"Karin, apa kamu yakin bisa siap jika sewaktu-waktu menerima amukan Kak Edo?" tanya Alea mengingatkan Karin agar tidak masuk kamar Edo.
"Yakin." jawab Karin singkat namun pasti.
"Rin, trimakasih sebelumnya karena kamu mau menerima untuk tinggal bersamaku walau sementara waktu, dan trimakasih juga karena mau menemui kak Edo." Alea memeluk Karin dengan hati yang lega. Karena kebencian dan kemarahan di hati Karin telah sirna dengan mengetahui cerita yang sebenarnya.
"Aku yang mengucapkan terimakasih padamu Alea, karena sudah memberi aku tempat tinggal sekaligus memberi aku pekerjaan dan soal Edo akulah yang bersalah di sini. Akulah orang yang harusnya bertanggung jawab hingga membuat Edo seperti ini." ucap Karin dengan mata berkaca-kaca menahan rasa bersalah.
"Aku berharap padamu Rin, semoga kak Edo bisa sehat kembali." Alea memberikan senyumnya penuh semangat.
"Semoga ya Alea, aku masuk dulu." Karin membuka knop pintu kamar Edo setelah membukanya dengan kunci.
"Semangat Karin." pekik Alea.
"Aku akan menunggumu di sini."
Karin tersenyum dan mengangguk. Berlahan Karin masuk dan menutup pintu dengan sangat pelan.
Tampak di dekat cendela yang berjeruji besi, Edo sedang termangu menatap jauh ke suatu tempat.
Wajah Edo yang dulu bersih dan selalu rapi, kini nampak tidak terurus, rambutnya yang sedikit gondrong dan bulu-bulu yang tumbuh kasar di daerah rahang dan dagunya.
Tubuh Edo sangat terlihat kurus, dengan pandangan matanya yang sangat kosong.
Karin berjalan lebih mendekat di mana Edo berdiri.
Edo sama sekali bergeming walau Karin sudah berada dekat di sampingnya. Pandangan Edo masih menatap jauh pemandangan di luar jendelanya.
Mata Karin mengikuti pandangan mata Edo, ternyata di luar sana nampak danau buatan dengan bunga-bunga indah yang tumbuh di pinggiran danau tersebut, ada beberapa angsa yang berenang di sana.
"Apakah kamu ingin ke sana Do?" tanya Karin pelan.
Pendengaran Edo terusik dengan suara yang tidak asing di telinganya, Edo menoleh menatap wajah yang mengajaknya berbicara. Edo terdiam sejenak, dengan kening yang mengkerut, tiba-tiba Edo mengeluarkan tangis terisak-isak dan kemudian di susul dengan tawa terbahak-bahak.
Masih dengan tertawa Edo menatap tajam Karin. Karin mundur beberapa langkah saat Edo mendekatinya dan mendekatkan wajahnya tepat di depannya.
Mata Edo melotot kedua tangannya mengepal erat.
"Siapa kamu? apa aku mengenalmu hm?" gertak Edo dengan suara menggeram.
Karin mundur lagi sampai mentok di sisi dinding.
Edo semakin merapatkan tubuhnya dekat di dadanya. Karin memalingkan wajahnya tanpa membalas pertanyaan Edo.
Edo menatap lekat-lekat manik mata Karin, kemudian Edo kembali tertawa terbahak-bahak.
Dengan tangannya yang sedari tadi mengepal tiba-tiba Edo meninju keras dinding yang di belakang Karin.
Karin memiringkan kepalanya agar tidak terkena pukulan Edo. Berulang-ulang Edo meninju dinding itu dengan keras hingga ruas jari Edo mengeluarkan darah, darah mengalir dan tercecer di lantai.
Karin menangkap salah satu tangan Edo yang masih akan meninju dinding tersebut. Namun dengan cepat tangan Edo yang satu menarik leher Karin dan sedikit memeluk leher Karin seperti terlihat mencekik leher Karin.
Dengan menggunakan salah satu kakinya, Karin menendang lutut Edo dari arah depan, saat Edo agak terjatuh karena kakinya yang tidak seimbang, dengan cepat Karin, menarik tangan Edo dan memutarnya kemudian menjatuhkan tubuh Edo ke lantai.
Sayangnya saat Edo jatuh di lantai kaki kiri Edo sempat menjegal kaki Karin, hingga Karinpun jatuh terjerembab di atas tubuh Edo. Mata Edo menatap mata Karin, begitupun sebaliknya, selang beberapa detik keduanya saling terpaku saling memandang.
Karin mencoba menahan tubuhnya dengan menjadikan sikunya sebagai tumpuan agar tidak terlalu menekan tubuh Edo.
