Chapter 4 - 4

"Hai, kitty. Apa kau kelaparan menungguku?", tanyaku sambil mengangkat kucing ini dengan kedua tanganku yang sudah meletakkan paper bag pakaian pria di atas sofa.

"Aku memiki beberapa tuna segar untukmu", ucapku membawanya ke dapur dan meletakkannya di atas kursi depan meja kabinet. Lalu mengambil ikan tuna segar dalam kulkas dan membawanya ke wastafel dengan sebuah mangkok serta pisau. Aku mencuci tanganku dengan sabun dan segera mencincang ikan tuna sebelum merebusnya.

"Makanlah", ucapku meletakkan sepiring ikan tuna yang sudah direbus di depan kucing itu sambil mengelus kepalanya sebelum pergi ke kamarku. Aku merasa tenang saat menyentuh kucing itu, ini bukan hal yang biasanya kulakukan.

Saat aku mengguyur tubuhku di bawah air shower yang kunyalakan setelah melepas semua pakaianku dalam kamar mandi ini. Aku melihat tanganku yang penuh luka goresan, terasa perih saat aku mengulitinya dengan kukuku sendiri. Apa yang telah kulakukan seharian ini? Aku terduduk di lantai marmer kamar mandi, memeluk lututku merasakan dinginnya air yang mengalir di punggungku.

Bisakah rasa takut ini hilang? Sangat menyakitkan saat aku tak bisa menyentuh apapun atau pun disentuh. Bisakah orang-orang tak menatapku dengan sinis? Seakan-akan aku sangat menjijikkan. Aku memang sangat menyedihkan, ditambah halusinasi yang kualami membuat masalahku bertambah. Apa yang harus kulakukan dengan perusahaan itu? Aku tidak mungkin bisa meneruskannya tanpa bantuan Theo, tapi dengan bodohnya aku mengeluarkannya hanya karena dia mengambil penghasilan yang lebih banyak dariku. Bukankah itu pantas dia dapatkan sebagai figuran? Rasanya aku ingin mati dan tak pernah dilahirkan.

Saat melihat jariku mengeriput karena terlalu lama terguyur di bawah air, aku mematikan shower dengan cepat membersihkan diriku. Aku keluar dengan handuk yang melilit di tubuhku, sambil mengeringkan rambutku dengan handuk kecil dan dikagetkan oleh suara kucing di ambang pintu.

"Kau selesai makan? Apa sudah kenyang?", tanyaku seolah-olah tengah bicara pada seseorang, sambil mengambil piyama dalam keranjang pakaian. Aku memakai piyama putihku dan duduk di depan cermin untuk menyisir rambut selututku.

"Sepertinya aku harus memotongnya", gumamku karena merasa kewalahan menyisir rambutku yang terlalu panjang ini. Sayup-sayup, kudengar suara hujan dan suhu dingin yang tiba-tiba masuk dengan cepat ke dalam kamarku. Lalu, suara bantingan jendela di luar kamarku. Cepat, aku keluar dari kamar dan melihat jendelaku terbuka. Terburu-buru, aku menutupnya dan mengambil pel di dapur untuk mengelap air hujan yang masuk dari jendela.

"Sejak kapan aku membuka jendela?", gumamku kembali mengingat apakah aku pernah membuka jendela dalam apartemenku sambil berjalan kembali ke kamarku untuk istirahat. Aku duduk di atas kasur kecil dekat jendela kaca menghadap jalan raya, menampilkan suasana kota malam yang terus diguyur oleh hujan. Sambil mengeratkan selimut pada tubuhku, aku memasang kedua earphonku dan memutar musik jazz pada ponselku.

'Aku sendirian di atas dataran yang dibanjiri darah ini. Tak ada yang bisa bertahan dengan kesepian karena mereka. Kecuali itu adalah kutukan yang mereka dapatkan sejak dilahirkan'~

Kucing putih itu naik ke atas pangkuanku dan membaringkan dirinya mencari kehangatan dari selimut yang menyelimutiku. Aku mengelus bulu putih selembut kapas miliknya dengan pelan.

