Dua orang pria tiba-tiba masuk ke restoran dan mengambil duduk di meja bekas ibu dan anak itu.
"Hei, pelayan ...!" panggil seorang di antara mereka kepada pelayan restoran.
"Eeh ... ya, Tuan. Ada apa?' Pelayan itu tersentak dari lamunannya. "Mau pesan apa, Tuan?"
Ia mencatat pesanan mereka lalu pergi.
Pria yang pertama memakai pakaian sederhana berwarna serba biru yang sepintas terlihat murah padahal bahannya dari sutera bermutu tinggi. Di pinggangnya terselip sebuah seruling yang di ujungnya diberi ukiran bunga teratai dari emas. Wajahnya tampan dan halus namun terkesan agak dingin, apalagi sepasang matanya yang bersinar aneh. Rambutnya panjang diikat dengan kain berwarna biru juga.
Pria yang kedua tampaknya menyukai warna merah tua pada pakaian dan ikat kepalanya. Di pinggangnya sama-sama menyelip sebuah seruling, namun miliknya berukiran huruf kuno dari perak. Wajahnya sama tampan dengan temannya tapi lebih cerah dan terlihat gembira. Keduanya juga ikut memperhatikan kerumunan di bawahnya.
"Mungkin karena pengumuman dari istana." komentar laki-laki kedua. "Siapa yang tak senang dibebaskan dari pajak…"
Pelayan tadi datang membawa pesanan mereka.
"Iya, Tuan … Baginda menghapuskan pajak selama tiga bulan untuk memperingati hari ulang tahunnya." Ia memandang mereka berharap diberi uang juga seperti oleh Saiya. "Bahkan saya dengar raja negeri Gojo akan datang ke istana untuk memberi selamat sekaligus membawa adik perempuannya untuk dijodohkan pada Baginda…"
Kedua laki-laki itu saling pandang keheranan.
"Jangan jual kabar busuk di sini!" bentak laki-laki pertama. "Cepat! Ambilkan teh kami!"
Pelayan itu mundur ketakutan.
"Kau jangan sekasar itu, Taishi … dia kan jadi takut…" tegur laki-laki kedua. "Hik.. hik.. tapi adik-adikku pasti senang sekali bila berita itu benar."
Taishi mengerutkan alisnya menahan kesal.
"Gosip murahan ...! Bagaimana kalau istriku sampai mendengarnya? Dia tidak akan memaafkan aku…" Ia mengepal tangannya kuat-kuat. "Oh, Karen, sudah lama sekali dia pergi …"
"Kau ini memang aneh… Dulu katanya kau terpaksa harus menikah dengannya ... tapi ternyata kemudian ..." Lelaki yang dipanggil Karen hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Aku salah … setelah ia pergi barulah aku merasa betapa aku sangat kehilangan dirinya …" Taishi termenung. "Tak kusangka…ternyata aku sangat mencintainya .... sampai kututup hatiku untuk siapa pun… sampai sekarang."
"Sudahlah … jangan diingat-ingat lagi. Sadarlah bahwa kita sekarang hendak bersenang-senang. Sesuai janji kita dahulu, setiap tahun kita pergi melihat dunia dengan bebas … Jangan kaurusak acara ini.. Aku sudah capek-capek menyamar jadi tukang sayur ke istanamu agar kita bisa pergi bersama…"
Taishi tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku takkan membicarakannya lagi."
Mereka meneruskan makannya lalu pergi melanjutkan perjalanan.
***
Saiya dan Kimsan berjalan dengan gembira melintasi sepanjang tepian sungai Air Besar. Mereka bertujuan pergi ke selatan karena Saiya telah merindukan kampung halamannya.
"Bu, di depan ada tukang perahu. Kita naik perahu, ya..." bujuk Kimsan sambil menatap ibunya dengan pandangan yang meluluhkan hati. "Aku sudah lelah berjalan."
"Baiklah, kalau itu maumu ... kita naik perahu."
Mereka menghampiri tukang perahu yang sedang duduk-duduk di atas perahunya. Dengan sigap tukang perahu itu langsung bangkit dan menyambut mereka.
"Selamat siang, Nona dan Tuan muda, mau naik perahu?"
"Ya, tolong bawa kami sampai ke kota Angin..."
Tukang perahu itu menyebutkan harganya dan Saiya segera membayar. Ia dan Kimsan naik ke perahu dan beristirahat. Malam segera datang dan Kimsan pergi keluar menemani si tukang perahu sebab ia tak bisa tidur.
"Kapan kita tiba di kota Angin, Paman?"
"Hmm ... kira-kira besok pagi, Tuan muda.."
"Wah, cepat juga, ya... Biasanya dengan berjalan kaki kami butuh waktu seminggu untuk sampai di sana."
"Tentu saja, kalau berjalan kaki kalian harus selalu singgah untuk beristirahat, dan lagipula kecepatan berjalan terbatas sekali, sedangkan kalau naik perahu kita hanya menuruti arus air sungai." Tukang perahu itu menguap. "Kau bepergian dengan kakakmu berdua saja tidak takut dirampok orang?"
Kimsan tersenyum mendengarnya. Memang setiap orang yang menemui mereka tidak pernah menduga hubungan mereka adalah ibu dan anak. Saiya menikah di usia 16 tahun dan sifatnya yang ceria membuatnya terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya hingga Kimsan menjadi terlihat seperti adiknya sendiri.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya.." Kimsan menyandarkan bahunya ke tiang layar. "Paman tidak keberatan kalau saya meniup seruling?"
"Tidak, tentu saja tidak."
Kimsan mengeluarkan serulingnya dan mulai meniup dengan lagu yang sangat sendu. Tiba-tiba saja ia merasa sedih teringat ucapannya sendiri.
Ia memang tidak memiliki siapa-siapa selain Saiya... Ia merasa sangat rindu pada sosok pria yang tidak pernah dikenalnya itu. Ayahnya. Selama ini ia bisa menipu diri sendiri dengan bersikap seolah tidak perduli ... tapi sebenarnya ia sangat ingin memiliki ayah...