"Aku memang harus kuat Karin, karena aku tidak mau melihatmu bersedih apalagi hancur dengan melihat diriku yang semakin parah." ucap Aska dalam hatinya yang begitu pedih.
"Sudah Rin, jangan menangis lagi ya? mulai sekarang kita harus bahagia dan saling menguatkan Rin." ucap Aska menatap bening mata Karin yang masih berlinang airmata. Karin mengangguk dalam.
"Pagiiii Den Aska, Non Karin, ada tamu di luar cari Non Karin." ucap Pak Damar menghentikan adegan pelukan Aska dan Karin.
"Siapa Pak?" tanya Karin, yang merasa dirinya tidak punya teman selain Alea dan Edo.
"Non Alea sama Tuan Edo Non." jawab Pak Damar. Aska dan Karin saling berpandangan.
Karin menyunggingkan senyumnya pada Aska.
"Edo menepati janjinya ingin bertemu denganmu Ka." ucap Karin seraya mengusap pipi Aska. Aska tersenyum lembut.
Pak Damar berbalik ke pintu dan menyilahkan masuk Alea dan Edo. Tampak Alea tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya memeluk Karin dengan erat.
"Karin, beberapa hari tak jumpa seperti berbulan-bulan rasanya." ucap Alea mencium pipi kiri kanan Karin. Karinpun membalasnya seperti yang di lakukan Alea padanya.
"Kak Edo! sini...katanya kangen sama Karin." goda Alea tanpa sadar kata-katanya sedikit mencubit hati Aska.
Karin menatap Aska dan mengenggam tangannya memberi isyrat agar tidak memasukkan hati kata-kata Alea.
Edo yang masih berdiri agak jauh segera mendekati Karin dengan sedikit canggung.
"Hai Rin, sesuai janjiku...aku kemari mengunjungimu dan Aska." ucap Edo tersenyum menatap Karin dan beralih ke Aska yang duduk di ranjangnya.
"Kenalkan Do, ini Aska. Kamu ingin tahu Aska kan?" ucap Karin memperkenalkan Edo pada Aska. Edo tersenyum simpul menyalami tangan Aska yang kurus.
"Kenalkan aku Edo teman Karin."
Aska pun menyalami Edo dan menyebutkan namanya dengan hati yang mengecil karena merasa rendah diri.
Wajah Edo yang tampan, serta tubuh yang tegap tinggi dengan kulitnya yang kuning langsat terlihat bersih terawat.
Tidak seperti dirinya, ketampanannya sudah hilang dengan tubuh kurusnya. Karin melihat perubahan di wajah Aska, Karin merasakan apa yang di rasakan Aska.
"Alea, kamu tidak ingin kenal dengan Aska?" tanya Karin mengalihkan suasana yang hening sesaat.
Alea melayangkan senyum pada Aska, kemudian beralih pada Karin.
"Aku sudah lebih dulu kenalan sama Aska, saat Aska ke tokoku." ucap Alea pada Karin.
"Bagaimana keadaan Aska Rin? apa sudah ada pendonor tulang sumsum?" tanya Edo pada Karin.
"Pendonornya ada Do, kemarin Mommy Aska sudah mendapatkan empat pendonor tapi nihil tidak ada yang cocok." jawab Karin sedikit sedih jika mengingat hal itu.
Edo termangu-mangu mendengar jawaban Karin.
"Aku doakan agar cepat mendapatkan pendonor yang cocok ya. Siapa dokter yang menanganinya Rin?" tanya Edo lagi.
"Kak edo seperti polisi yang lagi interogasi saja. Tanya-tanya terus." potong Alea.
Edo mencubit pipi Alea.
"Lea diam ya, kak Edo tanya-tanya siapa tahu bisa bantu Aska Lea."
Karin tertawa lirih, melihat Edo dan Alea yang selalu bercanda dan sangat akrab.
"Sudahlah Alea jangan goda Edo terus. Oh ya Do, kalau kamu ingin tahu yang nangani Aska adalah dokter Irwan." jelas Karin,
"Apakah Dokter Irwan Ardiansyah?" tanya Edo cepat.
"Apakah kamu mengenalnya?" tanya Karin heran.
"Dia teman kakak kelas aku pas waktu SMA. Aku tahu dia bekerja di sini, tapi aku tidak tahu kalau dia yang menangani Aska." jelas Edo.
Aska yang mendengar dan melihat percakapan antara Karin dan Edo hanya bisa menyimpan rasa cemburunya dalam diam. Tanpa sadar Aska membandingkan dirinya yang tidak ada apa-apanya di banding Edo. Edo nampak terlihat, smart, dewasa dan mempunyai sifat yang perhatian dan terlihat sangat sabar.
Beda jauh dengan dirinya. Aska mengalihkan pandangannya agar tak melihat pemandangan yang membuatnya terluka. Karin melirik Aska yang mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran Alea dan Edo. Karin melihat Alea yang lagi fokus dengan ponselnya.
"Do, apa kamu bisa membantuku untuk bisa mencari pendonor tulang sumsum untuk Aska?" tanya Karin berharap Edo bisa membantunya.
"Aku akan membantumu Rin, aku banyak kenal dengan dokter-dokter di kota ini selain Irwan." ucap Edo pasti, kemudian mengalihkan pandangannya pada Alea.
"Lea, sudah siang...kita pulang ya? kakak harus hadir untuk pengesahan CEO hari ini." ucap Edo sambil membetulkan dasinya yang seakan mencekik lehernya.
