"Kemari kau kucing nakal!", ucapku, mengangkat seekor kucing dengan bulu berlumuran tanah hitam dari selokan yang hampir membuatnya tenggelam. Astaga, baunya seperti ikan busuk dan telur pecah. Aku harus menahan nafas saat mengangkatnya keluar dari selokan.
"Kau lumayan berat", ucapku dengan kedua tanganku menaruhnya ke dalam keranjang rotan berisi pakaian kotor dan menutupnya sebelum kembali berjalan membawa keranjang yang semakin memberat.
Seperti biasa, kota Aoife selalu dilanda hujan di pagi harinya, karena asap dari pabrik belerang di pinggir sungai meningkat. Aoife yang berarti cahaya, seharusnya menggambarkan seberapa indahnya kota ini. Tapi, yang kau lihat hanya bangunan tua yang hampir roboh karena hujan asam dan gumpalan awan hitam yang tak pernah pergi dari pulau ini. Sialnya, beberapa tahun lagi semua orang akan melakukan imigrasi karena polusi udara di sini semakin parah.
Aku mencuci pakaianku seperti biasa di tempat laundry yang tak jauh dari apartemenku.
"Astaga", panikku, karena hampir saja memasukkan kucing yang kupungut bersama pakaian kotor ke dalam mesin pencuci.
"Diam di sini", perintahku pada kucing yang masih dalam keranjang pakaianku. Walau aku yakin dia tidak mengerti dengan ucapanku, aku melanjutkan aktivitasku memasukkan sabun ke dalam mesin cuci.
"Mungkin aku bisa memandikanmu sementara menunggu", gumamku, setelah selesai memasukkan semua pakaianku dalam mesin cuci dan hanya perlu menunggunya bersih lalu memasukkannya ke dalam mesin pengering.
Aku mengangkat keranjang pakaian yang berisi seekor kucing yang bau busuknya memenuhi ruang laudry ini. Orang-orang dalam laundry menatapku aneh dan juga jijik pada isi keranjang pakaian yang tengah kuangkat, namun kuabaikan dan segera berlari ke toilet belakang laundry. Aku mengunci pintu toilet dan mengambil shower kloset yang tergantung di sisi kloset duduk setelah mendudukkan kucing penuh gumpalan tanah di atas kloset yang sudah kututup.
"Diam dan biarkan aku membersihkanmu, kau mengerti!", ucapku lagi, seperti orang bodoh meminta hal seperti itu pada seekor kucing.
Kupikir dia akan memberontak seperti mencakarku atau berlari saat aku mengguyurnya dengan air dari shower. Tapi, dia malah diam dan menatapku dengan mata merah hazelnya yang hitam membulat, membuatku luluh. Aku cukup kaget saat tanah hitam yang menempel di bulunya mulai pudar dan jatuh ke lantai kloset. Bulunya berwarna putih dan sedikit kecoklatan karena sisa tanah yang masih menempel. Kurasa ini sudah cukup, aku hanya perlu membuatnya tak bau dan sedikit bersih. Lagi pula, aku tidak bisa memandikannya menggunakan sabun pakaian atau memakaikan pewangi pakaian padanya, itu akan membuat bulunya rontok atau lebih parahnya adalah dia mengalami iritasi kulit karena bahan berbahaya dalam sabun pakaian.
Aku melepaskan kucing itu keluar laundry setelah membersihkannya dan kembali pada pakaianku yang sudah siap dikeringkan. Sambil mencatat beberapa kalimat menyedihkan, aku menunggu mesin pengering yang mengeringkan pakaianku berhenti.
'Dunia, apa kau merasakan langkah kaki yang teguh di permukaanmu? Apa kau mendengar jeritan dan tangis yang tertahan tengah melayang di atasmu? Lalu, kenapa kau masih membiarkan banyak darah hitam mengotori jubah sucimu? Tidakkah kau ingin menggigit ratusan sampai ribuan pembuat kacau ini? Tidakkah kau ingin menghancurkannya seperti kami menggerogoti paru-parumu secara perlahan sampai kiamat datang. Dan saat itu, kaulah yang akan dijadikan kambing hitam karena tak memperingatkan",~
Aku terhenti dari aktivitas menulisku karena suara pemberitahuan mesin pengering yang mati. Cepat, aku membawa semua pakaianku yang sudah bersih ke dalam keranjang dan membawanya keluar laundry.
Entah apa yang terjadi, sepertinya dewi fortuna tengah berbaik hati membiarkan kota Aoife disorot matahari sebentar, sementara gumpalan awan hitam akan kembali menyelimuti beberapa menit dekat. Saat sampai di depan pintu apartemen. Seperti biasanya, aku mengambil kuncinya di atas ventilasi pintu dan dikagetkan sebuah suara setelah membuka pintu. Apa aku salah dengar? Tapi suara itu seperti ringkikan kucing yang kedinginan.
"Ah, sepertinya aku teringat dengan kucing yang penurut tadi", gumamku mengabaikan suara yang baru saja lewat dalam kepalaku dengan membuka pintu.
"Meow"~
Kali ini suara itu benar-benar di bawahku. Tepat saat aku menunduk, aku menemukan dari mana asal suara itu selain dari seekor kucing yang tadi pagi kumandikan dalam kloset laundry.
"Hey, bagaimana kau bisa ke sini?", tanyaku dengan heran berjongkok untuk mengelus kepalanya.
"Kau mengikutiku?", tanyaku dengan gemas mengacak bulu-bulu pipinya yang sedikit ikal.
"Baiklah, ayo keluar dari sini. Aku tidak bisa merawatmu karena bekerja", ucapku ingin mengangkat kucing itu namun dia terlebih dahulu berlari menghindari tanganku.