"Aku akan mengantarmu ke penampungan hewan besok. Kau tidak bisa tinggal di sini", ucapku yang lagi-lagi bicara pada seekor kucing dengan bodohnya. Aku menghembus nafas gusar dan melihat ke luar jendela, kembali memikirkan apa yang sudah kulakukan seharian ini. Saat aku kelakukan semua itu, aku sadar dan merasa ada dorongan semangat yang sangat kuat sampai-sampai membuatku melakukan hal gila itu.

"Aku memang mengidap skizofrenia", gumamku disela kekehan miris. Aku akan bicara pada Theo untuk memintanya kembali, mungkin dia akan memaafkanku.

"Tapi, aku menyebutnya traidor dengan sinis dan pasti didengar semua orang dalam rapat itu. Dia pasti tak akan memaafkanku", aku memeluk lututku ketakutan sambil mengetukkan jariku ke jendela yang dingin karena tertiup oleh angin malam kota.

"Aku harus melakukan sesuatu, aku tidak mungkin menelantarkan perusahaan milik ayah karena ini satu-satunya yang kumiliki", frustrasiku dan mulai menangis sesegukan.

Hangat, tiba-tiba sesuatu yang hangat merengkuhku ke dalam sebuah dekapan hangat. Apa ini? Bahkan tangisku terhenti karena perasaan ini. Apa ini halusinasi lagi? Skizofrenia kah?

Tidak, ini terlalu nyata karena aku bisa mendengar detak jantung seseorang! Aku membuka mata lebar-lebar karena kaget setengah mati melihat seorang pria yang tiba-tiba di depanku. Tunggu sebentar, dia pria pagi tadi! Ini nyata dan aku tidak tengah berhalusinasi. Aku turun dari kasur kecil samping jendela ini sambil mengangkat kedua tanganku kegirangan. Terasa ada sesuatu yang hangat dalam jantungku, menjalar ke kepala dinginku dan membuatku bersemangat seketika, sepertinya aku kelebihan kafein.

"Apa kau baik-baik saja?", tanya pria itu, melihatku senang setengah mati mengetahui kalau ini bukan halusinasi. Aku menenangkan diriku yang sangat bersemangat ini dan mengingat pakaian yang kubeli tadi sore.

"Tunggu di sini dan jangan lepaskan selimutnya", peringatku sebelum keluar kamar untuk mengambil paper bag berisi pakaian pria. Saat aku kembali ke kamarku, mataku melotot melihat ponselku hampir jatuh ke lantai karena dimainkan oleh pria itu.

"Letakkan itu di atas meja, kau tidak ingin menambah masalahku kan", ucapku menghampirinya yang terlihat sedikit gugup.

"Apa kau bisa memakai ini sendiri?", tanyaku menyerahkan paper bag berisi pakaian padanya. Dia membuka isinya dan menatap balik ke arahku.

"Baiklah, aku akan keluar. Beritahu aku jika kau sudah selesai", ucapku sebelum meninggalkannya keluar dan menutup pintu kamarku. Aku pergi ke kabinet dapur untuk membuat dua gelas coklat dalam mug putihku yang lama tak dipakai. Perasaan hangat dan semangat ini, seperti terpapar matahari di pagi hari. Bahkan setelah mengkosumsi dua gelas kafein di hari ini, membuatku lebih bersemangat.

"Nona, kau sangat berani mengkosumsi dua kopi dalam satu hari. Apa kau ingin bunuh diri?", suara itu mengagetkanku dan menoleh ke asal suara dengan cepat. Dia sudah memakai pakaian yang kubeli untuknya dan untungnya pakaian itu hanya sedikit kebesaran di badannya. Ya, aku tak mahir menebak ukuran pakaian seseorang. Kembali ke ucapannya yang membingungkan, apa maksudnya?

