17 TAHUN YANG LALU
Taishi sedang asyik membaca buku ketika tiba-tiba sebuah layangan yang putus jatuh tepat ke sampingnya. Benda itu sangat cantik dengan ekor dari kain sutra berwarna-warni. Baunya pun harum sekali.
Taishi memegang layang-layang itu dengan tenang sambil memperhatikan buatannya. Tiba-tiba seorang anak perempuan berbaju sutera serba biru datang berlari-lari mendekatinya dengan benang layangan di tangan. Gadis itu cantik sekali dengan rambut yang panjang dan ikal di ujung-ujungnya. Kulitnya sangat halus dan matanya yang bulat tampak bersinar-sinar nakal.
"Hei! Kembalikan layang-layangku!" teriaknya dengan suara melengking tinggi. "Jangan kau rusak!"
Sejenak Taishi tertegun menatapnya. Baru sekali ini ia menemui orang yang berani memarahinya selain Ibu Suri. Tentu anak perempuan ini tidak mengetahui siapa Taishi. Ia tertawa sendiri memandangi pakaiannya yang begitu sederhana. Tentu saja takkan ada yang menyangka bahwa Raja Kerajaan Air berpakaian sesederhana itu.
"Hei, kau gila, ya? Kok tertawa sendiri?" Anak perempuan itu merebut layang-layangnya dari tangan Taishi, "Kemarikan layanganku. Aku tidak rela ia dipegang oleh orang yang tertawa sendiri..."
Taishi memejamkan mata sambil tersenyum kecil. Betapa nikmatnya dimarahi oleh anak ini, pikirnya. Pelan-pelan wajahnya yang selalu dingin berubah cerah kemerah-merahan.
Anak perempuan itu mengikat kembali tali layangannya lalu duduk di samping Taishi. Wajahnya tidak galak lagi, menjadi demikian manis.
"Ugh... angin di istana ini jelek sekali. Di rumahku, aku biasa menerbangkan layang-layang sampai tinggiiiiiii sekali. Coba ayah tidak usah datang kemari ..." ocehnya sambil melempar batu-batu kecil ke kolam di depan mereka.
"Siapa nama ayahmu?" tanya Taishi yang tiba-tiba menjadi tertarik. Ia belum pernah melihat anak perempuan ini sebelumnya. Tentu anak ini baru pertama datang kemari, sikapnya agak kasar -khas orang Selatan.
"Ayahku adalah Jendral Harimau Putih yang hebat. Beliau adalah panglima di Kota Selatan. Namaku dipanggil Harimau Kecil ..." ujar anak perempuan itu dengan nada bangga, "Ayah disuruh datang kemari untuk memimpin pasukan menyerang Kerajaan Gojo. Pasukan mereka telah membinasakan hampir 3000 pekerja pembangunan tembok di selatan kerajaan. Keterlaluan sekali ...!"
Darah Taishi seakan tiba-tiba naik ke otak membuat matanya berkunang-kunang. Apa-apaan ini..? Tiga ribu orang tewas?? Itu jumlah yang sangat besar!
Apa yang mereka lakukan dengan membangun tembok di selatan? Ia bahkan tak pernah tahu bahwa negaranya bermusuhan dengan Kerajaan Gojo. Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini?
"Sejak kapan kita bermusuhan dengan Kerajaan Gojo?" tanyanya pelan. Putri Jendral Harimau Putih itu menoleh dan memandangnya dengan raut wajah tidak percaya.
"Sejak kapan, katamu?? Tentu saja sejak pangeran mereka dibunuh oleh suruhan raja kita yang goblok itu. Waktu itu Gojo mengirimkan tanda perdamaian, tetapi Raja meremehkannya bahkan menyuruh agar membunuh pangeran dari Gojo itu."
Ia memandang Taishi dengan mata keheranan. "Kau ini bukan hanya gila, tapi juga bodoh ya? Masa hal itu saja tidak tahu?!"
Membunuh pangeran dari Gojo yang datang sebagai utusan perdamaian? Pikiran Taishi memusing ... Tidak! Tidak! Ia sama sekali tidak tahu hal itu.