"Kemari kau!", ucapku dengan susah payah menangkapnya.
"Dapat kau, kucing nakal!", ucapku setelah berhail menangkapnya dan menyeret kucing ini ke tangga keluar apartemen. Tapi, yang kulihat adalah hujan lebat di luar dan udara dingin yang mulai masuk dari pagar keluar koridor apartemen, membuatku mengurungkan niat untuk melempar keluar kucing ini dan membawanya kembali ke dalam apartmenku. Aku melepas sarung tanganku dan melemparnya ke dalam tempat sampah di samping pintu setelah mengunci pintu apartemen kembali.
Kucing itu berjalan masuk ke ruang tamu, membuatku tenganga melihat kaki kotor itu menginjak lantai apartemenku yang bersih. Dengan cepat, aku mengangkatnya masuk ke dalam kamar mandi untuk kembali memandikannya. Karena terburu-buru ke kamar mandi kakiku terinjak sabun batang yang seharusnya ada di sisi wastafel dan melayang dengan kucing di tanganku terlempar ke langit-langit. Jeritakanku yang menggema dalam kamar mandi kedap suara ini detik-detik bokongku akan menghantam keramik.
Brak
Aku terduduk dengan ringisan sakit tertahan dan kucing yang terlempar mendapat tepat di atas kepalaku. Aku tahu kau membayangkan seorang pangeran akan dengan secepat mungkin menangkapku sebelum jatuh ke lantai. Ketahuilah, itu hal yang sangat mustahil dan tidak logis, kalian terlalu banyak membaca novel fantasi dan menghayal atau para author manis yang membuat halusinasi kalian semakin parah.
"Ini sangat menyakitkan", ringisku sambil mengusap bulir air di sudut mataku sebelum menurunkan kucing yang menempel di atas kepalaku.
"Kau baik-baik saja kitty?", tanyaku menyentuhnya. Tapi bukan gumpalan bulu yang kusentuh, melainkan kulit yang sangat lembut. Cepat, aku menarik tanganku dan melihat melihat kedua telapak tanganku. Apa aku berhalusinasi?
"Meow"~
Suara itu membuyarkan lamunanku dan berbalik ke belakang melihat kucing itu sudah turun dari kepalaku sedari tadi. Tidak, aku memang merasa seperti ada yang menahan kepalaku saat terjatuh tadi. Tapi, apa itu?
"Astaga, apa yang terjadi dengan tanganmu?", panikku melihat kaki kanan depan kucing itu mengeluarkan darah. Astaga, apa yang harus aku lakukan? Oh ya, aku akan menelpon Fen untuk menyelesaikan masalah ini. Sementara menunggu Fen mengangkat telponku, aku meletakkan kucing ini ke atas pangkuanku dengan hati-hati takut menyentuh lukanya.
"Hey Fen, aku ingin memandikan kucinh dan baru saja menjatuhkannya, lalu kaki depannya terluka. Apa yang harus kulakukan?", tanyaku langsung saat Fen mengangkat telponnya.
"Um, nona. Tuan Fen tengah keluar mencari makan, bisa saya sampaikan padanya?", jawab seorang wanita di seberang telpon, bukan orang yang kucari. Aku tahu betul sikap temanku yang satu ini. Dia selalu bergonta-ganti pasangan dan kekasihnya selalu cemburu pada persahabatan kami, walau sudah kubilang aku seorang lesbian untuk merahasiakan haphephobiaku.
"Katakan pada Fen, nyawa kucing ini lebih penting dari pada menemani anjingnya jalan-jalan", sinisku sambil mengelus dagu kucing yang mendengkur di pangkuanku, karena merasa nyaman.
"APA!", Teriak wanita di seberang telpon sebelum kumatikan telpon sepihak. Sepertinya aku membuat Fen singel lagi. Aku tidak menyesal dengan apa yang aku katakan, toh perempuan itu hanya memoroti dompet Fen.
"Baiklah, sepertinya aku akan mencari cara untuk memandikanmu tanpa menyentuh lukamu dan mengobatinya setelah ini", ucapku mencari ide dan segera bangkit.
"Selesai", antusiasku setelah memasangkan pembalut ke kaki kanan depan kucing itu.
"Hanya untuk sementara aku memandikanmu", ucapku memasukkan kucing itu ke dalam ember dan mulai membersihkan bulunya dengan sikat menggunakan sedikit sabun mandiku biasanya.
Setelah memandikannya, aku mengeringkan bulunya dengan hair dryer. Lalu memperban lukanya yang sudah kubersihkan dengan hati-hati.
"Kuharap lukanya akan cepat sembuh. Aku akan membawamu ke klinik hewan setelah pulang dari kerja", ucapku sambil mengelus bulunya yang seputih salju dan sangat lembut. Bagaimana kucing secantik ini bisa berada di selokan? Bahkan melihatnya saja membuat orang-orang tak tega membuangnya.
"Apa kau kabur?", tanyaku tak henti mengelus kucing ini.
"Meow"~
Aku sedikit kaget dengan jawaban itu, seakan-akan dia menjawab pertanyaanku. Abaikan, baunya seperti sabun mandiku, aroma manis yang lembut. Membuatku tak henti-hentinya menciumnya semakin dekat.
Cup
Secercah cahaya yang membutakan tiba-tiba keluar dari kucing itu, saat aku menciumnya. Hal yang wajar jika aku mencium kucing kan? Lagi pula dia cantik dan sangat wangi. Cahaya itu membesar, membuatku menutup mata karena silaunya. Cahaya itu mulai meredup, saat itu juga aku membuka mataku dan melihat apa yang ada di depanku, membuatku berkeringat dingin dan bergetar ketakutan.
"Sialan, phobiaku kumat",~
TBC