"Woow, apakah CEO itu kamu Do?" tanya Karin senang dengan berita baru Edo.
Edo mengangguk kecil dan tersenyum.
"Selamat ya Do. Aska, beri selamat pada Edo gih! Edo sudah resmi jadi CEO sekarang." ucap Karin melihat Aska yang menatapnya dengan senyuman yang terpaksa.
"Selamat ya Do." Aska menyalami Edo
"Terimakasih Ka." balas Edo dengan senyumannya yang menawan.
Hati Aska kembali menciut. Sungguh tak ada lagi yang bisa di banggakan dari seorang Aska di banding Edo yang sangat sempurna.
"Baiklah Rin, aku pamit dulu ya. Entah besok aku akan kemari, mengunjungi kalian dan semoga nanti ada kabar baik soal pendonor buat Aska." ucap Edo menatap Karin dan Aska bergantian.
"Makasih banyak ya Do, tapi hari ini Aska sudah boleh pulang. Mungkin tiga hari kita di kota ini, setelah itu kita kembali kota N." jelas Karin.
"Emmmm begitu ya, kirim pesan nanti alamat Aska yang di sini dan yang di kota N ya? agar aku bisa mengunjungi kalian." ucap Edo sedikit kecewa karena tidak bisa menemui Karin lagi.
Alea yang mendengar Karin akan kembali ke kota N segera berdiri dan menghampiri Edo.
"Kak bukannya anak cabang papa ada juga yang di kota N ya? Kak Edo minta pindah aja di sana kak, biar bisa bantu Karin jika terjadi sesuatu." ucap Alea, yang kata-katanya sedikit melukai hati Aska lagi.
Edo menatap Alea dan mencubit pipi Alea dengan keras.
"Kalau ngomong di jaga Lea, sekarang Karin punya Aska, bukan punya kak Edo lagi."
"Tapi kan...." sebelum Alea meneruskan ucapannya Edo sudah membungkam mulut Alea dengan tangannya.
"Rin...Aska...kita pulang dulu ya? jangan lupa alamat Aska ya Rin." ucap Edo sambil membawa Alea keluar dari kamar Aska.
Karin hanya bisa tertawa melihat tingkah Edo dan Alea yang tak pernah berubah.
"Ka, kita pulang sekarang ya?" ucap Karin pada Aska yang terlihat banyak diam sedari kedatangan Edo dan Alea. Aska mengangguk. Karin segera memanggil pak Damar agar membantu membawa barang-barang Aska.
Dari keluar rumah sakit sampai dalam perjalanan pulang, hingga sampai di rumah Aska hanya diam dengan wajah yang terlihat sedih.
Karin ingin bertanya tapi masih di tahannya karena masih ada Pak damar yang sibuk memasukkan barang-barang Aska ke kamar.
"Trimakasih ya Pak damar. Oh ya..pak Damar, jam berapa pak Damar akan menjemput Mommy nanti?" tanya Karin setelah membantu Aska berbaring di ranjangnya.
"Sebentar lagi Non, kenapa Non?"
"Bisakah pak Damar membelikan saya gitar nanti?" tanya Karin yang membuat pak damar dan Aska heran.
"Buat apa Non?"
"Ada deh pak." sahut Karin tersenyum kecil.
"Pak Damar." panggil Aska pada Pak Damar. Pak Damar menghampiri Aska.
"Ini uangnya, belikan yang bagus kualitasnya pak." ucap Aska tanpa melihat Karin.
Pak damarpun keluar dari kamar Aska, setelah menerima uang dari Aska.
Karin hanya bisa menatap Aska dengan mulai menyabarkan hati dengan sikap Aska yang kekanakan tapi keras hati.
Karin mendekati Aska dan mengambil duduk di samping Aska.
"Ada apa Ka?" tanya Karin sambil meraih tangan Aska kemudian di kecupnya lembut.
"Tidak ada apa-apa." jawab Aska, sambil menarik tangannya dari genggaman Karin. Kemudian memiringkan badannya memunggungi Karin yang nampak tersenyum simpul.
Karin sudah tidak heran lagi melihat sikap Aska yang lagi ngambek, dengan sikap yang seperti itu, selain selalu menyabarkan hati untuk menghadapinya.
"Hemm..hemm." dehem Karin menggoda Aska.
"Sepertinya kekasihku lagi tidak enak hati ya, baiknya aku tinggal saja gimana ya? biar hilang dulu rasa hatinya yang tidak enak." ucap Karin berpura-pura bangun berdiri hendak keluar kamar.
Aska membalikkan tubuhnya dengan wajah yang sangat kecewa dan terluka, mendengar ucapan Karin yang di anggapnya serius.
"Pergilah Rin, jika memang sikapku membuatmu tidak nyaman. Pergilah kamu ke Edo, orang yang sangat sempurna, yang bisa membuatmu nyaman. Aku memang kekanakan tidak seperti Edo yang dewasa yang selalu mengerti dirimu, dan lagi pula aku tidak lagi setampan Edo, aku sadari itu. Aku memang tidak ada apa-apanya di banding Edo, selain hanya seorang laki-laki yang lemah yang pesakitan. Aku sadari itu Rin." ucap Aska lirih dengan nafasnya yang mulai naik turun menahan perasaannya yang terluka.
Karin berdiri terpaku, dengan mulut yang terbuka mendengar kata-kata Aska yang panjang yang sama sekali di luar pemikirannya.
"Aska."