"Bunuh diri?", ulangku berjalan menghampirinya yang tengah berjongkok di atas kursi, seperti kebiasaan kucing saat duduk.

"Kau paranoid kan? Kafein meningkatkan adrenalinmu dan itu membuatmu tak bisa tidur. Kau akan bergadang semalaman dengan pikiran negatif yang terus bertambah hingga kau merasa ada ledakan dalam kepalamu. Tebak apa yang terjadi setelahnya?", jelasnya dengan antusias dan menanyakan hal yang tak kumengerti.

"Mungkin-",

"Ya, kau akan bunuh diri", ucapnya menjawab pertanyaannya sendiri sebelum aku menjawabnya karena berpikir terlalu lama.

"Bagaimana dengan secangkir coklat hangat", tawarku menyodorkan gelas mug berisi coklat hangat ke depannya sambil tersenyum ramah.

"Apa ini kayu manis?", tanyanya saat melihat minuman itu, kutebak itu adalah pertama kalinya ia melihat minuman itu.

"Bukan, ini lebih baik dari kayu manis", ucapku sebelum menghirup coklat hangatku. Dia sedikit enggan mengangkat segelas coklat itu, namun terlihat penasaran dengan rasanya dan meminumnya sepertiku dengan kedua tangan yang memegang mug putih hangat di depannya.

Awalnya dia terlihat kaget saat menyesap coklat hangat itu, namun tak lama ia mulai meminumnya dengan cepat hingga habis. Aku menyeka sisa coklat di daguku karena tersedak menahan tawa saat melihat tingkah pria manis di depanku ini.

"Amon-Ra harus meminum ini di musim salju dengan roti gandum yang baru saja dibakar", ucapnya, dengan wajah yang berseri-seri seperti telah memakan hidangan yang sangat mahal. Aku pernah memakan kaviar mahal, tapi tak sekaget dan ceria dirinya. Mungkin karena rasa makanan ini berbeda, bagaimana kalau aku membeli mangga seharga tujuh juta di toko? Mungkin aku akan kaget setengah mati sama sepertinya karena aku tengah memakan uang setengah gajiku dalam sebulan dengan satu buah.

"Siapa namamu?", tanyaku sesantai mungkin karena keantusiasan yang masih tak dapat kutahan.

"Ellyp ke tujuh pemimpin divisi tiga pasukan Egyp", ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan, seperti bangsawan dalam kerajaan kuno biasanya. Ini bukan abad pertengahan di mana seorang pria bangsawan tren untuk dibicarakan para gadis. Aku yakin kalian memiliki pangeran kalian sendiri, tapi tidak denganku. Aku menyukai seorang ratu seperti medusa, chechanges? (Dont copyright my language).

"Jadi Ellyp, apa yang kau lakukan di sini?", tanyaku dengan bodoh karena kehabisan pertanyaan akibat terlalu lama berpikir.

"Menemanimu atau-", ucapannya terhenti karena ia menatap ke langit-langit sambil menggaruk tengkuknya yang kuyakini tak gatal itu. Aku sedikit risih melihat rambut seputih saljunya yang berantakan itu dan memutuskan untuk mengambil sisir di kamarku.

"Biarkan aku merapikan rambutmu", ucapku saat keluar kamar membawa sisir.

"Aku akan membawamu ke kerajaan Egyp", ucapnya tiba-tiba saat aku menghampirinya.

"Benarkah? Setelah urusanku selesai, aku akan ikut denganmu untuk berkunjung. Apa aku perlu sebuah paspor?", antusiasku berdiri di belakangnya tanpa meminta izin menyisir rambutnya, tapi tak mendapat perlawanan darinya yang masih diam melirik ke arahku sesekali.

"Paspor?", ulangnya dengan wajah kebingungan.