Wajah Edo nampak gelisah, dengan mendorong tubuh Karin yang di atasnya Edo bangun dan berlari dan terduduk di ujung sudut kamar.
Edo menangis terisak-isak, darah di ruas jarinya masih menetes walau sebagian yang mengalir ada yang hampir mengering.
Dengan sedikit merangkak Karin beringsut mendekati Edo. Di raihnya tangan Edo yang berdarah, di balutnya luka itu dengan sapu tangan Karin yang di ambilnya dari kantong celananya.
Edo masih terisak tanpa ada penolakan atau melawan Karin. Bahkan saat Karin menarik salah satu tangannya yang tidak terluka agar Edo berdiri. Karin mendudukkan Edo di tepi ranjangnya.
"Duduk di sini ya, jangan ke mana-mana, aku akan segera kembali, aku harus mengambil obat untuk lukamu." ucap Karin sangat pelan menatap mata Edo, di mana Edo juga menatapnya dengan mata penuh kesedihan. Karin membelai rambut Edo sejenak kemudian melangkah keluar dan mengunci pintu itu dari luar.
Alea yang menunggunya di luar bergegas menghampiri Karin.
"Bagaimana Rin, apakah kak Edo mengenalimu?" tanya Alea.
"Tidak, Alea kamu tunggu di sini dulu ya, aku ke ruang perawat dulu untuk meminta betadine dan perban, jari-jari Edo terluka." ucap Karin dengan wajah terlihat lelah dan berkeringat.
"Baiklah, biar aku yang menunggunya." balas Alea.
Dengan sedikit berlari Karin menemukan ruang perawat, sedikit singkat Karin menceritakan kejadian yang di lakukan Edo, Salah satu perawat memberikan apa yang di butuhkan Karin.
Karinpun berlari cepat kembali ke kamar Edo.
"Karin." teriak Alea memanggilnya,
"Ayo cepat kamu masuk, Kak Edo mengamuk menggedor-gedor pintu tadi, sekarang empat perawat di dalam. Aku tidak mau jika kak Edo harus di ikat atau di suntik tidur lagi. Aku mohon Rin, tolong kak Edo." ratap Alea memohon.
Karin segera masuk dan menjumpai tubuh Edo yang sudah terbungkus kain tebal dengan rapat, nampak ada darah yang merembes di kain tersebut.
Suara Edo meraung-raung seperti orang kesakitan. Dengan di pegang tiga perawat, salah satu dari mereka akan menyuntik leher Edo.
"Jangannnn!" stoopp tolong! aku mohon jangan suntik Edo. Aku akan menenangkannya, aku berjanji aku akan menjaganya. Aku juga seorang perawat, tolong kali ini saja." mohon Karin dengan suara yang hampir habis.
Ke empat perawat itu saling pandang, kemudian merekapun memberi Karin kesempatan.
Karin mengambil nafas lega. Dengan pelan Karin mendekati Edo yang terbaring dengan pembungkus kainnya.
Airmata Edo mengalir dengan keringat yang membasahi wajahnya, suaranya melenguh bercampur tangis.
Dengan airmata yang berkaca-kaca Karin mengusap keringat di wajah Edo dengan tissu.
"Edo, aku akan membuka pembungkus ini, tapi kamu harus janji kamu harus bersikap baik, apakah kamu berjanji?" tanya Karin lembut.
Edo menganggukkan kepalanya dengan cepat dan berulang-ulang.
"Anak pintar." Karin membelai pipi Edo yang nampak tirus, kemudian karin membuka segelan pembungkus kain tersebut.
Tubuh Edo telah terbebas. Edo turun dengan cepat dari ranjangnya dan berlari duduk di ujung kamar.
Edo nampak lebih nyaman berada di ujung kamar tersebut. Karinpun melangkah sambil membawa betadine dan perban, duduk tepat di depan Edo yang duduk menekuk dengan wajah takutnya.
"Hai, kamu akan baik-baik saja Do?" ucap Karin lembut.
"Tidak akan ada yang mengikatmu lagi, aku janji." lanjut Karin.
Edo mengendurkan tubuhnya yang sedari tadi tegang. Karin meraih ruas jari Edo yang terluka. Di lepasnya sapu tangannya yang Karin buat untuk membalut luka Edo tadi. Tapi saat Sapu tangan itu sudah terlepas, Edo menyaut cepat sapu tangan itu lalu di sembunyikan di belakangnya.
Karin tersenyum melihat tingkah Edo yang seakan akan menyimpan sapu tangan tersebut.
Dengan sangat telaten Karinpun mengobati luka Edo dan membalutnya dengan rapi. Edo menatapnya Karin dengan matanya yang berair.