Tanpa sadarnya ia berlari meninggalkan Harimau Kecil kembali ke istana kediamannya. Pastilah Tuhan yang mengirim anak itu kemari. Kalau tidak ada dia tentu selamanya Taishi tidak akan pernah tahu ....
Sementara itu Harimau Kecil yang terbengong-bengong akhirnya memutuskan pulang ke tempat ayahnya beristirahat. Ayahnya, Jendral Harimau Putih, adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan kukuh dengan wajah yang mencerminkan namanya.
***
Taishi tak habis-habisnya mencaci dirinya sendiri. Memang dungu, bodoh ... tak becus. Sampai keadaan segawat itu ia tidak tahu. Setelah berpikir lama akhirnya Taishi memutuskan menemui Perdana Mentri Wan. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
Dari para punggawa istana, Taishi mengetahui bahwa Perdana Mentri sedang mengadakan pertemuan penting dengan beberapa panglima perang. Pastilah untuk menyusun rencana penyerangan ke Gojo.
Cepat-cepat Taishi mengenakan pakaian kebesarannya lalu pergi ke gedung paseban istana. Di muka pintu, para pengawal bersenjata menghadangnya dengan sikap merendahkan. Taishi mencoba mengangkat kepala dan membentak mereka.
"Minggir! Aku mau menemui Paman Wan. Jangan halangi aku!!"
"Tapi Pangeran Tua sedang ada pertemuan penting, ia bilang tak seorang pun boleh masuk."
"Termasuk aku?" tanya Taishi dengan nada mengancam. Saat pengawal-pengawal itu saling pandang, ia berusaha menerobos masuk. "Kalau kalian mau membunuh aku karena menerobos masuk, silakan."
Dengan ancaman seperti itu Taishi berhasil membuka pintu paseban dan masuk ke dalam. Ia mendapati Perdana Mentri, Pangeran Tua Wan yang sangat terkejut beserta panglima-panglima perang yang belum pernah ia lihat. Dengan sikap tegas Taishi berusaha mengatur suaranya agar terdengar berwibawa.
"Paman Wan, aku mau meminta penjelasan tentang keadaan negara akhir-akhir ini. Mengapa utusan dari Gojo dibunuh dan apa yang terjadi hingga diadakan pembangunan tembok di selatan?"
Seluruh hadirin tampak saling pandang keheranan. Tetapi Perdana Mentri dengan cepat bangkit berdiri dengan sikap yang sangat tenang.
"Yang Mulia, sebaiknya Anda kembali beristirahat. Kalau tidak penyakit Yang Mulia akan kambuh .... Biarkan Hamba yang mengurusi segala sesuatu di sini." Ia cepat bertepuk tangan, "Pengawal, bawa Baginda kembali ke istananya, jangan biarkan ia kemana-mana dengan sakit seperti ini."
Sepasang mata Taishi terbelalak melihat kelancangan Perdana Mentri terhadapnya, dan ia menjadi sangat marah ketika para pengawal istana memegangi tangannya dan menariknya keluar paseban.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN?? AKU TIDAK SAKIT!! AKU TIDAK APA-APA...!! LEPASKAN AKU!!"
Saat itu rasanya langit runtuh menimpa Taishi. Sebelum ia diseret keluar dari paseban ia masih sempat melihat senyuman tersungging di sudut bibir Pangeran Tua.
Seketika Taishi sadar bahwa selama ini dirinya hanyalah raja boneka. Yang benar-benar memerintah sebagai raja sebenarnya adalah adik ayahnya, Pangeran Tua Wan sendiri.
Sejak kematian ayahnya 5 tahun yang lalu memang Taishi telah diangkat sebagai raja pengganti, tetapi hingga umurnya 14 tahun seperti sekarang, ia tidak pernah dianggap sebagai sebagai raja sesungguhnya dan ia dikurung di balik dinding istana Merak.
Betapa jatuhnya harga diri Taishi hari ini saat melihat pandangan kasihan dari para panglima perangnya di paseban.