"Ya, identitas resmi yang dikeluarkan negara sebagai izin melakukan perjalanan antar negara", ucapku mencoba sesingkat mungkin sambil menyisir rambutnya yang sangat lembut saat kusentuh. Bahkan aku sebagai perempuan merasa iri dengan rambut lembut yang dimilikinya sekarang. Tapi, putih? Sungguh?

"Apa seperti surat izin dan keamanan dari kerajaan?", tanyanya, membuatku ingat sejarah paspor.

"Ya, itu adalah kegunaannya tapi isinya hanya identitas, maksudku keterangan diri dan foto, lalu beberapa peraturan kecil", jelasku yang sibuk menata rambutnya.

"Kami tidak menggunakan itu", ucapnya membuat mengangguk sedikit kebingungan, setiap negara punya sistem keamanan mereka tersendiri bukan?

"Kami menggunakan tanda pembayaran pajak yang disebut bara'a sebagai identitas", tambahnya. Unik, jadi kerajaan mereka menarik pajak dan menggunakan itu sebagai izin bepergian ke negara lain? Atau dia seorang pembelot karena ditendang Amon ra barunya?

"Selesai", ucapku telah menguncir rambutnya, berlalu mengambil kedua gelas mug yang sudah kosong di atas meja untuk dibawa ke wastafel dibersihkan.

"Jadi, bagaimana cara aku membuat bara'a?", tanyaku setelah selesai membersihkan dua gelas mug dan mengeringkan tanganku.

"Kau tidak perlu, aku adalah surat izinmu", jawabnya, membuatku memiringkan kepala semakin bingung. Tunggu sebentar, dia ingin kembali ke kerajaannya yang sudah menendangnya keluar? Bukankah ini seperti dia mengajakku masuk ke dalam masalahnya, kucing yang malang.

"Apa rencanamu? Menjatuhkan Amon-Ra karena menendangmu keluar dari Egyp?", sinisku yang tiba-tiba mengagetkannya dan turun dari kursi menghampiriku. Sepertinya Amon-Ra adalah raja dari kerajaan itu. Aku cukup kaget karena dia tepat berdiri di depanku dengan tangan yang menyudutkanku di sudut ruangan ini. Aku bisa melihat wajah kesal yang tertahan di wajahnya dengan detail, dan lengkungan mata itu membuatku ingat dengan ras mesir walau itu menuai banyak kontroversi. Tunggu sebentar, bukankan Egyp sama dengan Egypt yang artinya adalah mesir?

"Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dan mengambil hakku", ucapnya penuh tekanan, aku bisa melihat dari nada itu dia sangat membenci Amun-Ra baru ini. Tapi, apa peduliku.

"Sebaiknya kau tidak menyeretku dalam masalahmu", ucapku sebelum menepis lengannya dan berlalu kembali ke kamarku.

Aku kembali memikirkan apa yang dikatakan Ellyp dan mencari beberapa penjelasan di internet. Apa yang dia katakan memang fakta ribuan tahun sebelum masehi yang lalu, sangat aneh karena Egypt yang dia maksud bukan kerajaan, lalu kerajaan apa yang dia maksud ditahun seperti ini? Sebaiknya aku menanyakan ini pada Fen, mungkin dia tahu sesuatu tentang ini.

"Nona Exyfort yang kembali? Kenapa kau menelponku di tengah malam begini", ucap Fen di seberang telpon setelah mengangkat telponku.

"Dari mana kau tahu?", tanyaku kebingungan karena tak pernah memberitahu Fen kalau perusahaan Exyfort adalah milikku.

"Kau membobol perusahaan Exyfort dan mengacaukan rapat besar. Tebak, mereka merekam aksimu dan tengah viral di televisi dan nomor satu dalam artikel besok pagi", jawab Fen, membuatku bergegas membuka televisi dan mencari saluran berita terkini. Astaga, aku benar-benar mengacaukan semuanya. Apa yang kupikirkan dengan wajah sinis seperti itu mengacaukan rapat sebuah perusahaan ternama di kota ini. Sekarang aku sangat yakin kalau Theo tak akan memaafkanku.

