erat pinggang Karin.
"Aku juga mencintaimu Karin, sangat mencintaimu." balas Aska lirih di dada Karin.