"Setelah aku melihatnya lebih lama ternyata aku mengenal perempuan pemberani itu ternyata adalah seorang perempuan pengidap haphephobia yang bekerja paruh waktu sebagai penulis", ucapnya sementara aku mematikan televisi dalam kamarku dan kembali memfokuskan apa yang hendak kubicarakan pada Fen karena ini bukan waktunya untuk paranoid dengan apa yang telah terjadi.

"Aku suka setelan jasmu, kau terlihat keren", tambah Fen.

"Terimakasih, aku ingin menanyakan beberapa hal. Bisa kau membantuku mencarikan beberapa buku di perpustakaan pusat kota?", pintaku dan mendapat setuju dari Fen jika aku membantunya bekerja di rumah sakit hewannya minggu nanti. Sebenarnya, membantunya mengobati beberapa hewan peliharaan sedikit menyenangkan. Tapi, dia tahu aku benci menyentuh apapun kan. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, dia satu-satunya orang yang bisa kuminta tolong.

"Baiklah, apa yang kau ingin tanyakan dan aku carikan?", tanya Fen setelah aku menyetujui syaratnya.

"Nona, di mana aku bisa tidur?", tanya Ellyp yang menghampiriku duduk di sisi kasur sementara aku sibuk memikirkan apa yang akan kutanyakan pada Fen. Aku memberi isyarat pada Ellyp untuk diam dan duduk di sampingku. Tapi dia malah berbaring menekukkan badannya ke arahku dengan tangan yang menompang dagunya, seperti kebiasaan kucing tidur. Astaga, dia terlihat sangat manis. Tanganku tak tahan untuk mengelus kepalanya yang selembut kapas itu. Dia terlihat seperti boneka manekin cina ketimbang manusia. Baiklah, kembali pada apa yang akan kutanyakan pada Fen.

"Apa kau tahu tentang manusia yang bisa berubah menjadi kucing atau sebaliknya?", tanyaku dengan ragu-ragu apakah akan menceritakan masalahku pada Fen atau tidak.

"Itu terdengar seperti dewi bastet mesir yang berkepala kucing. Hanya kepalanya, tidak berubah menjadi kucing sungguhan dan seperti mitologi yunani tentang werewolf, manusia yang bisa berubah menjadi serigala. Aku ragu dengan fakta kedua mitos ini", jawab Fen dengan akhir kalimat sedikit ragu. Sementara aku sedikit melamun saat mengelus pucuk kepala Ellyp yang sepertinya sudah tertidur.

"Carilah keduanya", ucapku tanpa pikir panjang.

"Baiklah, omong-omong kenapa kau meminta hal ini? Kulihat haphephobiamu sepertinya sudah sembuh", ucap Fen penasaran, aku hanya menanggapinya dengan kekehan kecil karena tak bisa menjawabnya.

"Beritahu aku jika kau sudah melakukannya, sampai jumpa", ucapku sebelum mematikan telpon sepihak dan menghembus nafas lega. Hampir saja. Aku menatap Ellyp yang sudah tertidur dengan pulasnya dan menarikkannya selimut sebelum turun dari kasurku menuju kasur kecil samping jendela kembali.

Hujan telah berhenti dan langit terlihat terang dengan banyak bintang yang bertaburan di atas sana. Entah di mana bulan berada, aku hanya melihat gemerlap bintang dari bawah sini. Besok akan menjadi hari yang melelahkan, aku harus mempersiapkan diriku untuk wawancara dan menelpon pengacaraku. Masalahnya adalah, aku tidak bisa tidur karena kafein yang berlebihan dalam tubuhku. Untung saja Ellyp kembali menyembuhkanku dari anxiety disorder, aku tidak bisa membayangkan diriku di tengah pikiran kacau dan kelebihan kafein. Bisa saja aku bunuh diri karena sangat putus asa.

Tbc